La Jolla, California. Desember 10 tahun
yang lalu.
Salju…
aku selalu suka salju, rasanya damai banget waktu kamu memandang
butiran-butiran lembut salju berjatuhan dari langit. Selain itu salju identik
dengan bulan Desember, Desember tempatnya natal dan natal berarti hadiah dan
makan enak. Bagi gadis 7 tahun sepertiku, mendapat hadiah-hadiah natal
ibaratnya mendapat tiket ke surga. Kau selalu bisa meminta apapun yang kau
inginkan, dan semua itu akan terkabul dengan cepat, beda banget dengan
bulan-bulan lain dimana kamu harus berusaha mati-matian mengejar ranking untuk
sekedar mendapat boneka baru.
Tapi
setiap natal aku merayakannya hanya bertiga bareng Mom dan Dad, tanpa
teman-teman ataupun sanak saudara lain. Hidupku selalu berpindah-pindah. Saat
ini saja aku baru pindah dari Washington ke La Jolla, salah satu kota kecil di
California. Dad seorang arsitek, dan dia arsitek yang bertanggung jawab banget.
Dia akan memastikan bangunan yang di rancangnya sesuai dengan apa yang dia
rencanakan, dan itu artinya dia harus turun langsung ke lapangan untuk memantau
anak buahnya. Akibatnya, Dad harus berpindah-pindah kota, pekerjaannya kan gak
selalu di satu tempat. Aku dan Mompun harus ikut dengannya. Sudah tak terhitung
berapa puluh kota yang pernah kami singgahi. Paling lama satu tahun dan kami
harus pindah lagi, mengikuti panggilan kerja Dad. Itu sebabnya, aku jarang
punya teman. Aku gak mau terlalu akrab dengan orang lain, karena aku tahu bahwa
cepat atau lambat aku akan pergi meninggalkan mereka, dan aku benci perpisahan.
Jadi sekalian saja aku bersikap cuek, biar gak harus sakit hati saat berpisah.
Aku
berjalan ke beranda. Salju disini lebih lebat dan putih. Kami tinggal di
lingkungan yang cukup menyenangkan, banyak anak-anak sebayaku bermain perang
salju di jalanan. Aku hanya melihat mereka, tidak berniat untuk bergabung,
namun tiba-tiba.
Bug.
. .
Sebongkah
bola salju mendarat tepat di mukaku. Aku berpegangan pada selusur beranda agar
tidak jatuh. Sialan, rasanya sakit banget. aku menyumpah-nyumpah, siapa yang
melepar bola salju ke arahku. Cari mati!
“Kamu
gak apa-apa??”
Tiba-tiba
seseorang menghampiriku.
Aku
membersihkan sisa salju di wajahku, dan mendongak. Di depanku berdiri seorang
cowok, lebih tua dariku dia memakai topi rajutan yang menutupi sampai sebagian
wajahnya. Dia ganteng, tapi kegantengannya gak cukup untuk menutupi rasa
sakitku.
“Kamu
gak punya mata ya.. kalau hidungku patah bagaimana?” Semburku, sambil
mengusap-usap hidungku yang berdenyut.
Dia
melihatku dengan tatapan bersalah. “Maaf, itu tadi adik sepupuku,” dia menoleh
ke arah jalan, “dia benar-benar gak sengaja dan takut buat minta maaf, jadi aku
kesini ngewakilin dia. Kamu gak apa-apa?”
Aku
mengikuti arah pandangnya, dan melihat gadis kecil mengintip takut-takut dari
balik boneka salju.
“Uh..
aku gak apa-apa, berdoa saja supaya hidungku gak patah.” Kataku masih kesal.
“Mau
aku antar ke dokter?”
Aku
menatapnya, dia kelihatan benar-benar khawatir. “Gak usah. . . it’s ok.”
Dia
tersenyum lega. “Aku James ngomong-ngomong, kau siapa?”
“Rose.”
kataku singkat.
“Wow,
nama yang bagus. Kau baru pindah ya?” Katanya, melirik kardus-kardus yang belum
di bereskan di depan pintuku.
“Yeah.
. .dari Washington.”
“Cool…kenapa
pindah?”
Bawel,
kataku dalam hati. “Ikut orang tuaku, Dad seorang arsitek dia yang merancang
gedung pusat perbelanjaan di tengah kota itu, jadi untuk sementara kami menetap
disini sampai kerjaan Dad selesai.”
“Jadi
kau gak akan selamanya tinggal disini?”
Aku
menggeleng.
“Sayang
sekali.”
“Kenapa?”
“Yah.
. .aku jarang dapet temen baru, apalagi yang dari luar kota kayak kamu.”
Yeah. . .kayak aku mau jadi temanmu
saja.
“James.
. .” gadis kecil tadi menghampiri kami, dia bersembunyi di balik badan James,
melihatku takut-takut.
“Oh
Joeey.” kata James lalu menggendongnya,“gak apa-apa dia gak marah kok, ayo
kenalan sama Rose.”
Anak
itu—Joeey, mengulurkan tangannya malu-malu. “Aku Jooey, maaf yah tadi aku
melempalmu, aku gak sengaja.” Katanya dengan suara cadelnya.
Aku
tersenyum, dia cute banget, aku jadi gak tega memarahinya “It’s ok Jooey, aku
gak apa-apa kok.” Kataku sambil menyalaminya.
Jooey
tersenyum lega “Makaciii, nanti kita main belbie sama-sama ya!”
“Uh.
. .akan ku usahakan.”
“Sudah
yuk Jooey, Rose mau istirahat tuh, dia baru pindah dari Washington, kita pulang
ya. Nanti kita ngobrol lagi, kay. . .byee Rose!” James melangkah pergi sambil
menggendong Jooey. “Oh ngomong-ngomong,” dia berbali, “rumahku yang di ujung
jalan situ.” Katanya menunjuk sebuah rumah bercat hijau, “kalau-kalau kau mau
mampir.” Dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.
Aku
cuma menatap kepergiannya kayak orang bego. Aku bocah 7 tahun yang gak tahu
apa-apa dan belum mengerti apa itu cinta, tapi senyuman James tadi sukses
membuat hatiku meleleh.
***
“Siapa
cowok tadi?”
Mom
menginterogasiku begitu aku masuk rumah.
“Tetangga.”
Jawabku datar lalu duduk di sofa. Mom ikut-ikutan duduk di sebelahku.
“Dia
cute ya.” Katanya tersenyum jahil.
“Arrrghh
Mom.” Aku menutup mukaku dengan kedua tangan.
“Kenapa?”
“Dia
ngelempar aku pakai bola salju—well. . .sepupunya sih, tapi sama aja, rasanya
masih sakit.”
“Awal
yang indah untuk cinta” Mom terkikik. Bener deh, cuma karena Momku ini
pengarang novel percintaan dia kadang-kadang bisa jadi genit banget kayak anak
ABG.
“aku
baru 7 tahun Mom.” Aku mengingatkan.
“Lalu
kenapa? Mom dulu ketemu cinta pertama juga di umur 7.”
“Dia
bukan cinta pertamaku.”
“Masa?”
Mom menaikkan alisnya, menggoda ku.
“Argh.
. .” Aku melemparinya bantal dan kabur ke kamar.
“Kita
undang dia makan malam ya sayang.” Teriak Mom lalu terkikik lagi.
Aku
membanting pintu kamar dan berbaring di ranjangku, menatap langit-langit kamar,
berpikir.
James.
. .
***
“Kamu
udah janji mau traktir aku es krim.”
“Iya,
tapi uang sakuku abis pakai beli game.”
“Salah
sendiri, pokoknya aku mau es krim.”
James
menggaruk kepalanya, kebingungan. Aku dan James berdiri di depan gerbang
sekolah—kami sekolah di tempat yang sama, tapi James tiga tingkat di atasku.
Sejak perkenalan perdana itu, James jadi sering main ke rumahku, otomatis aku
sering menghabiskan waktu denagannya, itu membuat kami akrab. Aku melanggar
pantanganku sendiri, tentang ‘enggak berteman dengan siapapun’. Sulit menolak
James, dia itu menyenangkan dan selalu membuat tertawa. Berada di dekatnya
rasanya nyaman dan terlindungi, mungkin karena aku gak punya saudara, dan
kehadiran James jadi seperti abang buatku. Pokoknya, aku berhenti berpura-pura
cuek dan gak peduli, menelan gengsi—dan ledekan-ledekan Mom tentu saja. Lalu
memulai persahabatan dengannya. Sekarang kami jadi gak terpisahkan kayak
perangko.
“Jameess.
. .aku mau es krim!” Kataku lagi, lebih memaksa. Dia udah janji bakalan
mentraktirku es krim dari tiga minggu yang lalu, tapi sampai sekarang belum
juga terpenuhi.
“Minggu
depan saja ya?” James memohon.
“Enggak!”
aku menggeleng kuat-kuat. “Minggu lalu juga kamu bilang begitu, lalu minggu
lalu minggu lalunya lagi. Aku mau sekarang!”
“Uh.
. .baiklah, aku pinjam uangnya Tommy dulu, sebenarnya dia nitip buat beli game,
tapi nona bawel ini gak mengerti yang namanya gak ada uang.” Katanya
menggerutu.
Aku
tersenyum manis. “Yaaaay!” Lalu berlari ke toko es krim di depan sekolah kami.
“Rose
tunggu!” katanya mengejarku, “nanti kamu jatuh, sini gandeng tanganku!.”
“aku
bukan balita James.”
“Tetap
saja, kalau kau jatuh nanti aku yang repot.” Dia mengulurkan tangan, dan
menggandeng tanganku.
“Terserahlah.”
Aku memutar bola mata, tapi menyambut juga uluran tangannya “Lama-lama kamu
kayak Mommy tahu.”
“Yeah.
. .better save than sorry.”
***
Kami
punya rumah pohon, rumah itu di bangun Dad di atas pohon oak besar di samping
rumahku—terimakasih Tuhan kau memberiku ayah seorang arsitek. Gak terlalu besar
sih, tapi cukup menyenangkan untuk dijadikan ‘markas’ khusus buatku dan James.
Tiap hari kami meghabiskan waktu disana, mengerjakan pr, curhat, bermain
monopoli dan macam-macam lagi. Rasanya seperti mempunyai kerajaan sendiri
dengan aku dan James sebagai penguasa. Tidak ada anak lain yang boleh naik ke
rumah pohon kami, hanya aku dan James.
***
Natal
tahun ini aku gak kesepian lagi. Aku punya James dan keluarganya yang ramai.
Gak seperti natal pertama yang aku rayakan disini—di La Jolla, natal tahun ini
benar-benar istimewa. Kami menghabiskan malam natal di kebun belakang rumah
James, Mom, dan Auntie Cathy—Mommynya James, memasak makanan yang enak banget,
belum lagi ditambah saudara dan sepupu-sepupu James yang lucu-lucu. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku sebahagia ini di malam natal, dan untuk
pertama kalinya pula aku gak meminta hadiah macam-macam ke Santa, aku cuma
minta James.
***
“James,
kamu pacaran ya sama Angela itu?” Kami sedang berada di rumah pohon, menikmati
liburan tahun baru yang membosankan. Aku tidur di pangkuan James, sementara dia
asyik membaca buku.
“Memangnya
kenapa?”
“Gak
ada sih.”
“Kamu
cemburu?” Dia tersenyum nakal, meletakkan buku yang dibacanya.
“Enak
saja.” Aku bangkit dan duduk di sampingnnya.
“Udah
ngaku aja.”
“Mimpi
dulu sana!”
Dia
terkekeh. “Cemburu juga gak apa-apa kok.”
“Jameeeesss…”
Aku mengcak-acak rambutnya. “Aku serius tahu, kemarin aku lihat kalian berduaan
di perpustakaan.”
James
merapikan rambutnya. “Enggak kok, dia sih memang naksir aku. Tapi aku gak suka
cewek brunette.”
“Kenapa?
Angela kan cantik, udah gitu dia ikut tim pemandu sorak.” Kataku sedikit
mencibir.
“Tapi
dia bukan tipe ku. Kamu kenapa sih? Kok nanya yang begitu?” Dia menaikkan
sebelah alisnya.
“Uh.
. .gak ada, aku gak suka aja sama dia, dia suka sama kamu, cuman karena kamu
itu calon artis” belakangan aku baru tahu kalau James itu sering ikut casting
pencarian bakat dan terobsesi banget jadi artis, malah dia pernah mendapat
sebuah peran di salah satu drama musikal baru-baru ini.
“Masa
sih? Bukannya dia suka aku karena aku ini memang ganteng.” Dia tersenyum sok
imut
Aku
mengacak-acak rambutnya lagi. “Dasar besar kepala!”
“Ha
ha. . .lagian biarin aja dia. Aku udah punya cewek yang aku taksir.”
“Oh
ya? Siapa?” Tanyaku penasaran.
Dia
mengeleng. “Ada deeeh.. my lips are sealed.” Katanya sambil membuat gerakan
mengunci bibir.
“Peliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt!!!”
Aku mengacak rambutnya lagi dan lagi. Kami tertawa bersama, tapi tunggu, James
sudah punya seseorang yang ditaksirnya. Kenapa aku sakit hati?
***
‘there is no forever for happiness .’
Aku
percaya kata-kata itu, dan aku selalu berusaha menahan diriku untuk tidak
terlalu terlena dengan kebahagiaan karena aku tahu, kebahagiaan tidak akan
bertahan selamanya.
Tapi
aku melupakannya, aku melupakan kata-kata yang sudah jadi pegangan hidupku itu.
Aku terlalu terlena dengan kehadiran James. Jadi waktu Mom bilang kalau kami
sekeluarga harus pindah lagi, karena Dad mendapat panggilan kerja di tempat
lain dan pekerjaannya di sini sudah rampung. Aku seperti mendapat tonjokan
keras dari petinju sekaliber Mctyson.
Ini
gak boleh terjadi. Aku gak mau ninggalin James, sahabat pertama yang aku
miliki.
Maka
aku mengamuk, menendang, membanting, menghancurkan setengah isi ruang keluarga,
karena aku gak mau pindah. Aku gak mau ninggalin kehidupanku yang sempurna
disini dan memulai hidup baru di tempat yang sama sekali asing buatku.
“Palo
Alto gak terlalu jauh dari sini sayang, gak sampai 3 jam kalau naik kereta.”
“Kami,
janji—Mom dan Dad akan sering-sering mengantarmu berkunjung ke sini.” Mom dan Dad
berusaha membujukku.
“GAK
MAU!!!” Aku berteriak “AKU UDAH NYAMAN BANGET DI SINI DAN AKU GAK MAU
PINDAH!!!” Menjadi anak tunggal, dan satu-satunya yang dilimpahi kasih sayang
membutku keras kepala dan manja.
“Tapi
sayang, Dad ada proyek baru, dan kita harus ikut—”
“GAK
MAU!!!!!” Aku memotong kata-kata Mom, “AKU MAU TINGGAL DISINI, KALIAN SAJA YANG
PERGI.!”
“Sayang.
. .” Mom berkata dengan sabar, dan berjongkok di depanku. “Kami gak mungkin
ninggalin kamu sendirian.” Dia mendekap wajahku, yang pasti merah padam menahan
tangis.
Aku
menepis tangan Mom “AKU JUGA GAK MUNGKIN NINGGALIN JAMES!!!” dan aku berlari
meninggalkan mereka, meninggalkan Mom dan Dad yang bingung menghadapi putri
semata wayangnya yang kurang ajar.
***
“Ternyata
kamu disini.”
James
melongokkan kepala ke dalam rumah pohon. Aku meringkuk disana sendirian,
menangis sejadi-jadinya sampai mataku bengkak. Mom atau Dad tidak mencariku,
mereka menghargai privasi atau memang memberikanku waktu untuk berpikir.
“Kenapa
nangis?” Tanya James begitu masuk dan duduk di sebelahku.
Aku
menyandarkan kepala di bahunya, masih berlinang air mata.
“Mom
sama Dad jahat.” Kataku terbata-bata.
“Hussh.
. .” James melingkarkan tangannya di pundakku, menarikku lebih dekat. “Mereka
udah cerita sama aku. Kamu gak seharusnya membentak mereka seperti itu.”
Dinasehati
begitu aku jadi ingin meledak-ledak lagi. “Kamu gak ngerti, aku mau pindah. Itu
artinya kita gak bisa ketemu lagi.” Kataku bersusah payah menahan air mata.
“Siapa
bilang? Ibumu kan sudah janji mau menemanimu berkunjung, lagipula apa kamu
pikir aku gak bakalan ngunjungin kamu?”
Aku
mengangkat kepalaku menatapnya. “Kamu mau mengunjungiku?”
James
tersenyum, menghapus air mataku. “Tentu saja. Apa kamu kira aku akan
membiarkanmu pergi begitu saja? Sorry ya. . .kau itu terikat sama aku
seumur hidup!” katanya menekankan kata terakhir.
Aku
tertawa, yang malah kedengaran seperti isakan. “Memangnya boleh sama orang
tuamu?”
“Hey..
aku kan bukan bocah 9 tahun sepertimu. Aku sudah 12 tahun, dan itu artinya, aku
bisa pergi kemana saja sesukaku, tanpa perlu di awasi, dan besok kalau aku
sudah jadi artis besar dan punya uang banyak, aku janji aku akan mengikuti
kemanapun kamu pergi.”
Biasanya
aku akan mencubitnya kalau dia sudah memanggilku bocah, tapi untuk saat ini aku
hanya diam dan memeluknya erat. “Terimakasih James.”
“Gak
perlu. Kapan kau berangkat?”
“Satu
minggu lagi.”
***
Tapi
sejak saat itu James gak pernah menampakkan batang hidungnya lagi. Dia gak
pernah ke rumah pohon, gak pernah membantuku membuat pr, gak pernah
mentraktirku es krim dan bahkan saat aku cari ke rumahnya, dia selalu sibuk.
Aku kesel banget, padahal tiga hari lagi aku akan pergi ninggalin dia, tapi dia
sama sekali gak membantu membuat saat-saat terakhir ini berkesan.
Apa
dia sengaja menjauhiku supaya aku benci, dan ngelupain dia? Tapi buat apa, dia
sendiri yang bilang kalau dia bakalan sering-sering mengunjungiku di tempat
tinggal baruku nanti. Buat apa dia bohong? Kecuali kalau dia gak mau berteman
sama aku lagi, dan dia ngelakuin ini biar aku lupa sama dia? Tapi James bukan
orang yang seperti itu.
Sial,
James, kamu kenapa?
***
Bahkan
saat tiba waktuku untuk pergi, James sama sekali tidak datang untuk mengucapkan
selamat tinggal—padahal Joeey saja melepas kepergianku dengan air mata. Aku
menghela nafas pasrah mungkin James memang mau melupakanku.
“Sayang,
tunggu disini dulu ya. Mom mau membantu Dad memeriksa barang-barang kita.”
Aku
mengangguk, lalu masuk ke kompartemen kereta kami. Aku duduk di dekat jendela,
melihat kesibukan di stasiun kereta yang ramai ini.
“James.”
kataku pelan, berharap dia ada disini.
Lalu
tiba-tiba pintu kompertemen terbuka, aku menoleh dan melihat James berdiri
disana, rambutnya acak-acakan dan nafasnya terengah.
“James
ngapain kamu disini?” Aku setengah terkejut, setengah gembira.
Dia
nyengir dan masuk ke dalam kompertemen. “Aku kan belum mengucapkan salam
perpisahan.” James berkata sambil mengatur nafasnya, “aku juga punya hadiah
untukmu.” Dia menarik sesuatu yang dilipat dari saku jaketnnya.“Gak sempat
dibungkus, buru-buru sih.”
Aku
menyambar barang itu, bahkan sebelum dia mengulurkannya. “Topi rajut?” tanyaku
heran begitu membuka lipatannya, topi rajut itu persis sama seperti yang
dipakai James dulu saat pertama kali kita bertemu.
“Uh.
. .iya, aku yang membuatnya sendiri, gak terlalu rapi sih, tapi kurasa masih
bisa dipakai.” Kata James malu-malu.
“Dan
untuk apa tepatnya aku menginginkan topi rajut?”
“Well.
. .sebentar lagi musim dingin, aku harap kamu mau pakai itu biar gak
kedinginan, dan supaya kamu gak kena lempar bola salju lagi.” Dia menunduk,
mukanya memerah.
“James!”
aku meloncat ke pelukannya. “Kamu baik banget, thanks berat tapi aku gak punya
apa-apa buat dikasih ke kamu.”
“Gak
perlu kok, kamu udah ngasih aku dua tahun yang menyengkan.” Dia tersenyum.
Aku
membalas senyumanya “Tunggu, jadi selama ini kamu ngejauhin aku gara-gara bikin
ini?”
James
menggaruk tengkuknya “Uh. . Iya.,ku mati-matian menyuruh Mom mengajariku,
bahkan sampai begadang.”
“Kenapa
gak bilang dari awal, aku kira kamu sengaja jauhin aku."
“Kalau
bilang gak jadi kejutan dong.”
Bunyi
peluit kereta api menghentikan perdebatan kami.
“Duh,kayaknya
aku harus turun sekarang.” Dia menoleh keluar, sebentar lagi kereta akan
berangkat. “Kamu jangan lupain aku ya, aku pasti ngunjungin kamu tiap bulan.”
“Gak
akan lupa, kamu juga jangan lupa ya dan jangan deket-deket si Angela itu.”
James
tertawa, “tentu.” Dia sudah di ambang pintu ketika berbalik, “hmm, aku boleh
minta hadiah perpisahanku gak?”
Aku
mengernyit bingung “Tentu, memangnya apa yang—”
Tiba-tiba
saja, bibir James sudah menempel di bibirku. Itu bukan jenis ciuman yang kau
lihat di film-film dimana pelakunya berusaha mengklaim bibir lawan, James hanya
menempelkan bibirnya di bibirku selama beberapa detik, kemudian menariknya
kembali.
“Itu
saja…” katanya salah tingkah.
Aku
gak bisa berkata apa-apa. Perutku mulas, kakiku tiba-tiba tersa seperti jelly.
Inikah rasanya berciuman?
Bunyi
peluit kedua, orang-orang sekarang bergegas naik ke kereta.
“Aku
akan mengantarmu dari luar.” Katanya kemudian, lalu bergegas turun.
Aku
masih shock, tidak bisa berkata apa-apa.
Bunyi
peluit lagi dan kereta mulai berajalan.
“Rose.”
James mengetuk kaca jendela dari luar, aku tersadar dan buru-buru
menghampirinya. Dia berlari agar bisa menjajari kereta yang mulai bergerak.
“Disana
jangan lirik-lirik cowok lain ya, mulai sekarang kamu pacarku.!”
“Gak
akan.” aku menggeleng “Kamu juga jangan genit-genit sama cewek lain.”
Dia
menangkat jempolnya sebagai jawaban. Kereta mulai bergerak lebih cepat, James
sudah tidak bisa mensejajari lajunya. Maka dia berhenti berlari, berdiri di peron
sambil melambai ke arahku.
“I
LOVEEE YOUUUU.” teriaknya
“I
love you too.” Balasku pelan, tersenyum bahagia ke arahnya, sampai kemudian
kereta berbelok dan dia menghilang dari pandangan.
“Wow,
dia cowok yang sweet banget.”
Aku
menoleh, entah sejak kapan Mom sudah berada di sampingku.
“Mooom.”
Aku memeluknya erat.
“Sepertinya
putri kecilku sudah tambah besar sekarang.”
Aku
nyengir. “Janji ya Mom, natal besok kita habiskan bareng kelurga James lagi.”
“Tentu
sayang, Dad pasti bakalan seneng banget.”
Aku
memeluk Mom lagi, perasaanku ringan seringan kapas, beruntung sekali aku
mempunyai Mom dan Dad, dan sekarang James,yang akan selalu aku nanti sebagai
kado natal terindah.
Dear Santa:
I don’t want a lot this christmas
There’s just one thing I need
I don’t care anymore about the
presents
All I want for christmas is him
Santa, please bring me the one I
really need
Please bring my baby to me
**********************************************
No comments:
Post a Comment