Thursday, August 23, 2012

Minal Aidin Time Rush


ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR
LAAILAHAILULLAH HUWALLAH HUAKBAR
ALLAHUAKBAR WALILLAH ILHAM..        

Suara takbir menggema merdu di seantero Palm Woods. Para umat muslim disana bersuka cita menyambut hari kemenangan esok. Sebentar lagi akan dimulai pawai obor, kegiatan tahunan yang lama kelamaan menjadi kewajiban.

Sementara orang-orang diluar gaduh mempersiapkan pawainya. Penghuni apartemen 2J sibuk dengan hal lain.

“Oke.. jadi baju ini dipake pas sholat Ied, terus baju yang ini buat halal bi halal,sama yang satu ini buat pawai sekarang...” James menjejerkan berbagai macam model dan warna pakaian di kasurnya. Kendall yang memperhatikan hanya bisa menguap.

“James lo jualan baju? Kok gak bilang-bilang.” Logan yang baru masuk heran melihat tumpukan baju di ranjang James.

“Bukaaaan.. ini baju buat dipake besok.”

“Buset... emang besok lo mau ikut peragaan busana? Bajunya sampe selusin gitu.”

James mendengus. “Enggak lah.. kan besok kita mau halal bi halal kesana kemari jadi bajunya musti ganti-ganti. Gila aja, artis tapi penampilan kayak gembel.” James melirik Carlos yang masuk sambil mengunyah Corndogs.

Carlos yang merasa diperhatikan berkata. “Kenwapwa? Adwa ywang swalwahh??” kata-katanya tak jelas karena Corndogs yang dijejalkan ke mulutnya.

James menggedikkan bahu. “Nothing.”

“Sayang ya lebaran tahun ini kita gak bisa mudik.” Kendall yang tiduran di kasurnya tiba-tiba bergumam. “Padahal gue kangen Oma.”

“Kangen Oma apa kangen THRnya lo?” timpal Logan.

Kendall nyengir. “THRnya dong.. biasanya gue dikasih banyak sama Oma. Sekarang gak ada yang ngasih.”

“Dasar cucu durhaka.”

“Yee... biarin, kayak lo enggak pengen aja dikasih THR.”

“Lebaran itu bukan melulu tentang THR. Tapi tentang bagaimana kita berbagi di hari kemenangan. Percuma lo dapet THR banyak tapi gak mau berbagi. Pahalanya berkurang.” Logan memulai ceramahnya.

Kendall memilih diam. Kalau Logan sudah memulai kultumnya, dia tak akan pernah menang.

Disudut ruangan Carlos mengamini kata-kata Logan, sambil menegadahkan kedua tangan seperti berdoa.

“Amin...” kata Carlos semangat.

Logan menoleh bingung. “Apanya yang amin Los?”

“Doa lo barusan.”

“Doa yang mana..”

“Itu yang ada Kendall bagi-bagi THRnya... “

Dziiingg... sebuah bantal mendarat telak di wajah Carlos.

“KAPAN DIA PERNAH DOA KAYAK GITU HAH.. DASAR BOLOT!!!” Kendall berteriak kesal. Heran punya temen begonya minta digiles.

“Kendall! Kalo mau lempar itu pake duit jangan bantal. Lo kira gak sakit apa.” Carlos misuh-misuh.

“Lagian kapan Logan bilang gue mau bagi-bagi THR. “

“Itu tadi.. pokoknya gue denger Logan ceramahin lo soal THR terus nyuruh bagi-bagi THR, itu yang gue aminin. Habisnya selama ini lo kalo dapet THR gak pernah bagi-bagi.”

Sekali lagi sebuah bantal mendarat di wajah Carlos.

“KENDALL!” teriaknya kesal.

“Enak aja lo minta bagi-bagi THR. Paling ujung-ujungnya lo beliin petasan. Gak kapok ya dikejer anjing dulu.”

“Enggak lah.. gue udah tobat. Sekarang gak mau maen petasan lagi.” Carlos memasang wajah alimnya.

“Terus duit banyak buat apaan?”

“Buat beli helm baru...”

Kendall mengernyit. “Helm lo masih bagus perasaan. Buat apa beli yang baru.”

“Itu gue pengen Helm kayak Uje.. Helm GM.. biar Gaul Men..” Carlos menirukan gerakan Uje di iklan.

Kendall, Logan, bahkan James yang dari tadi sibuk dengan baju-bajunya melongo menatap Carlos. Lalu mereka serempak meninggalkan kamar.

“Bukan temen gue.” Kata Kendall.

“Apalagi gue.” Sahut Logan.

“Gak kenal.” Timpal James.

Tinggal Carlos yang bengong sendirian di kamar.

***

Para penghuni Palm Woods bergantian memukul bedug. Sambil tak henti-hentinya menyenandungkan takbir. Hampir seluruh penghuninya turun ke jalan mengikuti pawai obor. Mr. Bitters yang jadi pemimpinnya. Beliau memegang obor besar, berjalan paling depan. Anak-anak kecil meramaikan dengan kembang api yang diluncurkan ke angkasa, warna-warni kembang api membias di wajah mereka. Semua tertawa, semua bergembira.

Logan dan Camile, serta Kendall dan Jo bergandengan sepanjang jalan. Sementara Carlos dan James berjalan beriringan dengan The Jennifers.

Tahun ini Kendall dan kawan-kawan memang tidak pulang ke Minnesota. Mereka kehabisan tiket, padahal Mama Schmidt sudah memesan tiket dua minggu sebelum lebaran. Mungkin karena lebaran tahun ini bersamaan dengan libur musim panas, dimana anak-anak sekolah mendapat libur tambahan. Jadi banyak penghuni orang-orang yang bepergian walaupun sekedar hanya untuk liburan.

James, Logan dan Carlos sedih awalnya. Karena mereka tidak bisa bertemu orang tua masing-masing. Sebenarnya ini lebaran kedua yang mereka rayakan di Palm Woods, sama seperti lebaran tahun lalu, hanya bedanya tahun lalu. Orang tua James, Logan dan Carlos berlebaran bersama mereka di sini. Jadi mereka tidak terlalu kehilangan suasana lebaran seperti di Minnesota. Tidak seperti sekarang. Mereka hanya merayakannya berenam bersama Katie dan Mama Knight.

Tapi tentu saja mereka telah menelepon keluarga masing-masing, menyampaikan maaf walau hanya via telepon—dan skype. Itu cukup untuk James, Logan dan Calos. Yang penting mereka tak kehilangan momen lebaran, yang intinya adalah saling memaafkan.

***

3.30 am.

Alarm Logan mulai berbunyi. Terkantuk-kantuk Logan meraba alarmnya dalam gelap, kemudian mematikannya. Dia bangkit, duduk sebentar di pinggir ranjang, mengumpulkan nyawa. Lalu perlahan membangunkan teman-temannya.

“Ehh bangun bagun..... sahur!!”

Logan mengguncang tubuh temannya satu persatu. Kendall dan James  setengah menggerutu bangkit dari tempat tidur masing-masing. Sementara Carlos yang paling kebo diantara mereka masih tertidur, walaupun sudah dibangunkan dengan cara paling tak manusiawi sekalipun. Dia malah berguling sambil mengigau.

“Iya Uje... saya beli helmnya. Santai men..”

***
 “Tumben gak ada yang bangunin pake kentongan.” Logan bergumam.

Mereka berempat tersaruk-saruk menuju meja makan, dengan Carlos yang basah kuyup mengekor dibelakang. Kendall, Logan dan James terpaksa mengguyurnya dengan seember penuh air untuk membangunkannya.

“Mana makanannya??” cuma karena yang satu itu Carlos menahan diri untuk tidak marah-marah pada ketiga sahabatnya.

Kendall, Logan dan James menoleh ke meja makan yang kosong melompong.

“MOOOOOOM!!!!” Kendall berteriak memanggil Mama Schmidt.

“MOOOOM!!!!” panggil Kendall lebih keras, heran kenapa ibunya sendiri bisa lupa untuk menyiapkan sahur.

“Wah.. emak lo kebo juga ternyata Ken..” Kata James tak sabar.

“Tau nih.. gak biasanya.” Mereka bergegas ke kamar Mama Schmidt, menggedor-gedor pintunya seperti orang kesurupan.

“Gak mempan.” Kendall mulai panik. “Jangan-jangan emak gue sama Katie mati di dalem.”

“Carlos..” Kata Logan cepat tanggap. “Dobrak pintunya!”

Beruntung. Belum sempat Carlos mendobrak pintu, dan melakukan aksi yang lebih anarkis. Mama Schmidt, terkantuk-kantuk membuka pintu.

“Kalian ngapain pagi buta begini?!” sembur beliau.

“Sahur Mom... kenapa makanannya belum disiapin?” Kendall menjelaskan.

“Iya.. mentang-mentang kemarin hari terakhir puasa, masa sekarang males sahur.. ntar puasanya gak berkah.” Carlos sok menggurui.

Tiba-tiba Logan, Kendall dan James membeku mendengar perkataan Carlos.

Mama Schmidt cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah cowok-cowok itu, beliau  menutup pintunya dan kembali tidur.

“Logan..” Kata Kendall menahan kesal. “Lo kerajinan apa kurang kerjaan sih?”

“Iya nih kutu satu.. padahal gue lagi enak-enak tidur, mimpi pacaran ama Vanilla Sepen Ikon.. parah lo!!” semprot James.

Logan cuma mesem-mesem.”Sorry Mamen.. gue lupa matiin alarm.”

“Ada apaan sih???” Tanya Carlos polos. Rupanya dia belum mengerti apa yang sedang terjadi.

“Ampun deh ini makluk.” James menjitak kepala Carlos gemas. “Kan lo sendiri yang bilang kemarin hari terakhir puasa.”

“Terus???” tanya Carlos masih tak mengerti.

“Ya kalo kemarin udah hari terakhir, ngapain kita puasa lagi besok?!”

Carlos terdiam, dari wajahnya sepertinya dia sedang berpikir keras. “Jadi sekarang kita gak sahur nih?”

“Ya kagak.. kan besok udah lebaran.. udah ah gue mau tidur lagi.” Logan beranjak menuju kamarnya, diikuti Kendall dan James.

“Terus gue udah basah kuyup begini kita gak jadi makan gitu?” Carlos shock.

Kendall berbalik, dia menatap Carlos prihatin, meletakkan kedua tangannya di bahu Carlos. “Hidup memang keras kawan.”

***

Carlos ngambek.

Terang aja, siapa yang gak ngambek kalo pagi-pagi buta udah disiram air sedingin es terus ujung-ujungnya gak jadi dapet makanan kayak yang dibayangin. Carlos dongkol banget sama ketiga sahabatnya. Dia menolak berbicara dengan mereka. Tak peduli walaupun sahabat-sahabatnya merayu dengan berbagai macam cara. Bahkan ceramah panjang lebar Logan tentang bagaimana seharusnya kita saling memaafkan di hari Idul Fitripun tak dapat melunakkan hati Carlos.

“Wah gawat... dia beneran ngambul.” Kendall berbisik kepada Logan dan James. Mereka memperhatikan Carlos yang menyiapkan perlengkapan sholat Iednya dalam diam.

“Pokoknya ini semua salah Logan!” tuding James.

“Lah.. kenapa gue?!” Logan yang tak mau disalahkan protes. “Kan lo yang nyuruh kita buat nyiram dia.”

“Tapi kalo bukan karena lo yang kerajinan nyalain alarm gue gak bakal nyuruh buat nyiram dia kali.” James tak mau kalah.

“Eehh.. udah.... kenapa malah jadi kalian yang berantem.” Kendall menengahi. “Itu Carlos begimana.”

Logan menghela nafas. “Udah biarin aja.. ntar juga baik sendiri tuh anak.”

“Boys.. ayo cepet. Sholatnya udah mau mulai tuh.” Mama Knight memanggil dari depan.

Kendall, Logan dan James buru-buru memakai pecinya, sementara Carlos malah memakai helm.

“Los... gak salah kostum lo? Masa Sholat pake helm? Ntar sholatnya gak sah loh.. emang lo yakin helm itu udah suci dari hadas.” Logan yang memang paling alim tak tahan untuk tak menggurui.

Tapi Carlos melengos, gayanya udah kayak anak kecil yang ngambek gak dikasih permen. Kendall, Logan dan James cuma bisa geleng-geleng kepala, istighfar.

Bahkan saat sholatpun, Carlos memilih saf yang jauh dari teman-temannya. Kendall, Logan dan James makin tak enak hati. Biasanya Carlos tak pernah seperti ini. Mereka tak mau masalah sepele seperti ini merusak hari raya mereka yang seharusnya bersih dari dosa.

“Kita gak bisa diem aja. Biasanya kalo Carlos ngambek tuh ada maunya.” James berbisik ke teman-temannya sesaat sebelum sholat dimulai.

Logan tersenyum misterius, balas berbisik “Tenang. Gue punya ide.”

Kendall dan James saling pandang. Kemudian mengangkat bahu. Yah percayakan saja pada Logan, pikir mereka.

***

“Mom.. maafin Kendall ya, Kendall banyak salah sama Mom.” Kendall mencium kedua tangan Mama Schmidt, air mata haru bergulir di pipinya, teringat segala kelakuan kurang ajarnya selama ini.

Mama Schmidt sendiri tak bisa membendung air matanya. Beliau memeluk Kendall erat. “Iya sayang. Maafin Mom juga ya kalo selama ini suka cerewet sama kamu.”

“Kita juga minta maaf Mama Knight, kita sering kurang ajar.” Logan, James dan Carlos bergantian menyalami Mama Knight.

“Iya boys.. gak apa-apa kalian udah Mama anggap anak sendiri.” Mama Knight memeluk mereka satu persatu.

Katie juga ikut menyalami mereka satu-persatu. Suasana haru menyelimuti apartemen mereka pagi itu.

“Yuk, sekarang kita keliling.” Ajak Logan ke teman-temannya. “Carlos ikut gak lo?”

“Hmm...” Jawab Carlos singkat, walaupun masih ngambek tapi dia sudah mulai mau berbicara lagi.

Bersama-sama mereka ke lobby. Mr. Bitters adalah orang pertama yang mereka cari.

“Minal Aidin ya Mr. Bitters. Maaf kalo kita sering ngerusakin barang di sini.”

“Iya sama-sama... Ane juga minta maaf sering pelit sama kalian.” Mr. Bitters tersenyum malu.

Hari itu mereka habiskan dengan bersalam-salaman dengan seluruh penghuni Palm Woods. Bahkan Gustavo dan Kellypun datang. Gustavo dengan senyum sumringahnya yang jarang terlihat meminta maaf kepada Kendall cs. Tapi sayangnya, kue-kue Mama Schmidt ludes karena kedatangan Gustavo. Itu membuat wajah Carlos yang sejak pagi sudah ditekuk, jadi tambah ditekuk.

“Gan.. rencana lo apaan biar Carlos gak ngambek lagi?” tanya James,karena walau sudah lewat tengah hari Carlos belum juga mau berbicara dengan mereka.

“Beliin dia helm.” Kata Logan mantap.

“Duitnya?” tanya Kendall.

 “Kita patungan.”

“Gue gak ada duit.” James bersandar di sofa.

“Kumpulin aja dulu. Daripada Carlos ngambek terus.”

Kendall menghela nafas. “Iya deh.”

***

Carlos sedang dalam perjalan ke kolam sore itu saat dia melihat ketiga sahabatnya berdebat di loby. Carlos bersembunyi di balik tembok, mendengarkan percakapan mereka.

“Uangnya gak cukup.” Samar-samar Carlos mendengar Kendall berkata.

“Iya.. ini udah semua sisa duit THR gue, tapi tetep gak cukup.” Sahut James.

“Terus gimana?” Logan kelihatan putus asa.

Carlos ingin bertanya apa yang sedang terjadii, tapi dia gengsi. Dia kan ceritanya sedang ngambek, masa mau tiba-tiba nyambung.

“Kita minta maaf baik-baik aja deh sama Carlos, masa dia gak mau maafin.”

Merasa namanya disebut Carlos semakin mencondongkan tubuhnya.

“Kita udah minta maaf berapa kali dari tadi pagi. Tapi dia tetep gak mau maafin.” Kendall cemberut.

“Satu-satunya cara ya beliin dia helm.”

“Tapi duit kita gak cukup.”

Deg. Carlos terperangah. Jadi  teman-temannya berncana mengorbankan uang mereka untuk membelikannya helm. Astaga padahal ngambeknya selama ini cuma main-main. Dia tak akan pernah bisa marah kepada sahabat-sahabatnya. Carlos terharu, mereka semua ternyata benar-benar menyayanginya. Walaupun artinya mereka harus menyuap Carlos agar tidak marah lagi, tapi niat mereka baik.

Carlos jadi malu. Buat apa dia ngambek seperti anak kecil padahal ini hari Idul Fitri, dimana semua orang kembali suci, bersih tanpa dosa. Tapi sebuah bisikan kembali menghampirinya.

“Udah bos... gak apa-apa, lumayan dapet helm.” Kata setan.

“Sebenernya kalo mereka ngasih itu namanya hadiah bos. Gak dosa-dosa amat lah.” Malaikat yang salah alamat melanjutkan.

Tapi Carlos menggeleng kuat-kuat. Dia tak akan membiarkan Setan sesat dan Malaikat yang lebih sesat itu menjerumuskannya...lagi.

***

“Hey....” Carlos keluar dai persembunyiannya dan menghampiri sahabat-sahabatnya.

Kendall, Logan dan James yang kaget, buru-buru menyembunyikan uang yang tadi mereka kumpulkan.

“Hey...” Kata James salah tingkah. “Ada apa Los??”

“Kalian ngapain?”

“Gak ngapa-ngapain kok.... “ Logan bersiul pelan.

“Eh... lo kan lagi ngambek.. kok negur kita?”

Logan langsung menyikut rusuk Kendall. Kendall mengaduh, tapi begitu melihat tatapan yang Logan berikan dia diam.

“Ngapain lo ingetin hah.. ntar dia ngambek lagi.” Begitu kira-kira pesan yang Logan berikan dari tatapannya.

“Soal itu..” Carlos menunduk malu. “Gue mau minta maaf.. gue gak seharusnya ngambek kayak anak kecil.”

Logan, Kendall dan James menghembuskan nafas lega mendengar perkataan Carlos.

“iya nih.. gaje banget lo pake ngambek segala, dasar ababil.” Tuding James.

“Yeeee... kalian sih.. coba kalian yang disiram pake air dingin, pasti ngambek juga.”

“Elo tidurnya kayak kebo dibangunin pake cara halus gak bisa.”

“Ngapain kalian ngebangunin, orang gak sahur juga.”

“Salah Logan noh yang kerajinan nyalain alarm.”

“Eh.. nyalahin gue lagi. Kan gue khilaf...”

“STOOOOOOOOOPPP!!!!” Kendall berteriak menengahi. “Baru juga maaf-maafan udah ribut lagi.”

Logan, James dan Carlos tersenyum malu.

“Yaudah intinya, gue minta maaf sama kalian semua. Mumpung ini hari lebaran, kita harus bersih dari dosa.”

“Cieeee tumben kata-kata lo bener Los.” James menggoda Carlos.

“Kita juga mau minta maaf ya Los.. selama ini kita selalu ngerjain lo.” Kata Kendall sambil memeluk Carlos.

“Iya gue maafin kok.” Carlos tersenyum, kemudian balas memeluk Kendall.

Mereka saling berpelukan. Tak ada lagi rasa sebal dan kesal di hati Carlos karena disiram dipagi buta. Yang ada hanya rasa bangga memiliki sahabat-sahabat yang menyayanginya sepenuh hati. Yang rela mengorbankan apapun hanya untuk melihatnya kembali tersenyum. Lebaran tahun ini Carlos menemukan arti persahabatan yang sesungguhnya.

“Jadi helm gue mana?” tanya Carlos begitu mereka melepas pelukannya.

“Helm apa?” tanya Logan bingung.

“Kalian mau beliin gue helm kan.”

“Itu kan tadi waktu lo ngambek, sekarang lo udah gak ngambek, ngapain dibeliin helm.” Kata Kendall sambil melenggang ke kolam.

“Gaya lo mau dibeliin helm. Minta aja sama si Uje sonoh.” James mengikuti Kendall.

Logan cuma bisa tertawa, dia mengacak rambut Carlos lalu mengekor dibelakang James.

Carlos cemberut. Kalau tahu begini mending tadi dia mengikuti saran si setan dan malaikat sesat itu.

***

All I Want For Christmas Is You (Can't make This Over Prequel) (Revised)

La Jolla, California. Desember 10 tahun yang lalu.

Salju… aku selalu suka salju, rasanya damai banget waktu kamu memandang butiran-butiran lembut salju berjatuhan dari langit. Selain itu salju identik dengan bulan Desember, Desember tempatnya natal dan natal berarti hadiah dan makan enak. Bagi gadis 7 tahun sepertiku, mendapat hadiah-hadiah natal ibaratnya mendapat tiket ke surga. Kau selalu bisa meminta apapun yang kau inginkan, dan semua itu akan terkabul dengan cepat, beda banget dengan bulan-bulan lain dimana kamu harus berusaha mati-matian mengejar ranking untuk sekedar mendapat boneka baru.

Tapi setiap natal aku merayakannya hanya bertiga bareng Mom dan Dad, tanpa teman-teman ataupun sanak saudara lain. Hidupku selalu berpindah-pindah. Saat ini saja aku baru pindah dari Washington ke La Jolla, salah satu kota kecil di California. Dad seorang arsitek, dan dia arsitek yang bertanggung jawab banget. Dia akan memastikan bangunan yang di rancangnya sesuai dengan apa yang dia rencanakan, dan itu artinya dia harus turun langsung ke lapangan untuk memantau anak buahnya. Akibatnya, Dad harus berpindah-pindah kota, pekerjaannya kan gak selalu di satu tempat. Aku dan Mompun harus ikut dengannya. Sudah tak terhitung berapa puluh kota yang pernah kami singgahi. Paling lama satu tahun dan kami harus pindah lagi, mengikuti panggilan kerja Dad. Itu sebabnya, aku jarang punya teman. Aku gak mau terlalu akrab dengan orang lain, karena aku tahu bahwa cepat atau lambat aku akan pergi meninggalkan mereka, dan aku benci perpisahan. Jadi sekalian saja aku bersikap cuek, biar gak harus sakit hati saat berpisah.

Aku berjalan ke beranda. Salju disini lebih lebat dan putih. Kami tinggal di lingkungan yang cukup menyenangkan, banyak anak-anak sebayaku bermain perang salju di jalanan. Aku hanya melihat mereka, tidak berniat untuk bergabung, namun tiba-tiba.

Bug. . .
 
Sebongkah bola salju mendarat tepat di mukaku. Aku berpegangan pada selusur beranda agar tidak jatuh. Sialan, rasanya sakit banget. aku menyumpah-nyumpah, siapa yang melepar bola salju ke arahku. Cari mati!

“Kamu gak apa-apa??”

Tiba-tiba seseorang menghampiriku.

Aku membersihkan sisa salju di wajahku, dan mendongak. Di depanku berdiri seorang cowok, lebih tua dariku dia memakai topi rajutan yang menutupi sampai sebagian wajahnya. Dia ganteng, tapi kegantengannya gak cukup untuk menutupi rasa sakitku.

“Kamu gak punya mata ya.. kalau hidungku patah bagaimana?” Semburku, sambil mengusap-usap hidungku yang berdenyut.

Dia melihatku dengan tatapan bersalah. “Maaf, itu tadi adik sepupuku,” dia menoleh ke arah jalan, “dia benar-benar gak sengaja dan takut buat minta maaf, jadi aku kesini ngewakilin dia. Kamu gak apa-apa?”

Aku mengikuti arah pandangnya, dan melihat gadis kecil mengintip takut-takut dari balik boneka salju.

“Uh.. aku gak apa-apa, berdoa saja supaya hidungku gak patah.” Kataku masih kesal.

“Mau aku antar ke dokter?”

Aku menatapnya, dia kelihatan benar-benar khawatir. “Gak usah. . . it’s ok.”

Dia tersenyum lega. “Aku James ngomong-ngomong, kau siapa?”

“Rose.” kataku singkat.

“Wow, nama yang bagus. Kau baru pindah ya?” Katanya, melirik kardus-kardus yang belum di bereskan di depan pintuku.

“Yeah. . .dari Washington.”

“Cool…kenapa pindah?”

Bawel, kataku dalam hati. “Ikut orang tuaku, Dad seorang arsitek dia yang merancang gedung pusat perbelanjaan di tengah kota itu, jadi untuk sementara kami menetap disini sampai kerjaan Dad selesai.”

“Jadi kau gak akan selamanya tinggal disini?”

Aku menggeleng.

“Sayang sekali.”

“Kenapa?”

“Yah. . .aku jarang dapet temen baru, apalagi yang dari luar kota kayak kamu.”

Yeah. . .kayak aku mau jadi temanmu saja.

“James. . .” gadis kecil tadi menghampiri kami, dia bersembunyi di balik badan James, melihatku takut-takut.

“Oh Joeey.” kata James lalu menggendongnya,“gak apa-apa dia gak marah kok, ayo kenalan sama Rose.”

Anak itu—Joeey, mengulurkan tangannya malu-malu. “Aku Jooey, maaf yah tadi aku melempalmu, aku gak sengaja.” Katanya dengan suara cadelnya.

Aku tersenyum, dia cute banget, aku jadi gak tega memarahinya “It’s ok Jooey, aku gak apa-apa kok.” Kataku sambil menyalaminya.

Jooey tersenyum lega “Makaciii, nanti kita main belbie sama-sama ya!”

“Uh. . .akan ku usahakan.”

“Sudah yuk Jooey, Rose mau istirahat tuh, dia baru pindah dari Washington, kita pulang ya. Nanti kita ngobrol lagi, kay. . .byee Rose!” James melangkah pergi sambil menggendong Jooey. “Oh ngomong-ngomong,” dia berbali, “rumahku yang di ujung jalan situ.” Katanya menunjuk sebuah rumah bercat hijau, “kalau-kalau kau mau mampir.” Dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

Aku cuma menatap kepergiannya kayak orang bego. Aku bocah 7 tahun yang gak tahu apa-apa dan belum mengerti apa itu cinta, tapi senyuman James tadi sukses membuat hatiku meleleh.

***

“Siapa cowok tadi?”

Mom menginterogasiku begitu aku masuk rumah.

“Tetangga.” Jawabku datar lalu duduk di sofa. Mom ikut-ikutan duduk di sebelahku.

“Dia cute ya.” Katanya tersenyum jahil.

“Arrrghh Mom.” Aku menutup mukaku dengan kedua tangan.

“Kenapa?”

“Dia ngelempar aku pakai bola salju—well. . .sepupunya sih, tapi sama aja, rasanya masih sakit.”

“Awal yang indah untuk cinta” Mom terkikik. Bener deh, cuma karena Momku ini pengarang novel percintaan dia kadang-kadang bisa jadi genit banget kayak anak ABG.

“aku baru 7 tahun Mom.” Aku mengingatkan.

“Lalu kenapa? Mom dulu ketemu cinta pertama juga di umur 7.”

“Dia bukan cinta pertamaku.”

“Masa?” Mom menaikkan alisnya, menggoda ku.

“Argh. . .” Aku melemparinya bantal dan kabur ke kamar.

“Kita undang dia makan malam ya sayang.” Teriak Mom lalu terkikik lagi.

Aku membanting pintu kamar dan berbaring di ranjangku, menatap langit-langit kamar, berpikir.

James. . .

***

“Kamu udah janji mau traktir aku es krim.”

“Iya, tapi uang sakuku abis pakai beli game.”

“Salah sendiri, pokoknya aku mau es krim.”

James menggaruk kepalanya, kebingungan. Aku dan James berdiri di depan gerbang sekolah—kami sekolah di tempat yang sama, tapi James tiga tingkat di atasku. Sejak perkenalan perdana itu, James jadi sering main ke rumahku, otomatis aku sering menghabiskan waktu denagannya, itu membuat kami akrab. Aku melanggar pantanganku sendiri, tentang ‘enggak berteman dengan siapapun’. Sulit menolak James, dia itu menyenangkan dan selalu membuat tertawa. Berada di dekatnya rasanya nyaman dan terlindungi, mungkin karena aku gak punya saudara, dan kehadiran James jadi seperti abang buatku. Pokoknya, aku berhenti berpura-pura cuek dan gak peduli, menelan gengsi—dan ledekan-ledekan Mom tentu saja. Lalu memulai persahabatan dengannya. Sekarang kami jadi gak terpisahkan kayak perangko.

“Jameess. . .aku mau es krim!” Kataku lagi, lebih memaksa. Dia udah janji bakalan mentraktirku es krim dari tiga minggu yang lalu, tapi sampai sekarang belum juga terpenuhi.

“Minggu depan saja ya?” James memohon.

“Enggak!” aku menggeleng kuat-kuat. “Minggu lalu juga kamu bilang begitu, lalu minggu lalu minggu lalunya lagi. Aku mau sekarang!”

“Uh. . .baiklah, aku pinjam uangnya Tommy dulu, sebenarnya dia nitip buat beli game, tapi nona bawel ini gak mengerti yang namanya gak ada uang.” Katanya menggerutu.

Aku tersenyum manis. “Yaaaay!” Lalu berlari ke toko es krim di depan sekolah kami.

“Rose tunggu!” katanya mengejarku, “nanti kamu jatuh, sini gandeng tanganku!.”

“aku bukan balita James.”

“Tetap saja, kalau kau jatuh nanti aku yang repot.” Dia mengulurkan tangan, dan menggandeng tanganku.

“Terserahlah.” Aku memutar bola mata, tapi menyambut juga uluran tangannya “Lama-lama kamu kayak Mommy tahu.”

“Yeah. . .better save than sorry.”

***
Kami punya rumah pohon, rumah itu di bangun Dad di atas pohon oak besar di samping rumahku—terimakasih Tuhan kau memberiku ayah seorang arsitek. Gak terlalu besar sih, tapi cukup menyenangkan untuk dijadikan ‘markas’ khusus buatku dan James. Tiap hari kami meghabiskan waktu disana, mengerjakan pr, curhat, bermain monopoli dan macam-macam lagi. Rasanya seperti mempunyai kerajaan sendiri dengan aku dan James sebagai penguasa. Tidak ada anak lain yang boleh naik ke rumah pohon kami, hanya aku dan James.

***

Natal tahun ini aku gak kesepian lagi. Aku punya James dan keluarganya yang ramai. Gak seperti natal pertama yang aku rayakan disini—di La Jolla, natal tahun ini benar-benar istimewa. Kami menghabiskan malam natal di kebun belakang rumah James, Mom, dan Auntie Cathy—Mommynya James, memasak makanan yang enak banget, belum lagi ditambah saudara dan sepupu-sepupu James yang lucu-lucu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku sebahagia ini di malam natal, dan untuk pertama kalinya pula aku gak meminta hadiah macam-macam ke Santa, aku cuma minta James.
***

“James, kamu pacaran ya sama Angela itu?” Kami sedang berada di rumah pohon, menikmati liburan tahun baru yang membosankan. Aku tidur di pangkuan James, sementara dia asyik membaca buku.

“Memangnya kenapa?”

“Gak ada sih.”

“Kamu cemburu?” Dia tersenyum nakal, meletakkan buku yang dibacanya.

“Enak saja.” Aku bangkit dan duduk di sampingnnya.

“Udah ngaku aja.”

“Mimpi dulu sana!”

Dia terkekeh. “Cemburu juga gak apa-apa kok.”

“Jameeeesss…” Aku mengcak-acak rambutnya. “Aku serius tahu, kemarin aku lihat kalian berduaan di perpustakaan.”

James merapikan rambutnya. “Enggak kok, dia sih memang naksir aku. Tapi aku gak suka cewek brunette.”

“Kenapa? Angela kan cantik, udah gitu dia ikut tim pemandu sorak.” Kataku sedikit mencibir.

“Tapi dia bukan tipe ku. Kamu kenapa sih? Kok nanya yang begitu?” Dia menaikkan sebelah alisnya.

“Uh. . .gak ada, aku gak suka aja sama dia, dia suka sama kamu, cuman karena kamu itu calon artis” belakangan aku baru tahu kalau James itu sering ikut casting pencarian bakat dan terobsesi banget jadi artis, malah dia pernah mendapat sebuah peran di salah satu drama musikal baru-baru ini.

“Masa sih? Bukannya dia suka aku karena aku ini memang ganteng.” Dia tersenyum sok imut

Aku mengacak-acak rambutnya lagi. “Dasar besar kepala!”

“Ha ha. . .lagian biarin aja dia. Aku udah punya cewek yang aku taksir.”

“Oh ya? Siapa?” Tanyaku penasaran.

Dia mengeleng. “Ada deeeh.. my lips are sealed.” Katanya sambil membuat gerakan mengunci bibir.

“Peliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt!!!” Aku mengacak rambutnya lagi dan lagi. Kami tertawa bersama, tapi tunggu, James sudah punya seseorang yang ditaksirnya. Kenapa aku sakit hati?

***

‘there is no forever for happiness .’

Aku percaya kata-kata itu, dan aku selalu berusaha menahan diriku untuk tidak terlalu terlena dengan kebahagiaan karena aku tahu, kebahagiaan tidak akan bertahan selamanya.

Tapi aku melupakannya, aku melupakan kata-kata yang sudah jadi pegangan hidupku itu. Aku terlalu terlena dengan kehadiran James. Jadi waktu Mom bilang kalau kami sekeluarga harus pindah lagi, karena Dad mendapat panggilan kerja di tempat lain dan pekerjaannya di sini sudah rampung. Aku seperti mendapat tonjokan keras dari petinju sekaliber Mctyson.

Ini gak boleh terjadi. Aku gak mau ninggalin James, sahabat pertama yang aku miliki.

Maka aku mengamuk, menendang, membanting, menghancurkan setengah isi ruang keluarga, karena aku gak mau pindah. Aku gak mau ninggalin kehidupanku yang sempurna disini dan memulai hidup baru di tempat yang sama sekali asing buatku.

“Palo Alto gak terlalu jauh dari sini sayang, gak sampai 3 jam kalau naik kereta.”

“Kami, janji—Mom dan Dad akan sering-sering mengantarmu berkunjung ke sini.” Mom dan Dad berusaha membujukku.

“GAK MAU!!!” Aku berteriak “AKU UDAH NYAMAN BANGET DI SINI DAN AKU GAK MAU PINDAH!!!” Menjadi anak tunggal, dan satu-satunya yang dilimpahi kasih sayang membutku keras kepala dan manja.

“Tapi sayang, Dad ada proyek baru, dan kita harus ikut—”

“GAK MAU!!!!!” Aku memotong kata-kata Mom, “AKU MAU TINGGAL DISINI, KALIAN SAJA YANG PERGI.!”

“Sayang. . .” Mom berkata dengan sabar, dan berjongkok di depanku. “Kami gak mungkin ninggalin kamu sendirian.” Dia mendekap wajahku, yang pasti merah padam menahan tangis.

Aku menepis tangan Mom “AKU JUGA GAK MUNGKIN NINGGALIN JAMES!!!” dan aku berlari meninggalkan mereka, meninggalkan Mom dan Dad yang bingung menghadapi putri semata wayangnya yang kurang ajar.

***

“Ternyata kamu disini.”

James melongokkan kepala ke dalam rumah pohon. Aku meringkuk disana sendirian, menangis sejadi-jadinya sampai mataku bengkak. Mom atau Dad tidak mencariku, mereka menghargai privasi atau memang memberikanku waktu untuk berpikir.

“Kenapa nangis?” Tanya James begitu masuk dan duduk di sebelahku.

Aku menyandarkan kepala di bahunya, masih berlinang air mata.

“Mom sama Dad jahat.” Kataku terbata-bata.

“Hussh. . .” James melingkarkan tangannya di pundakku, menarikku lebih dekat. “Mereka udah cerita sama aku. Kamu gak seharusnya membentak mereka seperti itu.”

Dinasehati begitu aku jadi ingin meledak-ledak lagi. “Kamu gak ngerti, aku mau pindah. Itu artinya kita gak bisa ketemu lagi.” Kataku bersusah payah menahan air mata.

“Siapa bilang? Ibumu kan sudah janji mau menemanimu berkunjung, lagipula apa kamu pikir aku gak bakalan ngunjungin kamu?”

Aku mengangkat kepalaku menatapnya. “Kamu mau mengunjungiku?”

James tersenyum, menghapus air mataku. “Tentu saja. Apa kamu kira aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Sorry ya. . .kau itu terikat sama aku seumur hidup!” katanya menekankan kata terakhir.

Aku tertawa, yang malah kedengaran seperti isakan. “Memangnya boleh sama orang tuamu?”

“Hey.. aku kan bukan bocah 9 tahun sepertimu. Aku sudah 12 tahun, dan itu artinya, aku bisa pergi kemana saja sesukaku, tanpa perlu di awasi, dan besok kalau aku sudah jadi artis besar dan punya uang banyak, aku janji aku akan mengikuti kemanapun kamu pergi.”

Biasanya aku akan mencubitnya kalau dia sudah memanggilku bocah, tapi untuk saat ini aku hanya diam dan memeluknya erat. “Terimakasih James.”

“Gak perlu. Kapan kau berangkat?”

“Satu minggu lagi.”

***

Tapi sejak saat itu James gak pernah menampakkan batang hidungnya lagi. Dia gak pernah ke rumah pohon, gak pernah membantuku membuat pr, gak pernah mentraktirku es krim dan bahkan saat aku cari ke rumahnya, dia selalu sibuk. Aku kesel banget, padahal tiga hari lagi aku akan pergi ninggalin dia, tapi dia sama sekali gak membantu membuat saat-saat terakhir ini berkesan.

Apa dia sengaja menjauhiku supaya aku benci, dan ngelupain dia? Tapi buat apa, dia sendiri yang bilang kalau dia bakalan sering-sering mengunjungiku di tempat tinggal baruku nanti. Buat apa dia bohong? Kecuali kalau dia gak mau berteman sama aku lagi, dan dia ngelakuin ini biar aku lupa sama dia? Tapi James bukan orang yang seperti itu.

Sial, James, kamu kenapa?

***

Bahkan saat tiba waktuku untuk pergi, James sama sekali tidak datang untuk mengucapkan selamat tinggal—padahal Joeey saja melepas kepergianku dengan air mata. Aku menghela nafas pasrah mungkin James memang mau melupakanku.

“Sayang, tunggu disini dulu ya. Mom mau membantu Dad memeriksa barang-barang kita.”
Aku mengangguk, lalu masuk ke kompartemen kereta kami. Aku duduk di dekat jendela, melihat kesibukan di stasiun kereta yang ramai ini.

“James.” kataku pelan, berharap dia ada disini.

Lalu tiba-tiba pintu kompertemen terbuka, aku menoleh dan melihat James berdiri disana, rambutnya acak-acakan dan nafasnya terengah.

“James ngapain kamu disini?” Aku setengah terkejut, setengah gembira.

Dia nyengir dan masuk ke dalam kompertemen. “Aku kan belum mengucapkan salam perpisahan.” James berkata sambil mengatur nafasnya, “aku juga punya hadiah untukmu.” Dia menarik sesuatu yang dilipat dari saku jaketnnya.“Gak sempat dibungkus, buru-buru sih.”

Aku menyambar barang itu, bahkan sebelum dia mengulurkannya. “Topi rajut?” tanyaku heran begitu membuka lipatannya, topi rajut itu persis sama seperti yang dipakai James dulu saat pertama kali kita bertemu.

“Uh. . .iya, aku yang membuatnya sendiri, gak terlalu rapi sih, tapi kurasa masih bisa dipakai.” Kata James malu-malu.

“Dan untuk apa tepatnya aku menginginkan topi rajut?”

“Well. . .sebentar lagi musim dingin, aku harap kamu mau pakai itu biar gak kedinginan, dan supaya kamu gak kena lempar bola salju lagi.” Dia menunduk, mukanya memerah.

“James!” aku meloncat ke pelukannya. “Kamu baik banget, thanks berat tapi aku gak punya apa-apa buat dikasih ke kamu.”

“Gak perlu kok, kamu udah ngasih aku dua tahun yang menyengkan.” Dia tersenyum.

Aku membalas senyumanya “Tunggu, jadi selama ini kamu ngejauhin aku gara-gara bikin ini?”

James menggaruk tengkuknya “Uh. . Iya.,ku mati-matian menyuruh Mom mengajariku, bahkan sampai begadang.”

“Kenapa gak bilang dari awal, aku kira kamu sengaja jauhin aku."

“Kalau bilang gak jadi kejutan dong.”

Bunyi peluit kereta api menghentikan perdebatan kami.

“Duh,kayaknya aku harus turun sekarang.” Dia menoleh keluar, sebentar lagi kereta akan berangkat. “Kamu jangan lupain aku ya, aku pasti ngunjungin kamu tiap bulan.”

“Gak akan lupa, kamu juga jangan lupa ya dan jangan deket-deket si Angela itu.”

James tertawa, “tentu.” Dia sudah di ambang pintu ketika berbalik, “hmm, aku boleh minta hadiah perpisahanku gak?”

Aku mengernyit bingung “Tentu, memangnya apa yang—”

Tiba-tiba saja, bibir James sudah menempel di bibirku. Itu bukan jenis ciuman yang kau lihat di film-film dimana pelakunya berusaha mengklaim bibir lawan, James hanya menempelkan bibirnya di bibirku selama beberapa detik, kemudian menariknya kembali.

“Itu saja…” katanya salah tingkah.

Aku gak bisa berkata apa-apa. Perutku mulas, kakiku tiba-tiba tersa seperti jelly. Inikah rasanya berciuman?

Bunyi peluit kedua, orang-orang sekarang bergegas naik ke kereta.

“Aku akan mengantarmu dari luar.” Katanya kemudian, lalu bergegas turun.

Aku masih shock, tidak bisa berkata apa-apa.

Bunyi peluit lagi dan kereta mulai berajalan.

“Rose.” James mengetuk kaca jendela dari luar, aku tersadar dan buru-buru menghampirinya. Dia berlari agar bisa menjajari kereta yang mulai bergerak.

“Disana jangan lirik-lirik cowok lain ya, mulai sekarang kamu pacarku.!”

“Gak akan.” aku menggeleng “Kamu juga jangan genit-genit sama cewek lain.”

Dia menangkat jempolnya sebagai jawaban. Kereta mulai bergerak lebih cepat, James sudah tidak bisa mensejajari lajunya. Maka dia berhenti berlari, berdiri di peron sambil melambai ke arahku.

I LOVEEE YOUUUU.” teriaknya

I love you too.” Balasku pelan, tersenyum bahagia ke arahnya, sampai kemudian kereta berbelok dan dia menghilang dari pandangan.

“Wow, dia cowok yang sweet banget.”

Aku menoleh, entah sejak kapan Mom sudah berada di sampingku.

“Mooom.” Aku memeluknya erat.

“Sepertinya putri kecilku sudah tambah besar sekarang.”

Aku nyengir. “Janji ya Mom, natal besok kita habiskan bareng kelurga James lagi.”

“Tentu sayang, Dad pasti bakalan seneng banget.”

Aku memeluk Mom lagi, perasaanku ringan seringan kapas, beruntung sekali aku mempunyai Mom dan Dad, dan sekarang James,yang akan selalu aku nanti sebagai kado natal terindah.


Dear Santa:
I don’t want a lot this christmas
There’s just one thing I need
I don’t care anymore about the presents
All I want for christmas is him
Santa, please bring me the one I really need
Please bring my baby to me

**********************************************