Sunday, April 29, 2012

Big Time Ramadhan



 Disclaimer: a Big Time Rush fanfiction. i own nothing, all the characters are belong to the owners. i just wanna share my simple story. enjoy :)



____________________________________________________

“Aaaaahhhh..” Erangan lemah.

“Aaahhhhhhh..” Erangan lagi.

“AAAAAAHHHHHH” lebih keras dari sebelumnya.
                
“Carlos.. Carlos.. stop it..!!!” Logan berteriak dari ujung ruangan, sebelum Carlos mengerang lebih keras lagi.

“Gue laper Gaaaaan…” kata Carlos lemas dari balik sofa.

“Emang gue peduli.” Kata Logan santai.

“Gue pengen makan..”

“Ya makan sana???”

“Boleehh???” Carlos menegakkan tubuhnya, menatap Logan penuh harap.

“Ntar kalau udah bedug maghrib..”

“Aaaahhhh…” merosot lagi ke sofa.

“bagaimana lagi. Mau puasa lo batal?? Kayak anak kecil aja.” Logan mencibir.

“Tapi gue kelaperan.. gimana ntar kalo gue mati…”

“Ya tinggal dikubur, susah amat.”

Duug.. sebuah helm mendarat di kepala Logan.

“CARLOS!! Gue lagi ngerjain pr!!” teriak Logan marah. Carlos hanya menjulurkan lidahnya, tertawa mengejek. Logan mendengus, kemudian kembali menekuni pekerjaannya, tidak mau membuang-buang tenaganya untuk membalas Carlos.

Carlos bersandar kesofa. Membelai-belai perutnya yang keroncongan. “Sabar ya sayang.. bedug tinggal 5 jam lagi kok. Kamu pasti kuat.” Ia bergumam sendiri sambil membelai perutnya. Logan memutar bola mata melihat tingkah sahabatnya itu.

Tiba-tiba pintu menjeblak terbuka.

“Hey.. ada yang liat Kendall??” James melenggang masuk menenteng segelas es cendol di tangannya.

Carlos menggeleng, Logan terbelalak.
“James.. apa yang di tangan lo itu?”

James menoleh ke tangan kanannya yang menenteng cendol. “Cendol.. gue beli tuh di depan.. mau??” katanya santai sambil menyesap minuman dingin itu.

“Tapi lo kan PUASA!!!!”

James terdiam, melihat Logan, kemudian cendolnya, melihat Logan, kemudian cendol lagi, Logan lagi, cendol lagi, Logan lagi, cendol lagi. Cicak-cicak di dinding sampai pusing melihat James.


“MPOK ATIK JUNGKIR BALIK. GUE LUPA KALO GUE PUASA!!!” teriaknya tiba-tiba, kemudian melempar cendol di tangannya. “gimana nih, puasa gue batal dong.. emak gue pasti marah nih, Ya Allah tolong, James gak sengaja Ya Allah.. aduh aduh puasa gue batal, padahal baru sehari juga, gue pasti di ketawain nih.. gimana kalo ketauan orang-orang, pamor gue pasti runtuh. Ya ampun kok bisa-bisanya sih.. lagian ngapain ada jual cendol sih puasa-puasa. Gue bisa tuntut tuh tukang cendol, gimana puasa bisa lancar kalo dia tetep jualan kayak gitu, gak tau diri apa. Puasa gue kan jadi batal…..” oceh James sambil bolak-balik kayak setrikaan

“Uhh James..” Logan berusaha memotong James dari ocehannya.

“itu tukang cendol gak ngingetin gue lagi kalo ini puasa, bener-bener gak tau toleransi, seharusnya dia nanya dulu kek gue puasa apa nggak, kan kalo gitu puas gue gak jadi batal…….” James terus saja nyerocos dengan kecepatan cahaya.

“James…”

“pokoknya gak ada yang boleh tahu…. Gak ada!! Ntar gue ancem tuh tukang cendol,, awas aja dia nyebarin kalo gue beli cendolnya.. bisa-bisa cewek-cewek pada ilfil sama gue. Puasa James batal!! Gak bisa diterima…”

“JAMES KALO LO GAK SENGAJA PUASA LO GAK BATAL!!!!” teriak Logan akhirnya, saking kesalnya tidak digubris James.

James menoleh, kemudian meringis melihat Logan yang basah kuyup ketumpahan cendol. Rupanya tadi cendol yang dilempar James tanpa sengaja mengenai Logan
“serius lo?? Kalo gue lupa, puasa gue gak batal??”

Logan mengangguk kesal,  “kata pak ustad begitu! sekarang, gue permisi dulu. Mau bersihin ini cendol yang tumpah dari langit!!” katanya sambil melotot kearah James, dan berlalu ke kamar mandi.

James cuma nyengir sebagai permintaan maaf. Kemudian melempar dirinya ke sofa. “Huuuh.. untung puasa gue gak jadi batal.”

Carlos yang dari tadi hanya memperhatikan kedua sahabatnya itu, tersenyum licik.
***
“Oke.. jadi kalo gue lupa, terus makan.. puasa gue gak batal. So.. sekarang yang harus gue lakuin adalah buat diri gue lupa kalo gue lagi puasa, terus makan. Gue kenyang, puasa gue aman..” Carlos tersenyum senang dengan idenya sendiri.

“Ayo Carlos.. konsentrasi.. buat diri lo lupa kalo lo lagi puasa.” Katanya lagi, memejamkan matanya, dan bolak balik dari ujung ke ujung.

“Carlos gak sedang puasa…. Carlos gak sedang puasa… Carlos gak sedang puasa… Carlos gak sedang puasa.” Gumamnya kepada diri sendiri.

“Oh.. ayo dooong lupa…!!!”

“Carlos…”
Teriakan Kendall membuyarkan konsentrasinya.

“Ngapain lo sendirian disini??” kata Kendall memperhatikan kolam Palm Woods yang sepi. Memang, kalau siang-siang panas  begini, penghuninya lebih senang tinggal di dalam ruangan ber-AC, daripada harus mengambil resiko membatalkan puasa melihat kolam yang menggoda itu.

“Uh.. gak ngapa-ngapain..” Jawab Carlos gugup.

Kendall menyipitkan matanya, curiga. “Bener???”

Carlos mengengguk cepat “iya.. gue cuma…cuma… nyari angin aja kok.” Tersenyum meyakinkan.

“O…kee” Kendall tambah curiga, apalagi begitu melihat keringat Carlos yang sebesar popcorn yang mulai bermunculan di pelipisnya. “Kalo gitu gue temenin deh..”

“Jangan..” kata Carlos cepat. “ntar gue gak bisa konsentrasi.” Kalau Kendall nemenin dia, gimana dia bisa lupa kalau dia lagi puasa, Kendall pasti ngingetin.

“Cari angin kok pake konsentrasi.. ayo Carlos, lo nyembunyiin apa??”

“Ehh itu…. Itu….. ituu…” Carlos makin gugup dan semakin berkeringat.

Kendall mendekatkan wajahnya kearah Carlos, mengintimidasi.

Carlos memejamkan mata, takut menatap wajah Kendall, dia memang tak pandai berbohong. Kendall pasti akan menertawakannya.

***

“Allahu Akbar Allahu Akbar…”

Suara adzan maghrib membahana dari mushola Palm Woods. Kendall, James, Logan, Carlos, Katie dan Mama Knight, mengucap syukur bersamaan. Mereka duduk mengelilingi meja makan yang penuh dengan makannan-makannan lezat tak terkira. Ada perkedel jagung favorit Kendall, ayam goreng kesukaan Carlos, serta rendang dan sayur asem kesukaan James dan Logan. Mereka makan dengan lahap—kalau tidak mau dibilang rakus. Suara kunyahan memenuhi ruangan.

“Puasa kalian lancar kan??” Tanya Mama Knight sambil lalu.

Logan mengangguk cepat, menikmati setiap kunyahan.

“Insya Allah..” James mengedikkan bahu menampakkan wajah tak berdosa.

Kendall dan Carlos membeku, ayam goreng yang baru diambil Carlos terjatuh kembali.

Bukan Mama Knight namanya, kalu tidak menyadari perubahan pada sikap anak sulungnya itu. Dia memandang curiga kearah Kendall dan Carlos. “bagaimana dengan kalian?”

“Itu idenya Carlos!!” Kendall menuding Carlos tiba-tiba.

“What??? Gue kan gak pernah nyuruh lo ikut-ikutan.” Carlos membela diri.

“Tapi lo buat gue mempertimbangkan hal yang sama. Lo yang masukin ide itu ke kepala gue!!” Kendall tak mau kalah.

“Siapa suruh lo maksa gue buat cerita.”

“Gue gak maksa!!”

“WOOEYY WOOEYY.. SANTAI COOOY!!” Mama Knight memutus pertengkaran Kendall dan Carlos. Membuat James, Logan dan Katie kecewa, padahal mereka sudah pasang taruhan.

“Apa yang kalian berdua lakuin? Cerita yang bener!” Mama Knight mengancam.

Kendall dan Carlos tertunduk. “Puasa kita batal.” Kata mereka bersamaan.

“WHAT??”

“WHAT??”

“WHAT?????’

“WHAAAT???” empat orang kompak menyuarakan hal yang sama.

“how could??” kata Logan tak percaya.

“Tadi lo bilang kalo kita lupa lagi puasa, terus makan, puasa kita gak batal. Gue sama Kendall ngelakuin hal itu.” Kata Carlos pelan.

“Maksudnya kalian gak sengaja makan??” Katie meluruskan.

“Niatnya sih lupa.. tapi baru makan sesendok, kita inget lagi kalo kita sedang puasa.”

“teruuus???”

“Yaudah.. kita berenti makan, kan udah inget.”

Mama Knight tersenyum melihat kepolosan anak-anaknya itu. “setidaknya kalian bisa menahan diri. Lain kali jangan di ulangi!”

“Ya mom..” Kendall berkata pelan, kembali menyendok makanannya.

Logan dan James tertawa melihat kedua temannya. Membuat mereka mendapat lemparan masing-masing perkedel dan ayam goreng.

Kendall dan Carlos malu pada diri sendiri, Katie saja yang baru 12 tahun bisa puasa penuh, padahal dia cewek. Sementara mereka… Lain kali mereka akan mencari ide yang lebih brilian untuk membatalkan puasa mereka. Eh….???

**********************

Because Of You


“Kita harus melakukannya. Dia sudah tidak kuat lagi, cuma ini pilihan yang ada. Alat-alat itulah yang selama ini menopang hidupnya, kau tidak ingin dia hidup dengan alat-alat itu selamanyakan?”

Ciara menyandarkan tubuhnya di dinding kaca, di seberang ruangan, orang yang dicintainya terbaring lemah. Suara-suara alat medis bergema di ruang rawat itu. Sudah lebih dari enam bulan Jamesnya dirawat disana. Koma, dan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda keadaannya akan membaik. Selama ini alat-alat penunjang kehidupan—yang mengelilingi seluruh tubuhnya—lah yang membuatnya tetap bernafas. Dan kini dokter menyarankannya mencabut alat-alat itu, meminta Ciara untuk mengikhlaskan orang yang paling berharga dalam hidupnya.

“Ciara…” sang dokter mengusap lembut punggungnya.

Ciara menoleh, air mata berlinang tiada henti. Teringat kata-kata James dulu saat kanker ganas berhasil mengalahkannya. Ciara harus mengambil keputusan terbaik, walaupun keputusan itu merugikan salah satu pihak, itu pinta James. Tapi bagaimana mungkin Ciara membiarkan James pergi meninggalkannya. Ciara tidak mau sendiri lagi.

Dokter wanita itu tersenyum lembut. Dia mengerti beban batin yang di derita Ciara. Dia kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Prosedur medis memaksanya untuk melakukan hal ini.

“Keputusan ada di tanganmu, nak..”

Ciara menengok ke ranjang untuk terakhir kali, dan dengan isakan tertahan, dia mengangguk pelan.

***

Dering telepon mengusik kesadaran Ciara. Dia membuka matanya perlahan. Kepalanya pening, tangannya kesemutan karena dipakai menumpu berat badannya semalaman. Dia tertidur di sofa, sinar matahari mengintip dari balik gorden yang tertutup.

Dering telepon terdengar lagi, Ciara bergegas mencari benda mungil itu dan segera menjawab telepon di seberang sana.

“Halo..” sapanya lemah.

“Kau sudah bangun putri tidur.”

Tubuh Ciara menegang.
“J…James??”

Orang disebrang sana tertawa “Bukan aku pangeran yang akan menyelamatkanmu.”

Ciara menutup telepon dan segera berlari ke kamar tidurnya. Disana dia melihat James berbaring di ranjang sambil memegang telepon, James tersenyum begitu melihat Ciara.

“Hey.. kau menemukanku...ada apa??” tanyanya heran saat Ciara memeluknya erat sambil menangis.

Ciara hanya menggeleng, dipeluknya tubuh kurus James, menghirup aroma tubuhnya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa Jamesnya masih hidup.

“Sayang, kau baik-baik saja kan??” James terdengar cemas.

“Mhm..” kata Ciara, menaik tubuhnya dan memandang James. Di belainya pipi pucat James penuh sayang. Dia bersyukur semua itu tidak nyata, mimpi-mimpi buruk belakangan ini memang sering menghantuinya, sejak James di diagnosa menderita kanker ganas. Ciara terlalu sayang pada suami yang baru dinikahinya setahun yang lalu itu, dia belum sanggup ditinggal pergi.

James mengecup lembut tangan Ciara.
“lalu kenapa kau menangis?”

Ciara menggeleng, dan membenamkan wajahnya di dada bidang James. “Cuma mimpi buruk.” Katanya pelan.

“Mimpi?”

“Ya.. mimpi yang tidak penting..”

“Baiklah…” James merangkulnya erat. “Jadi, kau ketiduran di sofa lagi?”

Tersenyum. “Yah.. maaf, aku tidak menemanimu tadi malam.”

“Tidak apa. acara tv itu memang lebih menarik dari pada suami mu sendiri.” Ada nada merajuk disana.

“James…” Ciara mengerang, merasa bersalah. Dia menatap sepasang mata hazel indah James, yang selalu bisa membuatnya tenggelam. “Maaf aku tidak bermaksud seperti itu.”

James terkekeh “Cuma bercanda sayang… aku tahu aku akan selalu menjadi yang pertama di hatimu.”

Mendesah lega, Ciara mengecup lembut bibir James. “You always come first. Always have always will.”

“Thanks darling.. you’ll always be my first too..”

Ciara tersenyum dan menghapus sisa air matanya.

“Oh.. aku lupa, kau harus minum obat. Tunggu ya.. aku ambilkan obatmu dulu.” Ciara bergegas turun dari ranjang, tetapi James menahannya.

“Ciara, please… sekali ini saja. Aku ingin lepas dari obat-obat itu.”

“Tapi kau sakit James, kau harus minum obat.”

“Tidak minum obat sekali, tidak akan membunuhku. Ayolah, untuk hari special ini.”

“Hari special??” Ciara mengerutkan keningnya.

“Kau lupa?? Ini hari ulang tahun mu bebe..”

“Oh…” kekhawatiran akan kondisi James membuatnya lupa segala hal. “Maaf.. hanya saja aku sedang banyak pikiran.”

James memutar bola matanya. “Itulah mengapa aku ingin mengajakmu ke suatu tempat hari ini. Kau sudah lama tidak keluar rumah, lihat kulitmu sekarang lebih pucat dari vampire.”

“Tapi kau tetap harus minum obat.”

“Tidak. Tidak. Dan tidak.!! Sudah, aku tidak ingin berdebat, sekarang kau bersiap. Kita berangkat 30 menit lagi.”

“Kemana??”

“Kau tahu yang namanya kejutankan? Aku tidak akan memberitahumu.”

“Kau sakit..”

“Aku sehat.” James mencoba bangkit dari ranjangnya.

“James…” Ciara segera memposisikan dirinya disebelah James, tidak ingin suaminya jatuh.

“Aku baik-baik saja nyonya bawel.. lihat??” walaupun masih lemah, James berhasil berdiri dengan kedua kakinya sendiri. “Nothing to worry about.”

“Dasar keras kepala.”

“Bawel.. sudahlah.. cepat bersiap. Kita tidak punya banyak waktu.”

“Hah.. dan kau memanggilku nyonya bawel??” kali ini Ciara yang memutar bola matanya gemas. “Tunggu disini dan jangan kemana-mana.”

“Aku bukan bocah sepuluh tahun.” Kata James, mengacak rambut Ciara.

“Heey…” cemberut Ciara merapikan rambutnya. Tetapi kemudian memeluk James. Sudah lama sejak terkhir kali dia melihat suaminya berdiri tegak seperti sekarang, bukannya terbaring lemah diranjang.

“I love you.”

James mengecup kepala Ciara.
“I love you too.”

***

“Baiklah.. aku sudah siap.”

Ciara keluar dari kamar mandi. Berbalut dress mini cantik bermotif bunga. Dia terkejut melihat James yang juga sudah rapi, dengan kemeja putih dan jeans favoritnya. James terlihat lebih segar dan lebih hidup.

“Waw.. kau kelihatan berbeda.” Dia mendekat kearah James.

“Lebih tampankan?” James menyeringai menggoda.

“Tidak.. kau lebih terlihat seperti James.”

“Lalu sebelum ini aku siapa? Tom Cruise??”

Ciara tertawa. “Entahlah.. aku bahagia kau sudah lebih sehat.”

“Untukmu sayang..” James menggandeng tangannya “Kau siap??”

“Ya.. tapi apa kau yakin soal ini? Dokter menyarankanmu untuk tidak berpergian.”

“Lupakan soal dokter. Hari ini khusus buatmu.”

Ciara terharu mendengarnya. Dan sama seprti James, dia juga ingin mengkhususkan hari ini untuk mereka. Hanya mereka berdua, tanpa direpotkan oleh penyakit James.

***

James membawanya kepuncak tebing, dimana mereka bertemu untuk pertama kali. Saat itu Ciara sedang mengikuti perkemahan musim panas, dan pemandunya membawanya berjalan-jalan di hutan sekitar tebing. Sebuah bencana bagi Ciara, karena saat itu entah bagaimana dia terpisah dari rombangan dan tersesat. Dia sampai di tebing itu, terisak dan ketakutan berharap seseorang dari perkemahan menyadari dirinya tak ada dan mencarinya. Sampai akhirnya James, salah satu regu penyelamat perkemahan, menemukannya menangis tersedu di balik batu besar, dan menggendongnya kembali ke perkemahan, karena Ciara sudah tak sanggup lagi berjalan.

Awal pertemuan yang memalukan memang. Tapi dari situlah kisah cinta mereka dimulai. Ciara menyadari bahwa dia memiliki banyak kesamaan dengan James. Jadi saat James mengajaknya kencan, tanpa ragu dia mengiyakan.

“Kau ingat tempat ini??”

Ciara tersadar dari lamunannya. Dia memandang jauh ke dasar tebing, dimana batu-batu besar nan runcing mengintip menakutkan., sebelum menjawab. “Tentu saja bagaimana mungkin aku melupakannya.”

James meraih tangannya dan berjalan ke tepi. “Disini pertama kalinya kita bertemu.”

Ciara mengikutinya, masih memandang ngeri ke bawah. Tempat itu memang menyeramkan tapi sekaligus juga indah. Deru ombak di bawah tebing seakan menyuruhmu untuk melompat, meninggalkan segala kepalsuan dunia jauh dibelakang.

“Yeah.. tapi aku tidak mengerti kenapa kau membawaku kesini..”

James menoleh kearahnya, tersenyum “Karena kau harus mengakhiri segalanya.”

“Apa yang harus diakhiri?” tiba-tiba jantung Ciara berdegup kencang.

“Ciara..” James mengeratkan genggamannya, menarik tubuh Ciara mendekat. “Kau tahu apa yang seharusnya kau akhiri. Kau harus berhenti membayangkan seolah-olah aku disini.”

“Tapi kau memang disini James.. apa yang kau bicarakan? Kau memang disini, saat ini, mengenggam tanganku.” Air mata membasahi wajahnya.

James masih tersenyum, hanya saja itu bukan senyum tulus kebahagiaan. Itu senyum pilu penuh keprihatinan.

“James.. kita harus pulang. Kau mulai ngelantur, kau harus minum obat. Ayo pulang.” Ciara menarik tangan James ke mobil. Tetapi James bergeming.

“Aku sedih melihatmu seperti ini. Kau harus merelakanku Ciara, aku sudah tidak ada.. aku yang sekarang hanya ada di imajinasimu..”

“Hentikan…” Ciara membentak.. “Kau nyata bodoh. Lihat.. kau mengenggam tanganku. Kau nyata!! Kau nyata!!” dia berteriak histeris, menunjuk tangan mereka yang masih bertaut. Berusaha menyadarkan dan meyakinkan James. Atau saat itu dialah yang harus diyakinkan.

James menariknya lebih dekat ke ujung tebing.
“Kau ingat hari itu ketika dokter memintamu merelakanku. Saat mereka mencabut alat-alat itu dari tubuhku. Aku tidak menyesal, selama aku masih bisa melihatmu bernafas. Aku bahagia. Tapi kau tidak bahagia, kau menangis sepanjang hari, dan itu membuatku sedih.”

“Bagaimana kau bisa tahu tentang mimpi-mimpiku? Aku memimpikannya, itu semua tidak nyata.” Ciara sulit bernafas paru-parunya sesak karena menangis.

“Itu nyata Ciara, semua itu nyata. Akulah yang tidak nyata. Kau terlalu terhanyut dalam fantasimu sendiri. Sekarang aku disini untuk menjemputmu. Kau mau hidup selamanya denganku kan?”

“Bagaimana???”

James menoleh kearah batu-batu di bawah, dimana gelombang ombak menghantam ganas.

Mata Ciara membulat ngeri, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Mampukah dia? Beranikah dia?

“Kita akan hidup abadi selamnya, berdua tanpa ada yang menganggu.” Kata James seakan bisa membaca pikiran Ciara. “Kau mau melakukannya untukku kan?”

Ciara terdiam, teringat olehnya ketika dokter-dokter itu melepas peralatan medis dari tubuh James. Suara nyaring dan panjang dari heart monitor yang mendakan berhenti berfungsinya jantung James. Bagaimana dia meronta, berteriak, mencakar perawat yang memeganginya karena tidak memperbolehkannya melihat James, perasaan menyesal yang menyergapnya detik itu juga karena mengambil keputusan yang bodoh. Dia sudah membunuh James. Suaminya sudah lama meninggal.

“Ciara..”

Ciara menengadah, menatap James lekat-lekat “Kalau ini yang harus aku lakukan untuk bisa bersamamu lagi. Akan aku lakukan.”

James tersenyum lega, dibimbingnya Ciara  ke tepi tebing, mengenggam tangannya erat. “Lakukan, aku menunggumu.”

Ciara menoleh tetapi tidak ada siapa-siapa disana. Dia sendirian James sudah pergi meninggalkannya.
“Tunggu aku James. Kita akan segera bertemu.”

Dan dengan begitu, dia melempar tubuhnya kebawah, merasakan angin maut membelai wajahnya, langsung menuju dasar tebing yang curam.

*************

Bless The Broken Road


“I Love You..”

“Sayang kamu dimana??”

“Sayang???”

“Sayang.. balas dong…”

“Sayang?????????”

“Please aku khawatir…”

“………….”

“Sayang?????????????”


James mematikan handphonenya, kesal. Itu tadi mungkin sudah sms keseribu yang diterimanya, belum ditambah telepon-telepon yang sengaja dia abaikan. Semuanya selalu dengan kata-kata yang sama. “Sayang ini…” “Sayang itu..” dan blah blah blah..

James heran bagaimana mungkin seorang cewek bisa menjadi begitu menyebalkan. Mereka tidak akan bisa diam sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan darimu, tidak peduli sekonyol apa jawaban itu.

Dia merasa bersalah sebenarnya, memperlakukan orang yang dia sayangi seperti itu, tapi mau bagaimana lagi. Saat ini dia sedang tidak ingin diganggu. Tugas-tugasnya menumpuk semenumpuk-menumpuknya dan dia harus segera menyelesaikannya. Tidak ingin diganggu walupun oleh pacarnya sendiri.

Ting tong….

Bel apartemennya berbunyi.

“Holly crap.. siapa sih.. kalau itu Tom akan kubunuh dia.” Mengumpat, James bangkit dari depan komputer dan bergegas ke ruang depan.

“Sayang..”

Sebuah pelukan menyambutnya begitu dia membuka pintu.

James mengerang, seharusnya tadi dia mengintip dulu sebelum membuka pintu. Lihat sekarang, dia tidak akan pernah selesai mengerjakan tugasnya.

“Kamu kemana aja, aku khawatir, ditelepon disms kamu gak jawab. Makanya aku kesini. Kamu gak apa-apakan..”

Gadis di hadapannya itu terus nyerocos tiada henti. Membuat James ingin membekap mulutnya dengan kain pel tak peduli walaupun ia pacarnya sendiri.

“Hey.. aku baik-baik saja oke.. aku sedang sibuk, tugas…Ingat?? Bukannya aku sudah memberitahu  mu??” katanya menahan kesal.

“Benarkah??” Gadis itu berpikir “Oh.. aku lupa, maaf..” lanjutnya malu-malu.

James memutar bola mata “Sekarang kau pulang saja ya.. aku masih banyak pekerjaan.” Dia mendorong si gadis keluar.

“Tapi.. biarkan aku membantumu sayang.. pekerjaanmu akan lebih cepat selesai..” si gadis memohon.

“Gak butuh..” kata James ketus.. “Kau pulang saja..bye..” dan tanpa menunggu persetujuan pacarnya, James menutup pintu.

“Huuh..” mendesah lega, dia kembali menekuni tugasnya. Walaupun ketukan di pintu masih terdengar. Dia benar-benar muak dengan pacarnya sendiri. Tapi herannya dia tidak ingin memutuskan hubungan mereka. Karena faktor kasihan sebenarnya. Gadis itu terlalu mencintai James, dan James yakin dia akan bunuh diri kalau James mengakhiri hubungan mereka.
***

“Sayang aku kangen..”

“Hmmm..”

“Apa maksudnya ‘hmmmm’??”

“aku juga kangen kamu.” Sahut James malas.

Saat itu jam 3 malam dan dia harus memutus tidurnya yang nyenyak hanya untuk mengangkat telepon dan bilang ‘Kangen..’ Hebat..

“Kamu lagi apa??”

“Lagi nari-nari keliling apartemen.” jawabnya sarkastis “ya lagi tidurlah.. kamu gak liat ini jam berapa??”

Orang diseberang terkejut mendengar nada membentak itu.

“Maaf, mungkin sebaiknya aku gak nelpon kamu jam segini, tapi aku gak bisa tidur..”

“Kamu pikir aku pusat penanganan orang-orang yang tidak bisa tidur ya.. aku butuh istirahat tau.” James semakin kesal.

“Aku… maaf..”.

“Sudahlah, aku mau tidur.. bye!” dan dia menutup teleponnya. Walaupun gadis di seberang sana menangis pilu.

***

Ringtone handphone James berbunyi, dia melihat layar dan langsung menaruhnya kembali.
Itu dari pacarnya, pasti isinya kata-kata yang sama, dan  rengekkan-rengekkan yang sama lagi, tanpa repot-repot membaca sms itu, dia berjalan cuek ke kamarnya dan bersiap tidur.

***
 “Dia ditemukan pagi ini.. tewas kehabisan darah. Penyebabnya tusukan bertubi-tubi di jantungnya. Oh James..”

Wanita itu menangis tersedu-sedu, tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. James hanya diam mematung, shock, terkejut, tidak percaya.
Pagi tadi dia mendapat telepon dari ibu pacarnya. Memberitahu bahwa semalam gadis yang selalu merepotkannya itu ditemukan tewas mengenaskan. James bergegas kerumahnya, hanya untuk melihat sang kekasih terbaring kaku tak bernyawa.

Air mata seketika merebak keluar. Segala perlakuan buruknya berputar bak kaset rusak, terulang-ulang dan terulang lagi.

James jatuh terduduk, kakinya serasa terbuat dari air, tak sanggup menahan bobot tubuhnya.

Dia mengingat hari itu ketika sang pacar dengan tulus ingin membantunya mengerjakan tugas, tapi dia malah mengusirnya dengan kasar. Teringat ketika dia membentaknya di hadapan orang banyak, sampai membuatnya menangis. Ketika dia lagi-lagi membuatnya menangis karena menganggu tidur James hanya untuk mengucapkan I love you.

Tapi dengan semua perlakuan buruk James, pernahkah dia mengeluh? Pernahkah dia protes? pernahkah dia meminta putus?

Tidak.. justru dia selalu meminta maaf. Tidak peduli walaupun James yang salah. Dia selalu tersenyum dan memaafkan James.

Dan James menganggapnya pengganggu? James menjauhinya. Mengatakan dia hanya tukang ikut campur, cerewet dan manja??

Cowok macam apa dia?
Tuhan memberinya wanita sempurna, yang selalu ada buatnya, yang selalu sabar menghadapinya.

Tapi James mendorongnya jauh-jauh, menganggapnya hanya sebagai budak.
Betapa berdosanya dirinya.

Sekarang yang bisa dia lakukan hanya menangisi wanita itu. Berharap dia mau memaafkan semua prlakuan buruknya. Kenapa James baru menyadari betapa berharganya dia justru ketika dia sudah tidak ada..

James mengecup kening pucat itu lembut, mungkin hanya ini hal baik yang bisa James berikan. Karena selama mereka pacaran, jangankan ciuman, pelukan saja tidak pernah dia berikan.

Sekarang tidak ada lagi yang akan mengiriminya sms-sms penuh perhatian, tidak akan ada lagi yang meneleponnya tengah malam. Tidak ada.

Tiba-tiba James tersentak, teringat akan sms sang kekasih malam sebelumnya. Buru-buru dia menyalakan handphone dan membaca smsnya.

“Sayang tolong, ada yang mengikutiku dari tadi, aku takut.. kamu bisa jemput aku?”

Dan Jamespun menjatuhkan handphonenya.


*****************************

Just So You Know


“Tapi kenapa?” suaranya bergetar di bawah guyuran hujan. Badannya menggigil, hawa dingin menusuk sampai kesum-sum tulangnya. Tapi bukan cuaca yang menyebabkannya begitu, berita yang baru saja di dengarnyalah yang membuatnya mengigil tak terkendali.

“Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?” setetes air mata jatuh, tersamarkan dalam rintik hujan yang membasahi wajahnya.

Pria dihadapanya hanya bisa terdiam, dia menatap gadis itu dengan sorot menyesal. Tidak tahu apa yang harus dia perbuat, dia tidak ingin melihatnya menangis, dia tidak ingin menyakiti hatinya, tetapi dia baru saja melakukannya.

“Jesse jawab!” gadis itu berteriak meminta penjelasan, suaranya bergetar, air mata mengalir lebih deras, sejalan dengan hujan yang bertambah lebat.

“Ini demi karirku.” Si pria—Jesse, akhirnya berbicara. “Tidak akan lama, hanya dua tahun.”

“Hanya dua tahun??” gadis itu menggeleng. “Dua tahun kau bilang hanya? Kenapa kau tidak memikirkan perasaanku?”

“Aku harus melakukan ini, demi kita, demi masa depan kita.”

“Kalau begitu aku ikut! Aku ikut kemanapun kau pergi.” Si gadis menyeret kakinya mendekat. Menatap bola mata Jesse dalam-dalam.

Jesse membelai pipinya lembut, hatinya terbagi, antara menetap bersama gadis yang dicintainya atau menggali masa depannnya.

“Aku tidak bisa..” kata Jesse lembut. “Percayalah, aku akan kembali. Aku akan kembali membawakanmu kebahagiaan.”

Si gadis terisak “Kau jahat.. bagaimana mungkin kau melakukan ini padaku?”

Jesse meraupnya kedalam dekapan, mengecup puncak kepala si gadis lembut. Mungkin ini akan menjadi ciuman terakhirnya.
“Ini hanya Paris, aku mungkin bisa mengunjungimu kapan-kapan. Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Gadis dalam dekapannya terisak makin kencang. Jesse menariknya pelan, menengadahkan wajahnya agar dia menatapnya.

“Aku akan kembali. Itu sebuah janji. Kau harus menungguku, Katie.” Jesse mencium bibirnya sekejap. Kemudian menarik diri, dan berjalan menjauh meninggalkan gadis itu.

“Jesse.. Jesse jangan pergi aku mohon.” Namun tak peduli seberapa keras gadis itu berteriak memanggil nama Jesse, seberapa banyak dia memohon, dibawah guyuran hujan, ditelan pekatnya malam, Jesse tak pernah kembali.

***
5 years later.

“Dean.. jangan dimakan dulu, itu untuk Nyonya Harold!” Katie membentak dari sudut dapur. Orang yang dibentak cuma nyengir kuda.

“Aku lapar..” katanya sambil memasukkan sepotong besar pie kedalam mulutnya.

Katie menghadiahinya jitakan, membuat Dean meringis kesakitan.

“Jangan cari gara-gara!” Katie merebut piring pie yang nyaris kosong. Bagus sekarang dia harus membuat pie lagi, padahal tadi pie itu sudah siap diantar ke rumah Nyonya Harold—tetangganya yang sedang sakit, tapi gara-gara ulah Dean si perut karet itu, semuanya ludes.

“Pelit..” Dean menjulurkan lidahnya kesal, tapi Katie hanya memutar bola mata bersiap menghadiahi Dean satu jitakan lagi. Dean yang menyadari adanya bahaya langsung kabur ke ruang tengah.

“Awas kau kalau menyelinap lagi.” Seru Katie geli.

Dirumah ini memang Deanlah satu-satunya lelaki yang tinggal. Selebihnya hanya ada Katie dan Ruby. Mereka semua bersahabat. Orang tua Dean sudah lama meninggal, kemudian dia di adopsi oleh ayah Katie beberapa tahun lalu dan sekarang bekerja di bengkelnya, di pinggiran kota. Selisih umur mereka juga tak begitu jauh. Dean 25 dan Katie serta Ruby 23. Membuat mereka lebih seperti saudara ketimbang sahabat.

Mereka bertiga tinggal dirumah Ruby. Orang tua Ruby sibuk berlayar sehingga mereka meminta Katie dan Dean untuk menjaga putri semata wayangnya. Karena Katie butuh pengalih perhatian untuk sakit hatinya, dan Dean disuruh menemaninya kemanapun dia pergi. Katie tak menolak.

“Pienya belum siap?” Ruby masuk kedapur menenteng pakaian kotor.

Katie menggeleng. “Dean menjarah semuanya.”

Ruby terkikik. “sudah kuduga.” Kemudian dia berlalu ke ruang cuci.

Katie memasukkan adonan pie kedalam panggangan, kemudian setelah mengatur suhu dan waktunya, memanggangnya.

Dia lalu beranjak ke ruang tengah, disana Dean tengah menonton televisi dengan semangkuk besar popcorn dipangkuannya. Katie menghempaskan diri disamping Dean, meraup segenggam popcorn, walaupun ditingkahi protes Dean.

“Itu punyaku.”

“Bodo.. kau saja tadi mengambil pieku.”

Dean mendengus.

“Sejak kapan kau doyan nonton acara begini?” tanya Katie mengomentari acara musik yang ditonton Dean, biasanya kan dia lebih suka menonton pertandingan gulat.

“Sejak tadi,” jawab Dean cuek.

Katie melemparinya dengan segenggam popcorn.

“Katie!!!”

“Hahaha..” Katie tertawa geli,menggoda Dean adalah hiburan favoritnya.

‘I Shouldn’t love you but i want to, I just can’t turn away.’

Sepotong lirik itu mengalihkan perhatian Katie—well.. suara penyanyinya sebenarnya. Dia mengalihkan pandangan ke layar televisi. Dan apa yang dilihatnya membuatnya tercekat. Badannya menegang, jantungnya memompa seratus kali lebih cepat, paru-parunya kehabisan udara. Disana, dilayar kaca itu, dia melihat orang yang selama ini selalu hadir di mimpi-mimpinya.

Jesse.. itu Jessenya.

Jesse yang lima tahun lalu meninggalkannya untuk meraih mimpinya ke Paris. Jesse yang katanya akan sering mengunjunginya tapi tak pernah dia lakukan. Jesse yang sejak dia bisa mengingat sudah menjadi bagian hidupnya.

Jesse...

Namun wajah Jesse tiba-tiba lenyap.

“Dean apa yang kau lakukan!!” Katie berteriak marah, cairan asin mengalir kedalam mulutnya saat dia berbicara. Sejak kapan dia menangis?

“Dean berikan remotenya! Itu tadi Jesse.” Katie mengguncang-guncang tubuh Dean seperti orang kerasukan, tidak peduli pada air matanya yang berlinang.

Tapi Dean bergeming. Dia sudah tahu akan begini jadinya, seharusnya dia tadi tidak menonton acara itu. Seharusnya dia bisa menduga, bahwa Jesse sewaktu-waktu bisa muncul karena yeah.. bukannya dia sekarang seorang artis terkenal. Bodohnya dia.

“DEAN!!!”

“Katie tenang.!! Aku tidak akan memberikan remotenya padamu oke! Kau tidak seharusnya melihat itu!!”
“Tidak seharusnya.... apa maksudmu?? Berikan remotenya.!!”

“KATIE!!!!!” Dean mencengkaram bahu Katie erat-erat. “tenangkan dirimu!”

Katie terkesiap, nafasnya memburu. Dia mencoba menenangkan diri, sadar kalau tadi dia sempat kehilangan kontrol. “Aku... Jesse..”

“Aku tahu..” suara Dean melembut, begitu pula cengkramannya. “Maaf, kau tidak seharusnya melihat itu.”

Katie menatap Dean. “Jadi, sekarang dia sudah terkenal? Jadi selama ini dia sering muncul di televisi? Dan kau tahu itu??”

Dean mengangguk. Susah payah dia dan Ruby menyembunyikan satu fakta itu dari Katie, karena mereka tidak ingin Katie seperti ini. Mereka tidak ingin melihat Katie sedih.

“Kenapa?? Kenapa kau tidak memberitahuku?” Katie menelungkupkan wajah di kedua tangannya, terisak.

“Karena reaksimu pasti akan seperti ini. Aku tahu kau belum bisa melupakannya. Aku tahu kau selalu memimpikannya. Kau berteriak memanggil namanya dalam tidurmu Katie. Aku tidak buta.”

Katie tetap terisak. Sudah lama sekali sejak dia terakhir kali bertemu Jesse. Sejak Jesse meninggalkannya sendirian dibawa guyuran hujan. Demi melanjutkan karirnya. Namun sejak saat itu Jesse tidak pernah menghubunginya. Tidak pernah membalas emailnya, bahkan mengangkat teleponnya.

Dan sekarang Jesse sudah berhasil, tapi dia tetap tidak menghubunginya. Apa Jesse sudah benar-benar lupa padanya?
***

“Pegangan yang erat!!”

Katie menguatkan pelukannya dileher Jesse. Mereka berdiri dipuncak air terjun, tidak terlalu tinggi, tapi cukup menantang nyali.

“Aku akan melompat sekarang oke, pejamkan matamu kalau kau takut.” Jesse menoleh kebelakang, mengedipkan sebelah matanya pada Katie yang melingkarkan badannya di punggungnya.

“Siap..” kata Katie semangat.

“Satu.. Dua.. Ti..” dan Jesse melompat kedasar air terjun. Katie memekik girang dibelakanganya. Mereka menarik nafas sebelum menghantam air yang dingin. Kemudian tertawa bersama-sama. Jesse menyiramkan air pada Katie dan Katie membalasnya.

Bahagia, itulah yang Katie rasakan.

“Tunggu disini..” tiba-tiba Jesse beranjak keluar dari air dan berjalan masuk ke hutan.

“Tidak Jesse.. kau mau kemana??” Katie berusaha mengikutinya tapi Jesse berjalan cepat meninggalkannya. “Jesse kembali.. tunggu aku.. Jesse.. JESSE!!”

Katie terbangun. Badannya berkeringat. Air mata lagi-lagi mengalir membasahi pipinya. Mimpi.

Dia berbaring memeluk selimut. Menangis lagi.

***

Jesse menjejakkan kakinya di tanah yang basah. Semalam hujan rupanya. Dia merengangkan tubuhnya, membiarkan darah mengalir ke tempat semestinya. Akhirnya setelah tiga jam berada di pesawat, dia bisa kembali berada di daratan dengan selamat.

Jesse menyampirkan tasnya dipundak, kemudian berjalan menembus keramain bandara. Sudah lama dia tidak melihat bandara ini. Tapi belum ada yang berubah, semua hal berada di tempat semestinya. Dia tersenyum simpul, menyadari dimana dia berada sekarang. Pulang, dia akhirnya berada di kampung halamannya lagi. Setelah kerja keras yang dilaluinya selama lima tahun, dia akhirnya berhasil dan sekarang bisa dibilang terkenal. Tidak sia-sia pengorbanannya selama ini. Terlebih—pengorbanan yang paling berat dirasanya, meninggalkan orang yang selama ini dicintainya. Hidupnya.

Dan karena dialah Jesse berada disini sekarang. Kalau bukan untuk menemui Katie, dia tidak akan kembali. Untuk apa dia kembali, Jesse tidak punya siapa-siapa disini. Orang tuanya sudah lama meninggal. Membuat Jesse menghabiskan masa kanak-kanaknya di Panti asuhan, dan dari yang Jesse dengar terakhir kali, Panti asuhan itu sudah bangkrut dan sekarang dipugar menjadi sebuah restoran.

See.. tidak ada alasan baginya untuk kembali kalau bukan karena Katie.

Jeritan tertahan dipintu keluar mengagetkannya, segerombolan cewek menatap sambil menunjuk-nunjuk kearahnya. Agaknya mereka mengetahui siapa Jesse. Dia buru-buru merapatkan jaket dan topinya. Dan berjalan keluar dengan tergesa. Beruntung, cewek-cewek itu tidak mengikutinya.

***
Ketukan dipintu menginterupsi acara makan malam Katie, Dean dan Ruby.

“Katie buka pintu..” perintah Dean sambil mengunyah daging asapnya.

“Kau saja..” Tanggap Katie malas.

“Ruby...” seru Dean lagi.

Ruby memutar bola matanya, kemudian beranjak dari meja makan untuk membuka pintu. Dari mereka bertiga, memang Rubylah yang paling dewasa. Kalau Dean dan Katie sering bertengkar layaknya anjing dan kucing, maka Ruby yang selalu bertindak sebagai penengah.

“Eh.. Katie...” Tak lama kemudian Ruby muncul lagi, wajahnya gelisah, dia berulang kali melirik kearah Dean.

“Apa?” tanya Katie khawatir, siapa yang datang kenapa reaksi Ruby begini?

“Ada yang ingin menemuimu.” Lanjut Ruby takut-takut, bahkan Deanpun menghentikan kunyahannya memperhatikan Katie.

“Sia....”belum selesai Katie bicara, seseorang melangkah masuk.

“Ini aku Kitty..” Jesse berdiri disamping Ruby, tersenyum lebar.

Katie tercekat. Ini mimpi.. ya.. pasti ini mimpi.. tidak mungkin ini nyata.dia memimpikan Jesse lagi. Katie memejamkan matanya. Menunggu dirinya terbangun dari mimpi indah ini.

“Kitty kau kenapa??” seru Jesse khawatir, begitu melihat reaksi Katie, dia mendekat dan berjongkok dihadapan Katie “Kau sudah lupa denganku ya..”

Sial.. kenapa dia tidak terbangun. Seharusnya saat ini dia sudah sadar dan mendapati dirinya berada di kamarnya di atas.

Kecuali kalau ini bukanlah mimpi. Ini nyata, Jesse benar-benar ada disini sekarang. Jessenya sudah kembali. Takut-takut Katie membuka matanya perlahan, bersiap menghadapi hal terburuk, kalau terrnyata ini semua memang ilusi pikirannya saja.

Tapi Jesse masih disana. Menatapnya cemas. Hal pertama yang disadari Katie adalah rambutnya, rambut Jesse sekarang lebih panjang, dan di cat pirang, berbeda dengan terakhir kali Katie melihatnya. Kulitnya juga kecoklatan, sorot matanya khawatir, pipinya merona merah karena cuaca dingin.

“Kitty kau ingat aku kan?” tanya Jesse lagi.

Namun Katie tidak menjawabnya, dia menubruk Jesse dan memeluknya erat. Sudah lama sekali sejak terakhir kali Jesse memanggilnya Kitty. Ini nyata, Katie bisa mencium aroma tubuh Jesse, merasakan hangat tubuhnya. Jessenya sudah kembali.

“kenapa baru sekarang..” katanya disela isakan, dia tetap memeluk Jesse, seakan kalau dia melepasnya, Jesse akan pergi lagi meninggalkannya. “Kenapa baru sekarang kau menemuiku!”

Jesse membelai punggungnya lembut. “Maafkan aku, aku sangat sibuk, karirku baru mulai menanjak, dan aku kesini untuk menjemputmu, kita tidak akan terpisahkan lagi, aku...”

Belum selesai Jesse berbicara, Dean menarik Katie dari pelukannya.

“Dean..” Katie menjerit kaget.

“Apa yang kau lakukan?” susul Jesse marah.

“Kau tidak akan membawanya kemana-mana!”

“Siapa kau? Apa hakmu terhadap Katie.” Jesse berdiri, menghadapi Dean.

“Aku calon suaminya.” Kata Dean tegas, Jesse tercekat mendengarnya.

“Apa?? Bukan.. Dean jangan bicara macam-macam!!” bantah Katie.

“Katie masuk kamar sekarang!”

“Aku tidak mau! Kau tidak berhak menyuruh-nyuruhku!!”

“Ruby.. bawa dia masuk sekarang!”

Ruby beringsut mendekati Dean, dan menarik Katie ke kamarnya. Katie meraung-raung, bahkan mencakar Ruby, namun Ruby bergeming, dia tetap menyeret Katie, dan menguncinya dikamarnya. Teriakan dan isakan Katie bercampur dengan suara gedoran pintu dan bantingan barang-barang di kamar Katie.

“Apa yang kau lakukan padanya? Aku mau bertemu Katie.” Jesse bersiap menerobos melewati Dean menuju kamar Katie, namun Dean menghadangnya.

“Aku tidak akan membiarkanmu! Sebaiknya kau pergi, kehadiranmu tidak diinginkan disini.”

“Tidak ada yang menanyakan pendapatmu.” Kata Jesse sinis.

“Tidak puas kah kau menyakitinya!!” Dean mendorongnya “Tidak puas kah kau membuat Katie menangis. Hidupnya lebih baik kalau kau tidak ada!”

“Apa maksudmu?”

“Kau tahu apa yang terjadi pada Katie setelah kau meninggalkannya? Dia dirawatdirumah sakit jiwa KAU TAHU!!! Dia menghabiskan tiga tahun berharganya tanpa akal dan pikiran, dia bahkan tidak mengenali kedua orang tuanya. Yang dia ingat hanya kau!! IDIOT SEPERTIMU, TAPI DIMANA KAU SAAT ITU?? KAU MALAH BERSENANG-SENANG DIPARIS, MENGEJAR KETENARAN, PERNAHKAH KAU SEKALI SAJA MEMIKIRKAN KATIE!!!!!!!!” Dean berteriak marah, wajahnya merah padam, untungnya dia tidak sampai memukul Jesse.

“Apa???... kau bohong, itu tidak benar!!”

“hahaha..” dean tertawa sarkasis, “Tidak benar? Sekarang kau lihat reaksinya barusan? Kau lihat bagaimana dia mengamuk? Kau masih bilang itu tidak benar??”
Jesse terduduk lemas, benarkah? Selama ini dia sudah terlalu menyakiti Katie, dia tidak pernah mengira kepergiannya itu bisa berakibat buruk seperti ini terhadap Katie.

“Aku... aku tidak mengira akan seperti itu..”

“Seandainya, sekali saja kau menghubunginya, mungkin dia tidak akan seperti ini. Kau menghilang begitu saja, membawa separuh hidupnya dan kini kau kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa??? Lelaki macam apa kau ini??!!”

“Aku melakukan ini demi dia, aku ingin dia hidup bahagia bersamaku.”
“Tapi nyatanya dia tidak bahagia. Kau hanya menyakitinya. Seharusnya kau tidak usah kembali, dia sudah bisa melupakanmu, kau tahu.”

Jesse tak bisa berkata-kata, air mata perlahan mengalir menuruni pipinya. Dia terduduk lemas bersandar pada dinding. Dean benar seharusnya dia tidak usah kembali, hidup Katie pasti lebih baik tanpa kehadirannya. Dia terlalu egois selama ini, pergi meninggalkan gadis yang dicintainya hanya untuk mengejar popularitas. Dia meyakini bahwa Katie akan lebih bahagia bersamanya kalau dia sudah kaya, terkenal dimana-mana. Namun bukan itu yang Katie inginkan, dia hanya ingin bersamanya. Itu hal yang membuat katie bahagia, bukan harta hanya kehadiran Jesse.

“Sekarang kalau kau tidak keberatan, aku mohon kau pergi Jesse. Aku tahu kau mencintai Katie, begitupula Katie. Tapi kemunculanmu justru membuat semuanya semakin buruk. Selama ini dokter menyarankan agar kami tidak mengungkit-ungkit tentangmu di depan Katie, bahkan dia tak tahu kalau kau sudah berhasil, sampai kemarin. Ini semua demi kebaikan Katie, Jesse.” Ruby yang entah kapan sudah kembali, duduk disampingnya, membelai lembut lengan Jesse.

“kenapa kalian tidak memberitahuku sebelumnya?”

“Hah.. memangnya kau peduli?. Telepon maupun email Katie saja tidak kau balas.” Tuduh Dean.

Ruby memberinya pandangan menegur. “Kami sudah mencoba tapi yah.. kami tidak tahu bagaimana.”

“Ini salahku, seharusnya aku tidak meninggalkannya seperti itu. Ini semua salahku.”

“Sudah terlambat untuk menyesalinya. Sekarang yang bisa kau lakukan adalah membuatnya tidak semakin memburuk. Kau harus meningalkan Katie, selamanya.”

Jesse menatap Ruby dalam-dalam, kilau air mata terpantul disudut matanya, perlahan dia mengangguk.

***

Ruby membuka pintu kamar Katie, dia menaruh nampan makan malam Katie di meja dan mendekati Katie.

“Katie, kau makan dulu ya.. dari pagi kau belum makan apa-apa.”

Katie bergeming, dia duduk di kursi goyang tua disudut ruangan, menghadap jendela. Tatapannya kosong, wajahnya pucat dan matanya sembab. Dia sudah seperti itu sejak kedatangan terakhir Jesse, sejak Dean dan Ruby mengurungnya dikamar dan tidak menginjinkannya menemui Jesse. Katie menolak makan, yang dia lakukan hanya mengurung diri di kamar, menangis, dan menangis terus.

“Katie...” Ruby membelai rambut Katie yang kusut, sedih melihat sahabatnya seperti ini. “Sampai kapan kau mau seperti ini..” setetes air mata menuruni pipinya. “Kau harus makan Kate, kau bisa sakit, please..” dihapusnya air mata yang mengalir dan mecoba tersenyum.

Katie tetap bergeming. Ruby berjongkok dihadapan Katie, disadarinya bahwa Katie juga menangis tanpa suara.

“Katie... please.. demi kedua orang tuamu, mereka pasti sedih melihatmu seperti ini.” Ruby menggenggam tangan Katie yang dingin.
“Aku mau Jesse..” kata Katie pelan.

“Jesse sudah pergi Katie.. dia sudah tidak mencintaimu lagi.”

“Kau bohong. Kalau dia sudah tidak mencintaiku, kenapa dia kembali, kenapa dia berjanji untuk mengajakku pergi bersamanya.”

“Dia bohong.. ini bukan pertama kalinya dia berbohong kepadamu kan..”

“KAU YANG BOHONG!! Kau dan Dean sama. Kalian senang menyiksaku. AKU MAU JESSE!!!!!!!” Katie tiba-tiba menjerit, membuat Ruby terlonjak kaget.

“Katie tenang.. ini semua demi kebaikanmu.. aku dan Dean melakukan ini agar kau bahagia.”

“Aku akan bahagia bersama Jesse, kenapa kalian tidak bisa melihatnya?” Katie menjerit makin kencang.

“Katie dengar...” Ruby mencengkram kedua bahu Katie kuat-kuat. “Maafkan aku, aku telah menyiksamu sepeti ini, aku takut. Aku tak mau kau sakit lagi. Aku mencintaimu Katie, begitu pula Dean.” Ruby mengigit bibir bawahnya, berpikir. “Sekarang ikut aku, pesawat Jesse berangkat 20 menit lagi, kita masih punya kesempatan.”

“Tapi kau bilang...”

“Dia masih disini untuk mengurus beberapa hal, tapi dia akan kembali ke Paris sekarang. Cepat kau masih bisa menyusulnya” Ruby menarik tangan Katie, membantunya bersiap-siap.

“Kenapa kau melakukan ini?”

“Karena aku tak mau melihatmu sedih seperti ini. Aku tahu kau akan bahagia bersama Jesse, persetan dengan dokter dan Dean.” Ruby tersenyum tulus, dan saat itu Katie benar-benar bersyukur memilikinya sebagai sahabat.

Mereka bergegas ke Bandara. Ruby memacu mobilnya kencang, berharap Dean tidak menyadari kepergian mereka. Dean mungkin akan  mengurung Katie lagi, atau bahkan lebih parah, membawanya ke panti rehabilitasi, kalau dia tahu Katie menemui Jesse. Ruby tak ingin melihat Katie seperti itu. Ini satu-satunya kesempatan. Ruby akan melakukan apa saja asalkan Katie bahagia, dan Katie akan bahagia bersama Jesse.

“Kau masuk duluan, cari Jesse aku akan memarkir mobil ini.” Kata Ruby begitu mereka tiba di bandara. Katie mengangguk dan berlari keluar mobil. Menuju pintu keberangkatan, berharap menemukan Jesse.

Tapi Jesse tak ada dimanapun. Katie tak menghiraukan langkahnya, dia menabrak beberapa orang dalam usahanya mencari Jesse,tidak menghiraukan umpatan-umpatan kesal mereka, yang di pikirannya hanya Jesse.

Lagi-lagi air mata mengalir deras. Bagaimana kalau dia terlambat, bagaimana kalau Jesse sekarang sudah benar-benar meninggalkannya?

“Katie...” teriakan Ruby mengagetkannya. “Kau sudah menemukannnya?”

Katie menggeleng, dia terisak tak tertahan “Aku kehilangannya Ruby.. dia sudah pergi.”

Dan saat itu dia melihatnya. Rambut pirang itu, postur tubuh itu. Tidak mungkin salah. Bahkan di tribun yang penuh ribuan orangpun dia pasti mengenali Jesse.

“JESSE..” serta merta Katie berteriak. Dipacu langkahnya menuju Jesse, tapi kerumunan orang-orang menghambat jalannya. “Jesse tunggu..” Katie terengah, air mata mengaburkan pandangannya.

Namun Jesse tak mendengarnya. Dia tetap berjalan, selangkah lagi dia akan benar-benar meninggalkan Katie untuk selamanya.

“JESSEEEE!!! TUNGGU.. JESSSE!!!” putus asa  Katie memanggil nama Jesse. Tiba-tiba seseorang menarik tangannya.

“Maaf Miss anda harus melewati pemeriksaan petugas.”

“Tidak .. Jesse... aku mau Jesse!!” sayangnya saat itu Jesse sudah lenyap dari pandangan. “JESSEEE!!”

“Katie.. Katie its ok... maaf dia bersama saya.” Ruby menjelaskan kepada petugas bandara yang menahan Katie, dan diapun melepaskannya. “Katie dia sudah pergi, kau harus merelakannya Katie...” Ruby memeluknya erat menahan Katie dari amukan.

Tetapi Katie tak mendengarnya, dia masih berteriak-teriak, memanggil Jesse, membuat orang-orang berhenti untuk menontonnya. “JEEESSSSEEEEE.. RUBY, AKU HARUS BERTEMU DENGANNYA.. JESSSE!!!!!!!”
Namun sama seperti lima tahun yang lalu. Sekeras apaun Katie memanggilnya. Jesse tak pernah kembali

****




I shouldn't love you but I want to
I just can't turn away
I shouldn't see you but I can't move
I can't look away

I shouldn't love you but I want to
I just can't turn away
I shouldn't see you but I can't move
I can't look away

And I don't know
How to be fine when I'm not
'Cause I don't know
How to make a feeling stop

Just so you know
This feeling's takin' control
Of me and I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now

Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know

It's gettin' hard to be around you
There's so much I can't say
Do you want me to hide the feelings
And look the other away

And I don't know
How to be fine when I'm not
'Cause I don't know
How to make a feeling stop

Just so you know
This feeling's takin' control
Of me and I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now

Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know

This emptiness is killin' me
And I'm wonderin' why I've waited so long
Lookin' back I realize it was always there
Just never spoken

I'm waitin' here
Been waitin' here

Just so you know
This feeling's takin' control
Of me and I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now

Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
Just gotta say it all before I go
Just so you know, just so you know

Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
Just gotta say it all before I go
Just so you know, just so you know

Goodbye


I can honestly say
You've been on my mind
Since I woke up today
I look at your photograph all the time
These memories come back to life
And I don't mind

I remember when we kissed
I still feel it on my lips
The time that you danced with me
With no music playing
I remember the simple things
I remember till I cry
But the one thing I wish I'd forget
The memory I wanna forget
Is goodbye


Aku terbangun pagi ini. Masih dengan pikiran yang sama seperti semalam, sebelum aku tertidur. Kamu. Wajahmu terbayang-bayang dibenakku, menari-nari di otakku. Setip menit, setiap detik. Otakku seperti kaset rusak. Selalu mengulang dan mengulang kembali kenangan-kenangan kita.

Aku menoleh ke samping tempat tidur. Disana kau tersenyum kepadaku, melalui pigura kecil yang masih kusimpan. Kenangan kita saat berlibur di Hawaii. Senyummu terpatri jelas diingatanku.

Aku beranjak kekamar mandi. Disana aku terpaku menatap bayanganku dicermin. Kusut, lelah, bingung. Berbeda sekali dengan aku yang dulu. Sejak kau masuk ke kehidupanku. Dan membawakanku kebahagian, tapi kemudian. Kau bawa lagi kebahagian itu pergi bersamamu. Sejak saat itu aku tak pernah sama lagi.

Aku memejamkan mata. Ingatan-ingatan tentangmu kembali berputar. Tapi aku membiarkannya. Walaupun aku tahu, aku akan membayar mahal untuk ini.

Aku ingat saat pertama kali kau menciumku. Bahkan aku masih bisa merasakan lembut dan manisnya bibirmu saat itu. Ketika kau mengajakku berdansa, walaupun tak ada satupun musik pengiring kita. Aku masih ingat jelas semuanya. Seakan-akan itu terjadi kemarin. Bukan setahun yang lalu.

Kita tertawa bersama, bahagia bersama. Masa-masa yang sangat ingin aku ulang kembali. Bahkan aku rela melakukan apapun, agar aku bisa kembali merasakan perasaan itu. Bersamamu. Merajut mimpi-mimpi indah yang sudah kita rencanakan.

Tapi kemudian aku sadar. Waktu tak mungkin bisa diulang. Sekarang yang bisa aku lakukan hanya menyesal. Menyesali kata selamat tinggal yang dulu terucap.

Aku benar-benar ingin melupakannya. Menghapus mimpi buruk itu, dan menggantikannya dengan mimpi kita yang belum terselesaikan. Tanpa  sadar aku tersenyum kecil, diiringi setetes air mata.
***

I woke up this morning
And played our song
And through my tears I sang along
I picked up the phone and then
Put it down
'cause I know I'm wasting my time
And I don't mind

I remember when we kissed
I still feel it on my lips
The time that you danced with me
With no music playing
I remember the simple things
I remember till I cry
But the one thing I wish I'd forget
The memory I wanna forget



Aku mendengarnya lagi. Lagu kita. Lagu yang selalu kau nyanyikan sebagai pengantar tidurku. Aku selalu mengulangnya. Membuatku merasa lebih dekat denganmu. Walau ditemani air mata, aku menyanyikannya. Lagu ini satu-satunya hal yang masih tersisa darimu. Bukti nyata yang menegaskan bahwa apa yang kita lalui dulu bukanlah sebuah ilusi pikiran semata.

Dan tanpa bisa aku tahan, aku mengangkat telepon, tapi kemudian meletakkannya lagi. Sadar. Tidak ada gunanya menganggu hidupmu. Kau sudah bahagia disana. Tak perlu aku mengusikmu dengan kegundahan hatiku. Aku bukan siapa-siapa lagi untukmu. Kau tak perlu tahu sakit hati yang ku tanggung.

Aku menangis lagi. Memeluk erat lututku, terisak tanpa suara. Kealpaanmu bagai lonceng keras yang terus berdentang, selalu mengingatkanku akan sosokmu yang dulu selalu ada menemaniku. Dan lagi-lagi aku menyesal pernah mengucapkan selamat tinggal.

***

Suddenly my cell phone's blowing up
With your ring tone
I hesitate but answer it anyway
You sound so alone
And I'm surprised to hear you say

You remember when we kissed
You still feel it on your lips
The time that you danced with me
With no music playing
You remember the simple things
We talk till we cry
You said that your biggest regret
The one thing you wish I'd forget
Is saying goodbye

Saying goodbye
Oh, Goodbye

Namun tiba-tiba, teleponku berdering. Aku menghapus air mata kemudian mengangkatnya. Suaramu menyambutku disana. Kau terdengar sangat kesepian. Membuatku bertanya-tanya apa yang mengusikmu. Lalu kau mengatakannya. Jawabanmu membuatku terkejut sekaligus senang.

“Maaf menganggumu, aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku kangen padamu. Aku tahu ini kedengar gila. Tapi apa kau ingat ciuman pertama kita, aku masih mengingatnya dengan jelas. Malam itu ketika kita berdansa dibawah naungan bintang. Aku ingin semua terulang kembali. Aku ingin kita kembali.”

Tanpa bisa ku tahan. Air mata itu mengalir lagi. Aku mengatakan semua keresahanku padamu. Kau ikut menangis,  kita tenggelam dalam nostalgia masa lalu, yang tak akan pernah bisa kita rengkuh kembali.

“Seandainya saat itu aku bisa mencegahnya. Seandainya aku tak menjadi seorang brengsek. Saat ini kita pasti masih bersama. Aku tak perlu mengucapkan selamat tinggal dan menyiksamu seperti ini.”

“Kau tak perlu berkata seperti itu. Ini sudah takdir kita. Nikmatilah hidupmu sekarang, berbahagialah.”

“Aku tak akan pernah bisa bahagia. Karena orang yang membuatku bahagia tidak bersamaku. Bisakah kita mencoba lagi. Aku berjanji aku tak akan menyia-nyiakanmu lagi.”

“Maaf James. kita tak akan pernah bisa. Kau sudah menikah dengan Halston. Dialah jodohmu bukan aku. I’m sorry, Goodbye.”

Kemudian aku menutup telepon itu. Menangis sekeras yang aku bisa.

***

credit: Goodbye- Miley Cyrus