“Tapi kenapa?” suaranya bergetar di bawah guyuran hujan. Badannya menggigil,
hawa dingin menusuk sampai kesum-sum tulangnya. Tapi bukan cuaca yang
menyebabkannya begitu, berita yang baru saja di dengarnyalah yang membuatnya
mengigil tak terkendali.
“Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?” setetes air mata jatuh,
tersamarkan dalam rintik hujan yang membasahi wajahnya.
Pria dihadapanya hanya bisa terdiam, dia menatap gadis itu dengan sorot
menyesal. Tidak tahu apa yang harus dia perbuat, dia tidak ingin melihatnya
menangis, dia tidak ingin menyakiti hatinya, tetapi dia baru saja melakukannya.
“Jesse jawab!” gadis itu berteriak meminta penjelasan, suaranya bergetar,
air mata mengalir lebih deras, sejalan dengan hujan yang bertambah lebat.
“Ini demi karirku.” Si pria—Jesse, akhirnya berbicara. “Tidak akan lama,
hanya dua tahun.”
“Hanya dua tahun??” gadis itu menggeleng. “Dua tahun kau bilang hanya?
Kenapa kau tidak memikirkan perasaanku?”
“Aku harus melakukan ini, demi kita, demi masa depan kita.”
“Kalau begitu aku ikut! Aku ikut kemanapun kau pergi.” Si gadis menyeret
kakinya mendekat. Menatap bola mata Jesse dalam-dalam.
Jesse membelai pipinya lembut, hatinya terbagi, antara menetap bersama gadis
yang dicintainya atau menggali masa depannnya.
“Aku tidak bisa..” kata Jesse lembut. “Percayalah, aku akan kembali. Aku
akan kembali membawakanmu kebahagiaan.”
Si gadis terisak “Kau jahat.. bagaimana mungkin kau melakukan ini padaku?”
Jesse meraupnya kedalam dekapan, mengecup puncak kepala si gadis lembut.
Mungkin ini akan menjadi ciuman terakhirnya.
“Ini hanya Paris, aku mungkin bisa mengunjungimu kapan-kapan. Aku tidak akan
meninggalkanmu.”
Gadis dalam dekapannya terisak makin kencang. Jesse menariknya pelan,
menengadahkan wajahnya agar dia menatapnya.
“Aku akan kembali. Itu sebuah janji. Kau harus menungguku, Katie.” Jesse
mencium bibirnya sekejap. Kemudian menarik diri, dan berjalan menjauh
meninggalkan gadis itu.
“Jesse.. Jesse jangan pergi aku mohon.” Namun tak peduli seberapa keras
gadis itu berteriak memanggil nama Jesse, seberapa banyak dia memohon, dibawah
guyuran hujan, ditelan pekatnya malam, Jesse tak pernah kembali.
***
5 years later.
“Dean.. jangan dimakan dulu, itu untuk Nyonya Harold!” Katie membentak dari
sudut dapur. Orang yang dibentak cuma nyengir kuda.
“Aku lapar..” katanya sambil memasukkan sepotong besar pie kedalam mulutnya.
Katie menghadiahinya jitakan, membuat Dean meringis kesakitan.
“Jangan cari gara-gara!” Katie merebut piring pie yang nyaris kosong. Bagus
sekarang dia harus membuat pie lagi, padahal tadi pie itu sudah siap diantar ke
rumah Nyonya Harold—tetangganya yang sedang sakit, tapi gara-gara ulah Dean si
perut karet itu, semuanya ludes.
“Pelit..” Dean menjulurkan lidahnya kesal, tapi Katie hanya memutar bola
mata bersiap menghadiahi Dean satu jitakan lagi. Dean yang menyadari adanya
bahaya langsung kabur ke ruang tengah.
“Awas kau kalau menyelinap lagi.” Seru Katie geli.
Dirumah ini memang Deanlah satu-satunya lelaki yang tinggal. Selebihnya
hanya ada Katie dan Ruby. Mereka semua bersahabat. Orang tua Dean sudah lama
meninggal, kemudian dia di adopsi oleh ayah Katie beberapa tahun lalu dan
sekarang bekerja di bengkelnya, di pinggiran kota. Selisih umur mereka juga tak
begitu jauh. Dean 25 dan Katie serta Ruby 23. Membuat mereka lebih seperti
saudara ketimbang sahabat.
Mereka bertiga tinggal dirumah Ruby. Orang tua Ruby sibuk berlayar sehingga
mereka meminta Katie dan Dean untuk menjaga putri semata wayangnya. Karena Katie
butuh pengalih perhatian untuk sakit hatinya, dan Dean disuruh menemaninya
kemanapun dia pergi. Katie tak menolak.
“Pienya belum siap?” Ruby masuk kedapur menenteng pakaian kotor.
Katie menggeleng. “Dean menjarah semuanya.”
Ruby terkikik. “sudah kuduga.” Kemudian dia berlalu ke ruang cuci.
Katie memasukkan adonan pie kedalam panggangan, kemudian setelah mengatur
suhu dan waktunya, memanggangnya.
Dia lalu beranjak ke ruang tengah, disana Dean tengah menonton televisi
dengan semangkuk besar popcorn dipangkuannya. Katie menghempaskan diri
disamping Dean, meraup segenggam popcorn, walaupun ditingkahi protes Dean.
“Itu punyaku.”
“Bodo.. kau saja tadi mengambil pieku.”
Dean mendengus.
“Sejak kapan kau doyan nonton acara begini?” tanya Katie mengomentari acara
musik yang ditonton Dean, biasanya kan dia lebih suka menonton pertandingan
gulat.
“Sejak tadi,” jawab Dean cuek.
Katie melemparinya dengan segenggam popcorn.
“Katie!!!”
“Hahaha..” Katie tertawa geli,menggoda Dean adalah hiburan favoritnya.
‘I Shouldn’t love you but i want to, I just can’t turn away.’
Sepotong lirik itu mengalihkan perhatian Katie—well.. suara penyanyinya
sebenarnya. Dia mengalihkan pandangan ke layar televisi. Dan apa yang
dilihatnya membuatnya tercekat. Badannya menegang, jantungnya memompa seratus
kali lebih cepat, paru-parunya kehabisan udara. Disana, dilayar kaca itu, dia
melihat orang yang selama ini selalu hadir di mimpi-mimpinya.
Jesse.. itu Jessenya.
Jesse yang lima tahun lalu meninggalkannya untuk meraih mimpinya ke Paris.
Jesse yang katanya akan sering mengunjunginya tapi tak pernah dia lakukan.
Jesse yang sejak dia bisa mengingat sudah menjadi bagian hidupnya.
Jesse...
Namun wajah Jesse tiba-tiba lenyap.
“Dean apa yang kau lakukan!!” Katie berteriak marah, cairan asin mengalir
kedalam mulutnya saat dia berbicara. Sejak kapan dia menangis?
“Dean berikan remotenya! Itu tadi Jesse.” Katie mengguncang-guncang tubuh
Dean seperti orang kerasukan, tidak peduli pada air matanya yang berlinang.
Tapi Dean bergeming. Dia sudah tahu akan begini jadinya, seharusnya dia tadi
tidak menonton acara itu. Seharusnya dia bisa menduga, bahwa Jesse
sewaktu-waktu bisa muncul karena yeah.. bukannya dia sekarang seorang artis
terkenal. Bodohnya dia.
“DEAN!!!”
“Katie tenang.!! Aku tidak akan memberikan remotenya padamu oke! Kau tidak
seharusnya melihat itu!!”
“Tidak seharusnya.... apa maksudmu?? Berikan remotenya.!!”
“KATIE!!!!!” Dean mencengkaram bahu Katie erat-erat. “tenangkan dirimu!”
Katie terkesiap, nafasnya memburu. Dia mencoba menenangkan diri, sadar kalau
tadi dia sempat kehilangan kontrol. “Aku... Jesse..”
“Aku tahu..” suara Dean melembut, begitu pula cengkramannya. “Maaf, kau
tidak seharusnya melihat itu.”
Katie menatap Dean. “Jadi, sekarang dia sudah terkenal? Jadi selama ini dia
sering muncul di televisi? Dan kau tahu itu??”
Dean mengangguk. Susah payah dia dan Ruby menyembunyikan satu fakta itu dari
Katie, karena mereka tidak ingin Katie seperti ini. Mereka tidak ingin melihat
Katie sedih.
“Kenapa?? Kenapa kau tidak memberitahuku?” Katie menelungkupkan wajah di
kedua tangannya, terisak.
“Karena reaksimu pasti akan seperti ini. Aku tahu kau belum bisa
melupakannya. Aku tahu kau selalu memimpikannya. Kau berteriak memanggil
namanya dalam tidurmu Katie. Aku tidak buta.”
Katie tetap terisak. Sudah lama sekali sejak dia terakhir kali bertemu
Jesse. Sejak Jesse meninggalkannya sendirian dibawa guyuran hujan. Demi
melanjutkan karirnya. Namun sejak saat itu Jesse tidak pernah menghubunginya.
Tidak pernah membalas emailnya, bahkan mengangkat teleponnya.
Dan sekarang Jesse sudah berhasil, tapi dia tetap tidak menghubunginya. Apa
Jesse sudah benar-benar lupa padanya?
***
“Pegangan yang erat!!”
Katie menguatkan pelukannya dileher Jesse. Mereka berdiri dipuncak air
terjun, tidak terlalu tinggi, tapi cukup menantang nyali.
“Aku akan melompat sekarang oke, pejamkan matamu kalau kau takut.” Jesse
menoleh kebelakang, mengedipkan sebelah matanya pada Katie yang melingkarkan
badannya di punggungnya.
“Siap..” kata Katie semangat.
“Satu.. Dua.. Ti..” dan Jesse melompat kedasar air terjun. Katie memekik
girang dibelakanganya. Mereka menarik nafas sebelum menghantam air yang dingin.
Kemudian tertawa bersama-sama. Jesse menyiramkan air pada Katie dan Katie
membalasnya.
Bahagia, itulah yang Katie rasakan.
“Tunggu disini..” tiba-tiba Jesse beranjak keluar dari air dan berjalan
masuk ke hutan.
“Tidak Jesse.. kau mau kemana??” Katie berusaha mengikutinya tapi Jesse
berjalan cepat meninggalkannya. “Jesse kembali.. tunggu aku.. Jesse.. JESSE!!”
Katie terbangun. Badannya berkeringat. Air mata lagi-lagi mengalir membasahi
pipinya. Mimpi.
Dia berbaring memeluk selimut. Menangis lagi.
***
Jesse menjejakkan kakinya di tanah yang basah. Semalam hujan rupanya. Dia
merengangkan tubuhnya, membiarkan darah mengalir ke tempat semestinya. Akhirnya
setelah tiga jam berada di pesawat, dia bisa kembali berada di daratan dengan
selamat.
Jesse menyampirkan tasnya dipundak, kemudian berjalan menembus keramain
bandara. Sudah lama dia tidak melihat bandara ini. Tapi belum ada yang berubah,
semua hal berada di tempat semestinya. Dia tersenyum simpul, menyadari dimana
dia berada sekarang. Pulang, dia akhirnya berada di kampung halamannya lagi. Setelah
kerja keras yang dilaluinya selama lima tahun, dia akhirnya berhasil dan
sekarang bisa dibilang terkenal. Tidak sia-sia pengorbanannya selama ini.
Terlebih—pengorbanan yang paling berat dirasanya, meninggalkan orang yang
selama ini dicintainya. Hidupnya.
Dan karena dialah Jesse berada disini sekarang. Kalau bukan untuk menemui
Katie, dia tidak akan kembali. Untuk apa dia kembali, Jesse tidak punya
siapa-siapa disini. Orang tuanya sudah lama meninggal. Membuat Jesse
menghabiskan masa kanak-kanaknya di Panti asuhan, dan dari yang Jesse dengar
terakhir kali, Panti asuhan itu sudah bangkrut dan sekarang dipugar menjadi
sebuah restoran.
See.. tidak ada alasan baginya untuk kembali kalau bukan karena Katie.
Jeritan tertahan dipintu keluar mengagetkannya, segerombolan cewek menatap
sambil menunjuk-nunjuk kearahnya. Agaknya mereka mengetahui siapa Jesse. Dia
buru-buru merapatkan jaket dan topinya. Dan berjalan keluar dengan tergesa.
Beruntung, cewek-cewek itu tidak mengikutinya.
***
Ketukan dipintu menginterupsi acara makan malam Katie, Dean dan Ruby.
“Katie buka pintu..” perintah Dean sambil mengunyah daging asapnya.
“Kau saja..” Tanggap Katie malas.
“Ruby...” seru Dean lagi.
Ruby memutar bola matanya, kemudian beranjak dari meja makan untuk membuka
pintu. Dari mereka bertiga, memang Rubylah yang paling dewasa. Kalau Dean dan
Katie sering bertengkar layaknya anjing dan kucing, maka Ruby yang selalu
bertindak sebagai penengah.
“Eh.. Katie...” Tak lama kemudian Ruby muncul lagi, wajahnya gelisah, dia
berulang kali melirik kearah Dean.
“Apa?” tanya Katie khawatir, siapa yang datang kenapa reaksi Ruby begini?
“Ada yang ingin menemuimu.” Lanjut Ruby takut-takut, bahkan Deanpun
menghentikan kunyahannya memperhatikan Katie.
“Sia....”belum selesai Katie bicara, seseorang melangkah masuk.
“Ini aku Kitty..” Jesse berdiri disamping Ruby, tersenyum lebar.
Katie tercekat. Ini mimpi.. ya.. pasti ini mimpi.. tidak mungkin ini
nyata.dia memimpikan Jesse lagi. Katie memejamkan matanya. Menunggu dirinya terbangun
dari mimpi indah ini.
“Kitty kau kenapa??” seru Jesse khawatir, begitu melihat reaksi Katie, dia
mendekat dan berjongkok dihadapan Katie “Kau sudah lupa denganku ya..”
Sial.. kenapa dia tidak terbangun. Seharusnya saat ini dia sudah sadar dan
mendapati dirinya berada di kamarnya di atas.
Kecuali kalau ini bukanlah mimpi. Ini nyata, Jesse benar-benar ada disini
sekarang. Jessenya sudah kembali. Takut-takut Katie membuka matanya perlahan,
bersiap menghadapi hal terburuk, kalau terrnyata ini semua memang ilusi
pikirannya saja.
Tapi Jesse masih disana. Menatapnya cemas. Hal pertama yang disadari Katie
adalah rambutnya, rambut Jesse sekarang lebih panjang, dan di cat pirang,
berbeda dengan terakhir kali Katie melihatnya. Kulitnya juga kecoklatan, sorot
matanya khawatir, pipinya merona merah karena cuaca dingin.
“Kitty kau ingat aku kan?” tanya Jesse lagi.
Namun Katie tidak menjawabnya, dia menubruk Jesse dan memeluknya erat. Sudah
lama sekali sejak terakhir kali Jesse memanggilnya Kitty. Ini nyata, Katie bisa
mencium aroma tubuh Jesse, merasakan hangat tubuhnya. Jessenya sudah kembali.
“kenapa baru sekarang..” katanya disela isakan, dia tetap memeluk Jesse,
seakan kalau dia melepasnya, Jesse akan pergi lagi meninggalkannya. “Kenapa
baru sekarang kau menemuiku!”
Jesse membelai punggungnya lembut. “Maafkan aku, aku sangat sibuk, karirku
baru mulai menanjak, dan aku kesini untuk menjemputmu, kita tidak akan
terpisahkan lagi, aku...”
Belum selesai Jesse berbicara, Dean menarik Katie dari pelukannya.
“Dean..” Katie menjerit kaget.
“Apa yang kau lakukan?” susul Jesse marah.
“Kau tidak akan membawanya kemana-mana!”
“Siapa kau? Apa hakmu terhadap Katie.” Jesse berdiri, menghadapi Dean.
“Aku calon suaminya.” Kata Dean tegas, Jesse tercekat mendengarnya.
“Apa?? Bukan.. Dean jangan bicara macam-macam!!” bantah Katie.
“Katie masuk kamar sekarang!”
“Aku tidak mau! Kau tidak berhak menyuruh-nyuruhku!!”
“Ruby.. bawa dia masuk sekarang!”
Ruby beringsut mendekati Dean, dan menarik Katie ke kamarnya. Katie
meraung-raung, bahkan mencakar Ruby, namun Ruby bergeming, dia tetap menyeret
Katie, dan menguncinya dikamarnya. Teriakan dan isakan Katie bercampur dengan
suara gedoran pintu dan bantingan barang-barang di kamar Katie.
“Apa yang kau lakukan padanya? Aku mau bertemu Katie.” Jesse bersiap
menerobos melewati Dean menuju kamar Katie, namun Dean menghadangnya.
“Aku tidak akan membiarkanmu! Sebaiknya kau pergi, kehadiranmu tidak
diinginkan disini.”
“Tidak ada yang menanyakan pendapatmu.” Kata Jesse sinis.
“Tidak puas kah kau menyakitinya!!” Dean mendorongnya “Tidak puas kah kau
membuat Katie menangis. Hidupnya lebih baik kalau kau tidak ada!”
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu apa yang terjadi pada Katie setelah kau meninggalkannya? Dia dirawatdirumah
sakit jiwa KAU TAHU!!! Dia menghabiskan tiga tahun berharganya tanpa akal dan
pikiran, dia bahkan tidak mengenali kedua orang tuanya. Yang dia ingat hanya
kau!! IDIOT SEPERTIMU, TAPI DIMANA KAU SAAT ITU?? KAU MALAH BERSENANG-SENANG
DIPARIS, MENGEJAR KETENARAN, PERNAHKAH KAU SEKALI SAJA MEMIKIRKAN
KATIE!!!!!!!!” Dean berteriak marah, wajahnya merah padam, untungnya dia tidak
sampai memukul Jesse.
“Apa???... kau bohong, itu tidak benar!!”
“hahaha..” dean tertawa sarkasis, “Tidak benar? Sekarang kau lihat reaksinya
barusan? Kau lihat bagaimana dia mengamuk? Kau masih bilang itu tidak benar??”
Jesse terduduk lemas, benarkah? Selama ini dia sudah terlalu menyakiti
Katie, dia tidak pernah mengira kepergiannya itu bisa berakibat buruk seperti
ini terhadap Katie.
“Aku... aku tidak mengira akan seperti itu..”
“Seandainya, sekali saja kau menghubunginya, mungkin dia tidak akan seperti
ini. Kau menghilang begitu saja, membawa separuh hidupnya dan kini kau kembali
seolah-olah tidak terjadi apa-apa??? Lelaki macam apa kau ini??!!”
“Aku melakukan ini demi dia, aku ingin dia hidup bahagia bersamaku.”
“Tapi nyatanya dia tidak bahagia. Kau hanya menyakitinya. Seharusnya kau
tidak usah kembali, dia sudah bisa melupakanmu, kau tahu.”
Jesse tak bisa berkata-kata, air mata perlahan mengalir menuruni pipinya.
Dia terduduk lemas bersandar pada dinding. Dean benar seharusnya dia tidak usah
kembali, hidup Katie pasti lebih baik tanpa kehadirannya. Dia terlalu egois
selama ini, pergi meninggalkan gadis yang dicintainya hanya untuk mengejar
popularitas. Dia meyakini bahwa Katie akan lebih bahagia bersamanya kalau dia
sudah kaya, terkenal dimana-mana. Namun bukan itu yang Katie inginkan, dia
hanya ingin bersamanya. Itu hal yang membuat katie bahagia, bukan harta hanya
kehadiran Jesse.
“Sekarang kalau kau tidak keberatan, aku mohon kau pergi Jesse. Aku tahu kau
mencintai Katie, begitupula Katie. Tapi kemunculanmu justru membuat semuanya
semakin buruk. Selama ini dokter menyarankan agar kami tidak mengungkit-ungkit tentangmu
di depan Katie, bahkan dia tak tahu kalau kau sudah berhasil, sampai kemarin.
Ini semua demi kebaikan Katie, Jesse.” Ruby yang entah kapan sudah kembali,
duduk disampingnya, membelai lembut lengan Jesse.
“kenapa kalian tidak memberitahuku sebelumnya?”
“Hah.. memangnya kau peduli?. Telepon maupun email Katie saja tidak kau
balas.” Tuduh Dean.
Ruby memberinya pandangan menegur. “Kami sudah mencoba tapi yah.. kami tidak
tahu bagaimana.”
“Ini salahku, seharusnya aku tidak meninggalkannya seperti itu. Ini semua
salahku.”
“Sudah terlambat untuk menyesalinya. Sekarang yang bisa kau lakukan adalah
membuatnya tidak semakin memburuk. Kau harus meningalkan Katie, selamanya.”
Jesse menatap Ruby dalam-dalam, kilau air mata terpantul disudut matanya,
perlahan dia mengangguk.
***
Ruby membuka pintu kamar Katie, dia menaruh nampan makan malam Katie di meja
dan mendekati Katie.
“Katie, kau makan dulu ya.. dari pagi kau belum makan apa-apa.”
Katie bergeming, dia duduk di kursi goyang tua disudut ruangan, menghadap
jendela. Tatapannya kosong, wajahnya pucat dan matanya sembab. Dia sudah
seperti itu sejak kedatangan terakhir Jesse, sejak Dean dan Ruby mengurungnya
dikamar dan tidak menginjinkannya menemui Jesse. Katie menolak makan, yang dia
lakukan hanya mengurung diri di kamar, menangis, dan menangis terus.
“Katie...” Ruby membelai rambut Katie yang kusut, sedih melihat sahabatnya
seperti ini. “Sampai kapan kau mau seperti ini..” setetes air mata menuruni
pipinya. “Kau harus makan Kate, kau bisa sakit, please..” dihapusnya air mata
yang mengalir dan mecoba tersenyum.
Katie tetap bergeming. Ruby berjongkok dihadapan Katie, disadarinya bahwa
Katie juga menangis tanpa suara.
“Katie... please.. demi kedua orang tuamu, mereka pasti sedih melihatmu seperti
ini.” Ruby menggenggam tangan Katie yang dingin.
“Aku mau Jesse..” kata Katie pelan.
“Jesse sudah pergi Katie.. dia sudah tidak mencintaimu lagi.”
“Kau bohong. Kalau dia sudah tidak mencintaiku, kenapa dia kembali, kenapa
dia berjanji untuk mengajakku pergi bersamanya.”
“Dia bohong.. ini bukan pertama kalinya dia berbohong kepadamu kan..”
“KAU YANG BOHONG!! Kau dan Dean sama. Kalian senang menyiksaku. AKU MAU
JESSE!!!!!!!” Katie tiba-tiba menjerit, membuat Ruby terlonjak kaget.
“Katie tenang.. ini semua demi kebaikanmu.. aku dan Dean melakukan ini agar
kau bahagia.”
“Aku akan bahagia bersama Jesse, kenapa kalian tidak bisa melihatnya?” Katie
menjerit makin kencang.
“Katie dengar...” Ruby mencengkram kedua bahu Katie kuat-kuat. “Maafkan aku,
aku telah menyiksamu sepeti ini, aku takut. Aku tak mau kau sakit lagi. Aku
mencintaimu Katie, begitu pula Dean.” Ruby mengigit bibir bawahnya, berpikir.
“Sekarang ikut aku, pesawat Jesse berangkat 20 menit lagi, kita masih punya
kesempatan.”
“Tapi kau bilang...”
“Dia masih disini untuk mengurus beberapa hal, tapi dia akan kembali ke
Paris sekarang. Cepat kau masih bisa menyusulnya” Ruby menarik tangan Katie,
membantunya bersiap-siap.
“Kenapa kau melakukan ini?”
“Karena aku tak mau melihatmu sedih seperti ini. Aku tahu kau akan bahagia
bersama Jesse, persetan dengan dokter dan Dean.” Ruby tersenyum tulus, dan saat
itu Katie benar-benar bersyukur memilikinya sebagai sahabat.
Mereka bergegas ke Bandara. Ruby memacu mobilnya kencang, berharap Dean
tidak menyadari kepergian mereka. Dean mungkin akan mengurung Katie lagi,
atau bahkan lebih parah, membawanya ke panti rehabilitasi, kalau dia tahu Katie
menemui Jesse. Ruby tak ingin melihat Katie seperti itu. Ini satu-satunya
kesempatan. Ruby akan melakukan apa saja asalkan Katie bahagia, dan Katie akan
bahagia bersama Jesse.
“Kau masuk duluan, cari Jesse aku akan memarkir mobil ini.” Kata Ruby begitu
mereka tiba di bandara. Katie mengangguk dan berlari keluar mobil. Menuju pintu
keberangkatan, berharap menemukan Jesse.
Tapi Jesse tak ada dimanapun. Katie tak menghiraukan langkahnya, dia
menabrak beberapa orang dalam usahanya mencari Jesse,tidak menghiraukan
umpatan-umpatan kesal mereka, yang di pikirannya hanya Jesse.
Lagi-lagi air mata mengalir deras. Bagaimana kalau dia terlambat, bagaimana
kalau Jesse sekarang sudah benar-benar meninggalkannya?
“Katie...” teriakan Ruby mengagetkannya. “Kau sudah menemukannnya?”
Katie menggeleng, dia terisak tak tertahan “Aku kehilangannya Ruby.. dia
sudah pergi.”
Dan saat itu dia melihatnya. Rambut pirang itu, postur tubuh itu. Tidak
mungkin salah. Bahkan di tribun yang penuh ribuan orangpun dia pasti mengenali
Jesse.
“JESSE..” serta merta Katie berteriak. Dipacu langkahnya menuju Jesse, tapi
kerumunan orang-orang menghambat jalannya. “Jesse tunggu..” Katie terengah, air
mata mengaburkan pandangannya.
Namun Jesse tak mendengarnya. Dia tetap berjalan, selangkah lagi dia akan
benar-benar meninggalkan Katie untuk selamanya.
“JESSEEEE!!! TUNGGU.. JESSSE!!!” putus asa Katie memanggil nama Jesse.
Tiba-tiba seseorang menarik tangannya.
“Maaf Miss anda harus melewati pemeriksaan petugas.”
“Tidak .. Jesse... aku mau Jesse!!” sayangnya saat itu Jesse sudah lenyap
dari pandangan. “JESSEEE!!”
“Katie.. Katie its ok... maaf dia bersama saya.” Ruby menjelaskan kepada
petugas bandara yang menahan Katie, dan diapun melepaskannya. “Katie dia sudah
pergi, kau harus merelakannya Katie...” Ruby memeluknya erat menahan Katie dari
amukan.
Tetapi Katie tak mendengarnya, dia masih berteriak-teriak, memanggil Jesse,
membuat orang-orang berhenti untuk menontonnya. “JEEESSSSEEEEE.. RUBY, AKU
HARUS BERTEMU DENGANNYA.. JESSSE!!!!!!!”
Namun sama seperti lima tahun yang lalu. Sekeras apaun Katie memanggilnya.
Jesse tak pernah kembali
****
I shouldn't love you but I want to
I just can't turn away
I shouldn't see you but I can't move
I can't look away
I shouldn't love you but I want to
I just can't turn away
I shouldn't see you but I can't move
I can't look away
And I don't know
How to be fine when I'm not
'Cause I don't know
How to make a feeling stop
Just so you know
This feeling's takin' control
Of me and I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now
Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know
It's gettin' hard to be around you
There's so much I can't say
Do you want me to hide the feelings
And look the other away
And I don't know
How to be fine when I'm not
'Cause I don't know
How to make a feeling stop
Just so you know
This feeling's takin' control
Of me and I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now
Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
I just gotta say it all before I go
Just so you know
This emptiness is killin' me
And I'm wonderin' why I've waited so long
Lookin' back I realize it was always there
Just never spoken
I'm waitin' here
Been waitin' here
Just so you know
This feeling's takin' control
Of me and I can't help it
I won't sit around
I can't let him win now
Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
Just gotta say it all before I go
Just so you know, just so you know
Thought you should know
I've tried my best to let go
Of you but I don't want to
Just gotta say it all before I go
Just so you know, just so you know