Hannah menyandarkan kepala di kusen jendela, menatap iri
ke arah taman bermain di bawah. Ini adalah hari pertama musim panas, dan taman
bermain itu mulai dipenuhi anak-anak kecil yang berlari kesana kemari, suara
tawa mereka menggema dibawa angin, seolah tak terusik oleh teriknya matahari
yang mengintip dari balik dedaunan. Dia menghela nafas berat. Ingin sekali dia
bergabung dengan mereka. Tertawa riang, menikmati hidup layaknya orang normal,
tapi dia tak bisa. Kata normal sudah dihapuskan dari garis takdirnya. Dia tak
akan bisa menikmati hidup bebas seperti
dulu lagi.
Suara pintu yang berdecit membuyarkan lamunannya. Seorang
laki-laki tampan melangkah masuk, dia menyeret kursi plastik disamping ranjang
dan duduk disana.
“Hai...” sapanya pelan.
Hannah tersenyum lembut. “Hai...”
“Musim panas sudah datang, aku harap kita bisa
menghabiskannya di pantai, seperti dulu...”
“Kau tak tahu seberapa besar aku menginginkannya juga..”
senyum Hanna memudar, digantikan gurat menyesal yang dalam, perasaan bersalah bercokol
di hatinya, merasa dialah penyebab James tak bisa menikmati musim panasnya.
“Tapi itu tak masalah...” Lanjut James, “Bersamamu
disini, sudah lebih dari cukup untukku.” Dia tertawa pelan, meraih tangan
Hanna, mengusapnya lembut.
Sebulir air mata menetes di pipi Hannah. Dia juga sudah
merenggut kebahagiaan dari hidup James, dengan segala keterbatasannya, James
juga harus ikut terseret ke gelapnya masa depan Hannah. Dia memandang tubuhnya
yang berbaring di ranjang. Tubuh itu pucat, berwarna-warni selang medis
melingkar disekelilingnya. Selimut yang menutupi dadanya sama sekali tak
terusik oleh tarikan nafasnya yang pendek-pendek.
Sudah enam bulan Hannah menjalani hidup seperti
ini—bahkan kalau keadaan seperti ini bisa dibilang hidup. Mengambang antara
hidup dan mati. Setiap hari dia melihat para dokter dan perawat mengutak atik
tubuhnya, ingin mendorong mereka menjauh, tapi dia tak bisa. Tak ada yang bisa
dilakukan jiwa tanpa tubuh. Dia hanya menghabiskan waktunya melamun, meratapi
nasibnya yang tak akan pernah bisa diubah. Beruntung, setiap hari James, suaminya
yang setia itu, yang tidak pernah meninggalkan sisinya walaupun keadaannya
seperti ini selalu menemaninya. Mendengar James menceritakan kisah-kisah yang
terjadi diluar sana, menjadi hiburan tersendiri bagi Hannah. James sangat
ekspresif saat bercerita dan itu membuat Hannah terhanyut kedalamnya. Tapi yang
lebih penting baginya adalah, dia bisa melihat wajah James. Mendengar suaranya,
tawanya. Hanya itu yang membuatnya bisa bertahan menghadapi semua ini.
James membelai rambut Hannah pelan. Tatapannya tak lepas
dari wajah pucat Hannah.
“Kau ingat musim panas tahun lalu?” katanya lirih.
“Tentu saja.. bagaimana aku bisa lupa.” Jawab Hannah
walaupun dia yakin James tak mungkin bisa mendengarnya.
“Itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku.
Aku merasa hidupku lengkap, ketika bersanding denganmu di altar.” James
mengecup lembut cincin yang melingkar di jari manis Hannah. “Aku tak pernah
menyangka semua akan jadi seperti ini.”
Hannah menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan isakan
yang hampir pecah. Seandainya dia bisa memutar waktu, dia akan kembali ke momen
itu. Menyaksikan peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya dan James
berulang-ulang. Bahkan kalau bisa, dia akan menghentikan putaran waktu. Dia tak
mau menyaksikan semua kenangan indah itu perlahan berubah menjadi mimpi buruk.
“Tapi aku tak pernah menyesalinya, kau tahu. Aku tak
pernah menyesali keputusanku untuk menikahimu, karena kau adalah hal terindah
yang tuhan berikan untukku.” Hannah bisa melihat kilau air mata menuruni pipi
James. Dia menangis, selama ini Hannah tak pernah melihatnya menangis, James
tak pernah mau menangis di hadapan Hannah. Bahkan ketika dokter memberitahunya
bahwa Hannah menderita penyakit langka, yang sewaktu-waktu bisa merenggut
hidupnya, atau ketika akhirnya penyakit itu menang dan membuat Hannah koma
sampai sekarang. James selalu berusaha tegar. Tapi kini, dia bahkan tak berusaha
menghentikan tangisnya, melimpahkan segala beban yang selama ini dia rasakan. “Aku
hanya berharap aku bisa menggantikan tempatmu. Biar aku yang terbaring disana
kau seharusnya bisa bebas dan bersenang-senang.”
Hannah menggeleng kuat, lupa bahwa James tidak mungkin bisa melihatnya.”Tidak... itu tidak boleh terjadi. Aku tak mungkin sanggup melihatmu berbaring lemah disana, hidup hanya dibantu oleh alat-alat itu.”
Hannah menggeleng kuat, lupa bahwa James tidak mungkin bisa melihatnya.”Tidak... itu tidak boleh terjadi. Aku tak mungkin sanggup melihatmu berbaring lemah disana, hidup hanya dibantu oleh alat-alat itu.”
“Aku tak sanggup melihatmu terbaring lemah seperti ini,
hidup hanya dibantu oleh alat-alat itu.” James menggenggam tangan Hannah erat. “aku
akan melakukan apapun untukmu Hannah, apapun.”
“Seperti yang akan
aku lakukan kalau kau yang berada diposisiku, James.”
“Dokter memintaku untuk merelakanmu, mereka bilang ini
sudah waktunya untuk berpisah, bahwa kau tak mungkin bisa terbangun lagi. Mereka
memintaku untuk membunuhmu, baby. Mana mungkin aku bisa melakukan hal seperti
itu terhadapmu.” Suara James hilang ditelan isakan, sejalan dengan air mata
Hannah yang terus mengalir. “Jadi aku katakan pada mereka. ‘Tunggu dan lihat
saja! Istriku akan sembuh, dia akan segera sadar, dan saat itu baru kalian tahu
ada yang namanya keajaiban!’”.
“Mungkin mereka benar James, mungkin ini saatnya
mengucapkan selamat tinggal.”
“Aku tak mungkin bisa kehilanganmu. Kau hidupku. Kau satu-satunya
yang aku miliki. Aku tak mungkin bisa.”
“Kau harus mencoba.. cepat atau lambat, kau memang harus
merelakanku.”
“Kadang aku berharap ini semua hanya mimpi buruk. Dan nanti
ketika aku terbangun, aku menemukanmu di pelukanku, seperti hari-hari yang lalu
saat kita masih berdua. Aku rela dihantui mimpi buruk seumur hidupku asalkan
ketika aku terbangun kau ada disisiku.”
Hannah memalingkan wajahnya, tak sanggup lagi melihat
ataupun mendengar kata-kata James. berbagai kenapa berputar di otaknya. Kenapa dia
yang harus mengalami hal seperti ini? Kenapa Tuhan memperlakukannya secara tak
adil? Kenapa dia harus menyeret James kedalam kehidupannya? Tapi tak ada yang
bisa Hannah lakukan untuk merubah keadaan. Tak ada gunanya meratapi nasi yang
sudah menjadi bubur.
Kesunyian menyelimuti mereka selama beberapa saat. Sampai
kemudian pintu kamar diketuk, James menghapus sisa air matanya kemudian membukannya.
Seorang perawat setengah baya yang Hannah kenali bernama Claire beranjak masuk.
“Maaf, waktu besuk anda sudah habis.” Katanya.
James mengangguk, dia mengecup kening Hannah lembut, kemudian
berbisik. “Aku akan kembali lagi besok.”
Lau dia keluar kamar. Hannah menutup matanya, bersandar
pada tembok dingin, sementara Claire sedang menyuntikkan sesuatau pada tubuhnya
di ranjang.
“Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.” Katanya lirih.
***