Saturday, October 20, 2012

Wake Me Up


Hannah menyandarkan kepala di kusen jendela, menatap iri ke arah taman bermain di bawah. Ini adalah hari pertama musim panas, dan taman bermain itu mulai dipenuhi anak-anak kecil yang berlari kesana kemari, suara tawa mereka menggema dibawa angin, seolah tak terusik oleh teriknya matahari yang mengintip dari balik dedaunan. Dia menghela nafas berat. Ingin sekali dia bergabung dengan mereka. Tertawa riang, menikmati hidup layaknya orang normal, tapi dia tak bisa. Kata normal sudah dihapuskan dari garis takdirnya. Dia tak akan bisa menikmati  hidup bebas seperti dulu lagi.

Suara pintu yang berdecit membuyarkan lamunannya. Seorang laki-laki tampan melangkah masuk, dia menyeret kursi plastik disamping ranjang dan duduk disana.

“Hai...” sapanya pelan.

Hannah tersenyum lembut. “Hai...”

“Musim panas sudah datang, aku harap kita bisa menghabiskannya di pantai, seperti dulu...”

“Kau tak tahu seberapa besar aku menginginkannya juga..” senyum Hanna memudar, digantikan gurat menyesal yang dalam, perasaan bersalah bercokol di hatinya, merasa dialah penyebab James tak bisa menikmati musim panasnya.

“Tapi itu tak masalah...” Lanjut James, “Bersamamu disini, sudah lebih dari cukup untukku.” Dia tertawa pelan, meraih tangan Hanna, mengusapnya lembut.

Sebulir air mata menetes di pipi Hannah. Dia juga sudah merenggut kebahagiaan dari hidup James, dengan segala keterbatasannya, James juga harus ikut terseret ke gelapnya masa depan Hannah. Dia memandang tubuhnya yang berbaring di ranjang. Tubuh itu pucat, berwarna-warni selang medis melingkar disekelilingnya. Selimut yang menutupi dadanya sama sekali tak terusik oleh tarikan nafasnya yang pendek-pendek.

Sudah enam bulan Hannah menjalani hidup seperti ini—bahkan kalau keadaan seperti ini bisa dibilang hidup. Mengambang antara hidup dan mati. Setiap hari dia melihat para dokter dan perawat mengutak atik tubuhnya, ingin mendorong mereka menjauh, tapi dia tak bisa. Tak ada yang bisa dilakukan jiwa tanpa tubuh. Dia hanya menghabiskan waktunya melamun, meratapi nasibnya yang tak akan pernah bisa diubah. Beruntung, setiap hari James, suaminya yang setia itu, yang tidak pernah meninggalkan sisinya walaupun keadaannya seperti ini selalu menemaninya. Mendengar James menceritakan kisah-kisah yang terjadi diluar sana, menjadi hiburan tersendiri bagi Hannah. James sangat ekspresif saat bercerita dan itu membuat Hannah terhanyut kedalamnya. Tapi yang lebih penting baginya adalah, dia bisa melihat wajah James. Mendengar suaranya, tawanya. Hanya itu yang membuatnya bisa bertahan menghadapi semua ini.

James membelai rambut Hannah pelan. Tatapannya tak lepas dari wajah pucat Hannah.

“Kau ingat musim panas tahun lalu?” katanya lirih.

“Tentu saja.. bagaimana aku bisa lupa.” Jawab Hannah walaupun dia yakin James tak mungkin bisa mendengarnya.

“Itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku. Aku merasa hidupku lengkap, ketika bersanding denganmu di altar.” James mengecup lembut cincin yang melingkar di jari manis Hannah. “Aku tak pernah menyangka semua akan jadi seperti ini.”

Hannah menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan isakan yang hampir pecah. Seandainya dia bisa memutar waktu, dia akan kembali ke momen itu. Menyaksikan peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya dan James berulang-ulang. Bahkan kalau bisa, dia akan menghentikan putaran waktu. Dia tak mau menyaksikan semua kenangan indah itu perlahan berubah menjadi mimpi buruk.

“Tapi aku tak pernah menyesalinya, kau tahu. Aku tak pernah menyesali keputusanku untuk menikahimu, karena kau adalah hal terindah yang tuhan berikan untukku.” Hannah bisa melihat kilau air mata menuruni pipi James. Dia menangis, selama ini Hannah tak pernah melihatnya menangis, James tak pernah mau menangis di hadapan Hannah. Bahkan ketika dokter memberitahunya bahwa Hannah menderita penyakit langka, yang sewaktu-waktu bisa merenggut hidupnya, atau ketika akhirnya penyakit itu menang dan membuat Hannah koma sampai sekarang. James selalu berusaha tegar.  Tapi kini, dia bahkan tak berusaha menghentikan tangisnya, melimpahkan segala beban yang selama ini dia rasakan. “Aku hanya berharap aku bisa menggantikan tempatmu. Biar aku yang terbaring disana kau seharusnya bisa bebas dan bersenang-senang.”

Hannah menggeleng kuat, lupa bahwa James tidak mungkin bisa melihatnya.”Tidak... itu tidak boleh terjadi. Aku tak mungkin sanggup melihatmu berbaring lemah disana, hidup hanya dibantu oleh alat-alat itu.”

“Aku tak sanggup melihatmu terbaring lemah seperti ini, hidup hanya dibantu oleh alat-alat itu.” James menggenggam tangan Hannah erat. “aku akan melakukan apapun untukmu Hannah, apapun.”

“Seperti  yang akan aku lakukan kalau kau yang berada diposisiku, James.”

“Dokter memintaku untuk merelakanmu, mereka bilang ini sudah waktunya untuk berpisah, bahwa kau tak mungkin bisa terbangun lagi. Mereka memintaku untuk membunuhmu, baby. Mana mungkin aku bisa melakukan hal seperti itu terhadapmu.” Suara James hilang ditelan isakan, sejalan dengan air mata Hannah yang terus mengalir. “Jadi aku katakan pada mereka. ‘Tunggu dan lihat saja! Istriku akan sembuh, dia akan segera sadar, dan saat itu baru kalian tahu ada yang namanya keajaiban!’”.

“Mungkin mereka benar James, mungkin ini saatnya mengucapkan selamat tinggal.”

“Aku tak mungkin bisa kehilanganmu. Kau hidupku. Kau satu-satunya yang aku miliki. Aku tak mungkin bisa.”

“Kau harus mencoba.. cepat atau lambat, kau memang harus merelakanku.”

“Kadang aku berharap ini semua hanya mimpi buruk. Dan nanti ketika aku terbangun, aku menemukanmu di pelukanku, seperti hari-hari yang lalu saat kita masih berdua. Aku rela dihantui mimpi buruk seumur hidupku asalkan ketika aku terbangun kau ada disisiku.”

Hannah memalingkan wajahnya, tak sanggup lagi melihat ataupun mendengar kata-kata James. berbagai kenapa berputar di otaknya. Kenapa dia yang harus mengalami hal seperti ini? Kenapa Tuhan memperlakukannya secara tak adil? Kenapa dia harus menyeret James kedalam kehidupannya? Tapi tak ada yang bisa Hannah lakukan untuk merubah keadaan. Tak ada gunanya meratapi nasi yang sudah menjadi bubur.

Kesunyian menyelimuti mereka selama beberapa saat. Sampai kemudian pintu kamar diketuk, James menghapus sisa air matanya kemudian membukannya. Seorang perawat setengah baya yang Hannah kenali bernama Claire beranjak masuk.

“Maaf, waktu besuk anda sudah habis.” Katanya.

James mengangguk, dia mengecup kening Hannah lembut, kemudian berbisik. “Aku akan kembali lagi besok.”

Lau dia keluar kamar. Hannah menutup matanya, bersandar pada tembok dingin, sementara Claire sedang menyuntikkan sesuatau pada tubuhnya di ranjang.

“Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.” Katanya lirih.

***