Ketika pertama kali
mendengar vonis dokter, Kendall bagaikan kehilangan arah. Sahabat yang sudah
dianggapnya saudara sendiri itu diprediksikan hanya memiliki waktu hidup
beberapa bulan lagi. Hitungannya sudah bukan tahun melainkan bulan. Beberapa bulan yang rasanya akan
berlalu dengan cepat, secepat mengedipkan mata.
Logan tak mengatakan
apa-apa saat itu. Tak ada kata-kata perpisahan atau keluhan yang keluar dari
bibirnya. Kendall tahu, Logan bukanlah orang yang suka mengumbar kegundahannya.
Dia lebih senang menyembunyikan segala beban dihatinya dan nanti kalau dia
sudah tak kuat lagi, dia akan menuangkannya dalam sebuah lagu. Lagu yang
akhirnya akan selalu dinyanyikan Kendall di atas panggung.
Namun saat itu, ingin
rasanya Kendall memeluknya, tak peduli fakta bahwa mereka berdua laki-laki dan
akan terlihat sangat aneh kalau seseorang memergoki mereka tengah berpelukan sambil menangis dipundak
masing-masing. Kendall sampai harus menyingkir untuk menenangkan hatinya.
Menguatkan diri agar jangan sampai menangis didepan Logan. Dia tak mau Logan
tahu bahwa dirinya takut. Takut kalau harus hidup tanpa Logan.
“Hey Buddy...” Kendall
masuk ke ruang perawatan Logan. Perutnya seketika mual melihat bermacam-macam
selang yang berseliweran disekeliling tubuh sahabatnya itu, ditambah
jarum-jarum medis yang merajam tubuh Logan. “How you feeling?” katanya
menampilkan cengiran khas Kendallnya, berusaha menutupi perasaannya sendiri.
“Good...” bisik Logan
lemah. Dia baru selesai menjalankan terapi medis—terapi yang sebenarnya takkan
merubah keadaannya, hanya memberinya sedikit waktu tambahan. Tapi walaupun
begitu orang tua Logan bersikeras melakukannya. Mereka, sama halnya dengan
Kendall, sangat berharap keajaiban akan datang menghampiri Logan.
Kendall mendekat keranjangnya.
Dari mata Logan yang sudah separuh tertutup dia yakin sebentar lagi Logan akan
terlelap kealam mimpi. Obat bius yang dokter berikan mulai bekerja.
“Sleep well bud.. aku
akan selalu disini menemanimu.” Kendall membisikkan kata-kata itu lembut. Logan
sempat tersenyum sekilas, sebelum dia akhirnya tertidur.
***
“Kendall... kau
curang!!”
“Enak saja, itu
namanya taktik...”
“Oke...rasakan ini.”
“Hey... itu baru
namanya curang..”
“Oh tidak buddy itu
namanya taktik...”
“Copy cat..”
“Loser...”
“Kau yang loser..”
Kendall dan Logan
saling pandang, kemudian tertawa.
“Lain kali akan aku
buat kau menangis.”
“Good luck with that.”
Logan menjulurkan lidahnya.
Tiba-tiba handphone
Kendall berdering. Kendall melihat layarnya, tetapi mengabaikan teleponnya.
“Kau tidak ingin
mengangkatnya?” tanya Logan bingung.
Kendall menggeleng.
“Gak penting kok.”
“Memangnya siapa yang
menelepon?”
“Bukan siapa-siapa.”
“Yakin??”
Kendall mengangguk.
“Kupingmu memerah
loh..”
“Oh baiklah.. aku memang
tidak bisa bohong padamu.”
Logan terkekeh. “Jadi
siapa cewek ini?”
“Aku kan gak bilang
dia cewek.”
“Bukan ya...”
“Bukan ya...”
“Well.... Iya sih...”
Logan terkekeh lagi.
“Namanya?”
“Uh... kau ingat Jo Taylor teman SMA kita
dulu?”
“Yang pirang itu, yang
pernah naksir aku?”
“Ya dia...”
“Jadi kau kencan sama
Jo?” Waw...”
“Kami gak kencan. Aku
bertemu dia minggu lalu waktu manggung di acara amal itu, dia salah satu
panitianya. Terus kami tukeran nomer telepon kalau-kalau ada acara amal lagi
dan dia membutuhkan aku..”
“Kendall...
Kendall....” Logan meletakkan sebelah tangannya yang tak tersambung ke selang
infus di bahu Kendall, menatapnya dengan pandangan menggurui. “Kapan kau akan
belajar bahwa kau tidak bisa membohongi seorang Logan? kau naksir Jo, jelas
sekali kok dari wajahmu.”
“Aku gak...... oh
fine, aku emang naksir dia. Kau gak marahkan?”
“Kenapa harus marah?”
“Karena dulu Jo naksir
kamu.”
Logan tertawa, yang
malah membuatnya tersedak, Kendall buru-buru memberinya air minum.
“You okay?” tanya
Kendall cemas.
“It’s ok...” Logan
melambai-lambaikan tangannya. “Kembali ke Jo. Kau gak ingat dulu aku
mati-matian nolak dia. Dia bukan tipeku dude, santai saja.”
Kendall tersenyum.
“Thanks buddy...you’re the best bud ever.”
“No chick-flick moment
please..”
“Haha.. oke sorry.”
“Jadi kau sudah
mengajaknya kencan?”
“Belum... Uh..
entahlah..aku rasa aku harus minta izin dulu padamu?”
“Kendall aku bukan
orang tuamu. Ajak saja dia kencan. Nanti kalau dia diserobot cowok lain baru
tahu rasa kau.”
Handphone Kendall berdering
lagi.
“Jo??”
Kendall mengangguk.
“Sana, ajak dia
kencan. Aku gak mau jadi pelampiasan sakit hatimu kalau Jo jadian sama cowok
lain.”
Kendall nyengir ke
arah Logan sebelum dengan bersemangat keluar ruangan untuk mengangkat telepon.
Dia tak melihat senyum sedih yang terlukis di wajah pucat Logan.
***
Logan sudah berteman
dengan Kendall sejak dia bisa mengingatnya. Dari taman kanak-kanak sampai
sekarang mereka selalu bersama. Banyak yang bilang mereka gay. Karena kemanapun
Logan pergi, Kendall selalu mengekor, begitu pula sebaliknya. Tapi mereka tak
pernah mengambil hati cibiran orang. Buat Logan, Kendall adalah sahabat terbaik
yang Tuhan berikan untuknya. Saat preman-preman sekolah menghadanganya,
Kendalllah orang yang berdiri membelanya. Ketika dia tak sengaja memecahkan kaca
jendela di ruang kepala sekolah, Kendall yang menanggung semua hukuman menggantikan dirinya. Kendall
selalu ada untuknya. Bahkan ketika dia terbaring sakit seperti ini, menunggu
ajal menjemput. Tak pernah sekalipun Kendall berbalik dan meninggalkannya. Dia
malah menemani Logan sepanjang waktu yang dimilikanya. Tak peduli walaupun dia
capek setelah manggung. Kendall selalu menyempatkan diri menjenguknya.
Menceritakan segala hal yang terjadi di luar sana. Karena sejak tumor otak
ganas yang merampas kesehatannya, Logan tak bisa lagi meninggalkan tempat
tidur.
Jadi ketika Kendall
dengan wajah sumringah menceritakan bahwa akhirnya dia jadian dengan Jo. Logan
menekan sakit hatinya dalam-dalam. Dia tersenyum lebar untuk Kendall, selebar
luka yang menganga dihatinya.
Tak ada yang tahu,
bahwa sejak dulu Logan naksir Jo. Dan betapa bahagianya dia ketika tahu kalau
Jo juga menyukainya. Tetapi ketika melihat wajah Kendall, Logan harus menelan
rasa bahagianya. Kendall memang tak mengatakannya, tapi Logan tahu. Kendall
juga naksir Jo. Dan karena tak ingin mengecewakan Kendall. Logan memasang
topeng cuek dan tak peduli di depan Jo. Menolaknya ketika gadis itu mengajaknya
kepesta dansa. Sakit memang, terlebih ketika melihat wajah sakit hati Jo ketika
ditolak. Tapi buat Logan perasaan Kendall yang lebih penting. Logan lebih tak
ingin kehilangan Kendall daripada Jo.
Logan berbaring diam
di ranjangnya. Malam sudah larut, lampu rumah sakit sudah dipadamkan. Hanya
suara mesin-mesin medis yang tersambung ke tubuhnya yang membelah kesunyian
malam. Sekarang akhirnya Kendall bisa bersama gadis yang diidamkannya. Ada rasa
iri menyusup kehati Logan. Kenapa bukan dia yang saat ini bersama Jo. Kenapa
dia harus berbaring tak berdaya disini. Kenapa selalu Kendall yang lebih
beruntung. Dia ingin bisa berjalan-jalan
lagi, minum segelas atau dua gelas bir mungkin, kencan, merasakan nikmatnya
masa muda. Bukannya menghabiskan waktu bersama alat-alat yang berdengung
menjengkelkan di kamar rumah sakit yang bau seperti ini.
Logan ingin menjadi
Logan lagi. Kenapa penyakit ini harus memilihnya? Kenapa Tuhan tidak mengambil
saja nyawanya, jadi dia tidak harus merasakan sait hati seperti ini. Logan
benci hidupnya.
***
“Bagaimana keadaan
Logan?”
“Sudah stabil sekarang.”
Kendall menghempaskan diri di bangku kayu Rumah Sakit. Jo duduk disebelahnya
mengusap punggungnya, menenangkan. Padahal Kendall datang bersama Jo. Dia ingin
Logan bertemu lagi dengan Jo. Padahal dia berharap malam itu akan dihabiskan
dengan canda tawa mengenang masa lalu mereka. Tapi tiba-tiba Logan kolaps.
Garis-garis di mesin medis itu bergerak menggila. Tubuh Logan kejang-kejang.
Kendall sampai harus diseret perawat untuk keluar dari ruang perawatan Logan.
Dia tak mau meninggalkan sahabatnya itu berjuang sendirian.
“Seandainya aku bisa
menggantikannya..” bisik Kendall lemah. Biar dia yang merasakan sakit itu, biar
dia yang terbaring disana. Kendall rela walau harus mati demi Logan.
Jo memeluknya, Kendall
tak tahan lagi, dia menangis dipelukan Jo. Menumpahkan segala beban hatinya di
pundak gadis itu. Tak peduli kalau nanti Jo menganggapnya cowok cengeng.
Seandainya air mata bisa mengembalikan keadaan Logan, Kendall tak keberatan
menangis seumur hidupnya. Segala cara akan dia lakukan, agar Logan bisa sehat
kembali.
***
Ibu Logan menaburkan
abu putranya sambil berurai air mata. Kendall berdiri disampingnya, memandang
kelamnya air laut dibawah. Mereka berdiri di pinggir pelabuhan. Mengantarkan
Logan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kontras dengan ibu Logan yang terus
terisak. Kendall menangis dalam diam. Air mata tak berhenti mengalir dari rumah
duka sampai sekarang. Ini permintaan Logan, dia ingin agar dirinya dikremasi
dan abunya ditaburkan ke laut. Walau sudah tidak bernafas dia ingin agar bagian
dirinya bebas pergi, mengalir mengikuti arus laut.
Kendall menyeka
matanya dengan punggung tangan. Pandangannya kabur. Teringat terakhir kali dia
bersama Logan. Padahal saat itu sahabatnya tengah tidur nyenyak. Tak ada
tanda-tanda kondisinya akan memburuk lagi. Sampai dia mendapat telepon dari
Mama Henderson di pagi buta. Beliau mengatakan bahwa Logan kolaps lagi. Dan
ketika dia tiba dirumah sakit, semua sudah terlambat. Sahabatnya sudah pergi
meninggalkannya, selamanya. Air mata pertama Kendall jatuh saat dia melihat
tubuh Logan terbaring kaku. Kendall menggengam tanganya, dingin.
“Dude... ini tidak
lucu. Kau harus bangun!! Aku belum mengalahkanmu di balapan terakhir. Kau tidak
bisa pergi sekarang. Katamu kau akan jadi Bestman ku saat menikah nanti.
Logan... jangan jadi pengkhianat. Bangun idiot!!!” dia mengguncang-guncang tubuh kaku Logan, membuat dua perawat
menyergapnya dan menyeretnya keluar ruangan.
Dia belum siap. Tidak
dengan cara seperti ini. Dia masih ingin bercanda bersama Logan. Masih ingin
menontonnya tertidur. Dia belum menyampaikan berita pertunangannya dengan Jo.
Kenapa Logan harus
pergi secepat ini. Selama beberapa bulan ini Kendall memang sudah dipersiapkan
untuk melepas Logan, tapi dia belum ingin. Logan masih berhutang banyak padanya.
Jo meremas bahu
Kendall, dia juga menangis. Kendall menarik nafas dalam. Diremasnya tangan Jo
lembut.
Logan, tenanglah disana. Aku akan melanjutkan
perjuanganmu dari sini. Aku akan pastikan lagumu tetap mengalun di atas
panggung. Aku akan menjaga Jo untukmu.
***