Sunday, May 20, 2012

Brother's Bond


Ketika pertama kali mendengar vonis dokter, Kendall bagaikan kehilangan arah. Sahabat yang sudah dianggapnya saudara sendiri itu diprediksikan hanya memiliki waktu hidup beberapa bulan lagi. Hitungannya sudah bukan tahun melainkan  bulan. Beberapa bulan yang rasanya akan berlalu dengan cepat, secepat mengedipkan mata.

Logan tak mengatakan apa-apa saat itu. Tak ada kata-kata perpisahan atau keluhan yang keluar dari bibirnya. Kendall tahu, Logan bukanlah orang yang suka mengumbar kegundahannya. Dia lebih senang menyembunyikan segala beban dihatinya dan nanti kalau dia sudah tak kuat lagi, dia akan menuangkannya dalam sebuah lagu. Lagu yang akhirnya akan selalu dinyanyikan Kendall di atas panggung.

Namun saat itu, ingin rasanya Kendall memeluknya, tak peduli fakta bahwa mereka berdua laki-laki dan akan terlihat sangat aneh kalau seseorang memergoki mereka  tengah berpelukan sambil menangis dipundak masing-masing. Kendall sampai harus menyingkir untuk menenangkan hatinya. Menguatkan diri agar jangan sampai menangis didepan Logan. Dia tak mau Logan tahu bahwa dirinya takut. Takut kalau harus hidup tanpa Logan.

“Hey Buddy...” Kendall masuk ke ruang perawatan Logan. Perutnya seketika mual melihat bermacam-macam selang yang berseliweran disekeliling tubuh sahabatnya itu, ditambah jarum-jarum medis yang merajam tubuh Logan. “How you feeling?” katanya menampilkan cengiran khas Kendallnya, berusaha menutupi perasaannya sendiri.

“Good...” bisik Logan lemah. Dia baru selesai menjalankan terapi medis—terapi yang sebenarnya takkan merubah keadaannya, hanya memberinya sedikit waktu tambahan. Tapi walaupun begitu orang tua Logan bersikeras melakukannya. Mereka, sama halnya dengan Kendall, sangat berharap keajaiban akan datang menghampiri Logan.

Kendall mendekat keranjangnya. Dari mata Logan yang sudah separuh tertutup dia yakin sebentar lagi Logan akan terlelap kealam mimpi. Obat bius yang dokter berikan mulai bekerja.

“Sleep well bud.. aku akan selalu disini menemanimu.” Kendall membisikkan kata-kata itu lembut. Logan sempat tersenyum sekilas, sebelum dia akhirnya tertidur.

***

“Kendall... kau curang!!”

“Enak saja, itu namanya taktik...”

“Oke...rasakan ini.”

“Hey... itu baru namanya curang..”

“Oh tidak buddy itu namanya taktik...”

“Copy cat..”

“Loser...”

“Kau yang loser..”

Kendall dan Logan saling pandang, kemudian tertawa.

“Lain kali akan aku buat kau menangis.”

“Good luck with that.” Logan menjulurkan lidahnya.

Tiba-tiba handphone Kendall berdering. Kendall melihat layarnya, tetapi mengabaikan teleponnya.

“Kau tidak ingin mengangkatnya?” tanya Logan bingung.

Kendall menggeleng. “Gak penting kok.”

“Memangnya siapa yang menelepon?”

“Bukan siapa-siapa.”

“Yakin??”

Kendall mengangguk.

“Kupingmu memerah loh..”

“Oh baiklah.. aku memang tidak bisa bohong padamu.”

Logan terkekeh. “Jadi siapa cewek ini?”

“Aku kan gak bilang dia cewek.”

“Bukan ya...”

“Well.... Iya sih...”

Logan terkekeh lagi. “Namanya?”

 “Uh... kau ingat Jo Taylor teman SMA kita dulu?”

“Yang pirang itu, yang pernah naksir aku?”

“Ya dia...”

“Jadi kau kencan sama Jo?” Waw...”

“Kami gak kencan. Aku bertemu dia minggu lalu waktu manggung di acara amal itu, dia salah satu panitianya. Terus kami tukeran nomer telepon kalau-kalau ada acara amal lagi dan dia membutuhkan aku..”

“Kendall... Kendall....” Logan meletakkan sebelah tangannya yang tak tersambung ke selang infus di bahu Kendall, menatapnya dengan pandangan menggurui. “Kapan kau akan belajar bahwa kau tidak bisa membohongi seorang Logan? kau naksir Jo, jelas sekali kok dari wajahmu.”

“Aku gak...... oh fine, aku emang naksir dia. Kau gak marahkan?”

“Kenapa harus marah?”

“Karena dulu Jo naksir kamu.”

Logan tertawa, yang malah membuatnya tersedak, Kendall buru-buru memberinya air minum.

“You okay?” tanya Kendall cemas.

“It’s ok...” Logan melambai-lambaikan tangannya. “Kembali ke Jo. Kau gak ingat dulu aku mati-matian nolak dia. Dia bukan tipeku dude, santai saja.”

Kendall tersenyum. “Thanks buddy...you’re the best bud ever.”

“No chick-flick moment please..”

“Haha.. oke sorry.”

“Jadi kau sudah mengajaknya kencan?”

“Belum... Uh.. entahlah..aku rasa aku harus minta izin dulu padamu?”

“Kendall aku bukan orang tuamu. Ajak saja dia kencan. Nanti kalau dia diserobot cowok lain baru tahu rasa kau.”

Handphone Kendall berdering lagi.

“Jo??”

Kendall mengangguk.

“Sana, ajak dia kencan. Aku gak mau jadi pelampiasan sakit hatimu kalau Jo jadian sama cowok lain.”

Kendall nyengir ke arah Logan sebelum dengan bersemangat keluar ruangan untuk mengangkat telepon. Dia tak melihat senyum sedih yang terlukis di wajah pucat Logan.

***

Logan sudah berteman dengan Kendall sejak dia bisa mengingatnya. Dari taman kanak-kanak sampai sekarang mereka selalu bersama. Banyak yang bilang mereka gay. Karena kemanapun Logan pergi, Kendall selalu mengekor, begitu pula sebaliknya. Tapi mereka tak pernah mengambil hati cibiran orang. Buat Logan, Kendall adalah sahabat terbaik yang Tuhan berikan untuknya. Saat preman-preman sekolah menghadanganya, Kendalllah orang yang berdiri membelanya. Ketika dia tak sengaja memecahkan kaca jendela di ruang kepala sekolah, Kendall yang menanggung  semua hukuman menggantikan dirinya. Kendall selalu ada untuknya. Bahkan ketika dia terbaring sakit seperti ini, menunggu ajal menjemput. Tak pernah sekalipun Kendall berbalik dan meninggalkannya. Dia malah menemani Logan sepanjang waktu yang dimilikanya. Tak peduli walaupun dia capek setelah manggung. Kendall selalu menyempatkan diri menjenguknya. Menceritakan segala hal yang terjadi di luar sana. Karena sejak tumor otak ganas yang merampas kesehatannya, Logan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidur.

Jadi ketika Kendall dengan wajah sumringah menceritakan bahwa akhirnya dia jadian dengan Jo. Logan menekan sakit hatinya dalam-dalam. Dia tersenyum lebar untuk Kendall, selebar luka yang menganga dihatinya.

Tak ada yang tahu, bahwa sejak dulu Logan naksir Jo. Dan betapa bahagianya dia ketika tahu kalau Jo juga menyukainya. Tetapi ketika melihat wajah Kendall, Logan harus menelan rasa bahagianya. Kendall memang tak mengatakannya, tapi Logan tahu. Kendall juga naksir Jo. Dan karena tak ingin mengecewakan Kendall. Logan memasang topeng cuek dan tak peduli di depan Jo. Menolaknya ketika gadis itu mengajaknya kepesta dansa. Sakit memang, terlebih ketika melihat wajah sakit hati Jo ketika ditolak. Tapi buat Logan perasaan Kendall yang lebih penting. Logan lebih tak ingin kehilangan Kendall daripada Jo.

Logan berbaring diam di ranjangnya. Malam sudah larut, lampu rumah sakit sudah dipadamkan. Hanya suara mesin-mesin medis yang tersambung ke tubuhnya yang membelah kesunyian malam. Sekarang akhirnya Kendall bisa bersama gadis yang diidamkannya. Ada rasa iri menyusup kehati Logan. Kenapa bukan dia yang saat ini bersama Jo. Kenapa dia harus berbaring tak berdaya disini. Kenapa selalu Kendall yang lebih beruntung.  Dia ingin bisa berjalan-jalan lagi, minum segelas atau dua gelas bir mungkin, kencan, merasakan nikmatnya masa muda. Bukannya menghabiskan waktu bersama alat-alat yang berdengung menjengkelkan di kamar rumah sakit yang bau seperti ini.

Logan ingin menjadi Logan lagi. Kenapa penyakit ini harus memilihnya? Kenapa Tuhan tidak mengambil saja nyawanya, jadi dia tidak harus merasakan sait hati seperti ini. Logan benci hidupnya.

***

“Bagaimana keadaan Logan?”

“Sudah stabil sekarang.” Kendall menghempaskan diri di bangku kayu Rumah Sakit. Jo duduk disebelahnya mengusap punggungnya, menenangkan. Padahal Kendall datang bersama Jo. Dia ingin Logan bertemu lagi dengan Jo. Padahal dia berharap malam itu akan dihabiskan dengan canda tawa mengenang masa lalu mereka. Tapi tiba-tiba Logan kolaps. Garis-garis di mesin medis itu bergerak menggila. Tubuh Logan kejang-kejang. Kendall sampai harus diseret perawat untuk keluar dari ruang perawatan Logan. Dia tak mau meninggalkan sahabatnya itu berjuang sendirian.

“Seandainya aku bisa menggantikannya..” bisik Kendall lemah. Biar dia yang merasakan sakit itu, biar dia yang terbaring disana. Kendall rela walau harus mati demi Logan.

Jo memeluknya, Kendall tak tahan lagi, dia menangis dipelukan Jo. Menumpahkan segala beban hatinya di pundak gadis itu. Tak peduli kalau nanti Jo menganggapnya cowok cengeng. Seandainya air mata bisa mengembalikan keadaan Logan, Kendall tak keberatan menangis seumur hidupnya. Segala cara akan dia lakukan, agar Logan bisa sehat kembali.

***

Ibu Logan menaburkan abu putranya sambil berurai air mata. Kendall berdiri disampingnya, memandang kelamnya air laut dibawah. Mereka berdiri di pinggir pelabuhan. Mengantarkan Logan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Kontras dengan ibu Logan yang terus terisak. Kendall menangis dalam diam. Air mata tak berhenti mengalir dari rumah duka sampai sekarang. Ini permintaan Logan, dia ingin agar dirinya dikremasi dan abunya ditaburkan ke laut. Walau sudah tidak bernafas dia ingin agar bagian dirinya bebas pergi, mengalir mengikuti arus laut.

Kendall menyeka matanya dengan punggung tangan. Pandangannya kabur. Teringat terakhir kali dia bersama Logan. Padahal saat itu sahabatnya tengah tidur nyenyak. Tak ada tanda-tanda kondisinya akan memburuk lagi. Sampai dia mendapat telepon dari Mama Henderson di pagi buta. Beliau mengatakan bahwa Logan kolaps lagi. Dan ketika dia tiba dirumah sakit, semua sudah terlambat. Sahabatnya sudah pergi meninggalkannya, selamanya. Air mata pertama Kendall jatuh saat dia melihat tubuh Logan terbaring kaku. Kendall menggengam tanganya, dingin.

“Dude... ini tidak lucu. Kau harus bangun!! Aku belum mengalahkanmu di balapan terakhir. Kau tidak bisa pergi sekarang. Katamu kau akan jadi Bestman ku saat menikah nanti. Logan... jangan jadi pengkhianat. Bangun idiot!!!” dia mengguncang-guncang  tubuh kaku Logan, membuat dua perawat menyergapnya dan menyeretnya keluar ruangan.

Dia belum siap. Tidak dengan cara seperti ini. Dia masih ingin bercanda bersama Logan. Masih ingin menontonnya tertidur. Dia belum menyampaikan berita pertunangannya dengan Jo.

Kenapa Logan harus pergi secepat ini. Selama beberapa bulan ini Kendall memang sudah dipersiapkan untuk melepas Logan, tapi dia belum ingin. Logan masih berhutang banyak padanya.

Jo meremas bahu Kendall, dia juga menangis. Kendall menarik nafas dalam. Diremasnya tangan Jo lembut.

Logan, tenanglah disana. Aku akan melanjutkan perjuanganmu dari sini. Aku akan pastikan lagumu tetap mengalun di atas panggung. Aku akan menjaga Jo untukmu.

***

No comments:

Post a Comment