Tuesday, November 13, 2012

The One Who Walked Away (Random Imagine)



“I’m not the best guy for you. We better off of this way.”

Tht was what he said back then. When he finally walked away from me. Just a simple goodbye that could really break my heart, and i was never be the same again.

I was trying my best to forget about him. It was hurt like hell. I couldn’t went to sleep without tears in my eyes. I couldn’t woke up in the morning without feeling empty and again i would cry my eyes out the whole night.

I couldn’t help myself. They said i’m too good for him. They said he was an asshole for letting me go like that. But they just didn’t feel what i felt. Let’s try to put them in my shoes and see how they handle the pain. It’s just hurt.

But then, when i finally can get him outta my mind. When i can show the world my smile again, eventhough that’s just a little smile. He comes back. He says that he’s regretting what he has done to me. He wants me back. He wants us to be like what we used to be. Should i say yes? Should i say okay and hug him again? However he has said sorry. He even begs on his knees saying he was so stupid that time. He couldn’t think clearly. He was the jerk that deserves to be hated. I don’t know whether i should take him back or not. Honestly i still love him. I want him so bad. But then i remember the pain he gave me, and it makes me really wannt to kick his ass to Antartica.

“Do you still love me?” he asked.

“Yes..” i answered slowly.

“Do you want me back?”

I silence for a moment. He looked at me with a big puppy eyes.

“No.” I said coldly, and this time i’m the one who walked away.

***

-I'm Forever Yours- A James Imagine.



“meet me backstage later xoxo”

I read that text with a big grin on my face. James wants to see me after the concert. Tonight is his first show of the tour, and he gave me a backstage pass so that i can sneak in and cheer him up.

The show is finally over at 10.30 PM. I can see James, Carlos, Kendall and Logan walked out of the stage. The four of them are wet covering in sweat. I waved at James, his eyes fastly turned from tired to excitement. He ran to me with a big smile.

“Finally you’re here.” He said before pulling me in for a tight hug. “I missed you.” He kisses me softly.

“I miss you to babe.” I replied stroking his cheeks.

“Let’s go somewhere more private.” He winked mischievously. He’s pulling my hand to his dressing room. Closed the door and locked it. He lifted me up and spinned me arround. I giggle as i hold him tight.

“Put me down.”

He chuckles then puts me down.

I stare into his eyes, wiping the sweat on his forehead.

“You’re beautiful tonight (YN).” He whispers to my ear.

“And you’re amazing tonight.” I whisper back.

He gets closer to me i can feel his warm breathe on my face. He tucks my hair to the back of my ear, slowly he leans his lips on mine, his hands are wrapping around my waist. I press my body against his, tighten the kiss. He sucks and bites my lower lip, make me let go of a moan. His hand on my back went down to my ass, squeezing it sofly. I open my mouth a little letting his tongue in and dance with mine.

“To the couch..” he whispers beetween the kiss.

I walk on my back to the couch, he lies me down carefully.

“Are you sure we’re gonna do it here?”

“Why not? Door is locked, nobody can disturbs us.” He smirkes.

“Well then..” i pull him again, kissing him even more passionate. I smugle my hands into his shirt. Rubbing his sweaty strong abs.

He moans my name. “(YN) ohh...”

His kiss moves down to my neck, left a red mark on it.

“Tonight you’re mine.” He said before kissing me again.

“I’m forever yours, James.”

***



- I might as well continue this imagine.. but i'm still thinking about it ;) Let me know if you want me to continue.-

Saturday, November 3, 2012

♥ FACEBOOK LOVE ♥



Dinda: kamu dimana? Kok kemarin gak ol?
Chandra: sibuk, hehe.. knp? Kangen ya?
Dinda: iiiih sorry lah ya :P
Chandra: udah bilang aja kalo kangen :*
Dinda: hmmm iya deh... :P
Chandra: tuh kaaaan...
Eh kita kan udah temenan lama,terus sering chat2an, smsn, telepon2an..aku mau nanya deh..
Dinda: apa?
Chandra: mau gak jd pacarku?
Dinda: tapi kan kita blm prnah ketemu.
Chandra: terus? Kan bisa LDRan..
Dinda:hmmmmm...
Chandra: pleasee.. aku tuh sayang bgt sm kamu.. aku ngerasa nyaman bgt ngobrol
     sm km.. km ngerasain hal yg sama gk ke aku?
Dinda: iya sih..
Chandra: tuh kan..kenapa gk dicoba?
Dinda: iya deh.. aku mau jadi pacar kamu :D
Chandra: yes... i love you!!
Dinda: Love you too...

***
“Dinndaaaaaaaaaaaaaaaa....”
Teriakan itu mengagetkanku yang sedang meng-update status di facebook. Hampir saja hp yang sedang ku pegang terlempar.
“Dindddaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...” teriakan itu terdengar lagi, kali ini dibarengi dengan gebrakan pintu.
“Apa???” jawabku cuek. Masih asik dengan facebookku.
“Lo tuh siap-siap kok sampe seabad sih.. Gue udah kering nungguin dari tadi di luar!!” Sembur Andine, sahabatku yang sudah ku anggap sebagai saudara sendiri.
Aku cuma nyengir meladeninya. “Maaf say.. lagi komen-komenan sama Chandra nih.”
“APAAAAA????? Jadi dari tadi lo belum siap-siap sama sekali????????”
“Aduuuh Ndine.. gak pake teriak dong.. budeg nih..”
“Bodo amat.... ahhh males ah gue.. batal aja deh jalan-jalannya.” Andine menjatuhkan tubuhnya di kasurku.
“Yah jangan dong. Sorry deh sorry.. gue siap-siap sekarang kay..”
“gaaaak...” Andine bergeming.
“Andiiiinee...” aku berusaha merayunya.
“Urusin aja tuh si Chandra.”
“Jangan gitu dong, kayak gak pernah jatuh cinta aja sih lo.”
“Gue pernah jatuh cinta, tapi sama cowok asli bukan cowok di dunia maya.” Andine mencibir.
“Makanya lo gak tau rasanya jatuh cinta sama cowok di dunia maya, cowok yang gak bisa lo temuin tiap hari.. bawaannya kangen terus.” Aku merebahkan diri di samping Andine.
“Tapi lo gak takut apa? Siapa tau aja dia kriminal, terus punya niat buruk sama lo.”
“Gak mungkin. Lo udah liat fotonya kan.. dia tuh unyu banget gak mungkin kriminal.”
“Din.. tampang gak menjamin. Gue cuma gak pengen lo kenapa-kenapa.”
“Iya.. gue hargain Din.. tapi saat ini gue bahagia banget sama dia.” Aku tersenyum lebar.
Andine menghela nafas. “Iya deh yang lagi jatuh cinta. Tapi lo emang gak mau ketemuan sama dia?”
“Pengen sih tapi kan kita beda pulau, gimana mau ketemu.”
Andine menghela nafas lagi. “gue doain yang terbaik deh buat lo.”

***
Chandra: baby.. i miss you.
Dinda: I miss you too :*
Chandra: tadi ngapain aja seharian?
Dinda: hmm tadinya mau jalan2 sama Andine, tp gk jadi...
Chandra: knp gk jd?
Dinda: iya soalnya akukan sibuk komen2an sama km :P
Chandra: trs Andine gk marah?
Dinda: gk kok :)
Chandra: sukur deh.
Dinda: :)
Chandra: maaf ya mlm ini aku gk bisa nelpon.
Dinda: iy gk apa2 kok.
Chandra: km memang pengertian, jd makin sayang deh.. emwaah.
Dinda: emwwwwaaah.
Chandra: eh udh dulu ya. Aku sibuk nih.. Love you.
Dinda: yaaah kok gitu :(
Chandra is offline.
Dina: :( bye.. love you too.

***
Aku berdiri di depan pintu rumah Andine. Saat galau seperti ini cuma dia yang bisa menghiburku ku. Cuma dia yang punya saran untuk menenangkan hatiku. Aku mengetuk pintu rumahnya pelan. Berharap Andine ada di rumah.
Pintu membuka perlahan. Wajah mungil Andine muncul dari balik pintu. Tapi ekspresinya berubah begitu melihatku.
“Din... lo kenapa???”
“Andiiiiinneeee...” aku menghambur kepelukannya menangis tersedu-sedu.
“Yaampun Din.. lo kenapa?” Andine terdengar cemas, dia membimbingku duduk di kursi santai di teras. Aku masih menangis dalam pelukannya.
“Chandra ndiiine...” kataku disela isakan.
“Chandra kenapa??”
“Dia mutusin gue...” tangisku semakin keras.
“Hah? Kok bisa?? Kenapa emangnya? Lo berantem?”
“Enggak.... dia tiba-tiba ngeblock gue. Terus pas gue cek pake akun lain dia udah in relationship sama orang lain... gue coba telepon, nomernya gak aktif...hwaaaa....” Aku menangis lagi.
“Astaga kurang ajar banget tuh cowok. Dia gak bilang apa-apa sama lo?”
Aku menggeleng.
“Sialan... tenang Din.. kita cari tuh cowok, kalo udah ketemu kita kulitin idup-idup.” Kata Andine emosi.
Aku menggeleng. “Udah Ndine.. ini emang salah gue.. gue gak ngikutin saran lo. Gue emang bego.. gue bego udah percaya sama orang yang bahkan ketemu aja gue belum.”
Andine membelai-belai bahuku. “Gue gak bakal nyalahin lo Din... gue ngerti waktu itu lo lagi jatuh cinta. Lo khilaf. Lo juga gak tahukan kalo cowok unyu-unyu itu aslinya brengsek.”
“Tapi gue cinta banget sama dia...”
“Yakin itu cinta? Lo cinta sama orangnya atau sama perhatian-perhatian yang dia kasi?”
Aku diam berpikir. “Dua-duanya.. well lebih ke perhatiaannya sih.. dia itu so sweet banget.”
Andine tersenyum. “Din.. kalo lo butuh perhatian, gue kan ada disini buat ngasi lo perhatian. Mungkin gak sama kayak yang dia kasi. Tapi gue bisa jamin kalo gue gak bakalan ninggalin lo. Kayak yang cowok brengsek itu lakuin ke lo.”
Air matauku meleleh lagi, tapi bukan karena sedih, melainkan terharu karena kata-kata Andine. Dia benar, kalau aku memang butuh perhatian Andine selalu ada untuk memberikannya. Bukan seperti Chandra memang, tapi perhatian yang Andine berikan lebih berarti, perhatian seorang sahabat.
“Makasi ya Ndine.. lo emang sahabat gue yang terbaiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiikkk.” Aku memeluknya erat.
“That’s what friend is for” Andine membalas pelukanku.
“Lo gak sedih lagi kan sekarang?”
“Sedih sih masih ndine.. jujur gue patah hati banget. Tapi yah... time will heal the pain.”
“Nah gitu baru sahabat gue..” Andine tersenyum bangga. “Terus terus... si cowok itu gimana? Lo gak minta penjelasan apa ke dia?”
Aku menggeleng. “Gak deh... biaran aja, ntar kalo gue nyolot dia malah ke ge-eran lagi. Atau lebih parah dia pura-pura gak kenal. Dua kali malu dong gue.”
“Bener juga sih... cowok kayak gitu emang gak pantes diladenin.”
“Iya.. gue juga heran kenapa gue mau aja dikibulin.”
“Soalnya dia itu so sweet banget..” Andine menirukan gayaku.
“Aaaahh udah dong... gue udah cukup dapet pelajaran.. jangan lo ledekin lagi.”
“Hahaha.. iya deh sayang.. maaf... yaudah nonton aja yuk.. daripada lo galau mikirin cowok brengsek itu.”
Aku tersenyum lebar. “Ayay Kapten... tapi lo yang traktir ya...”
Andine mendengus. “Kalo gini aja, semangat.”
“Yah.. kan gue baru putus.. masa lo gak kasian.”
“Iya deh iya.... gue traktir.. buat lo apa sih yang gak.”
“YAAAY” aku memeluknya sekali lagi. Aku memang beruntung punya sahabat seperti Andine. Ketika aku jatuh karena kesalahanku sendiri dia bukannya menghakimi, tapi malah merangkulku dan menyemangatiku untuk melangkah lagi. Cowok bisa datang dan pergi, tapi sahabat selalu di hati!

***



(Pernah dimuat di Tabloid Top Idol Indonesia edisi 41, 30 Agustus-12 September 2012).

Saturday, October 20, 2012

Wake Me Up


Hannah menyandarkan kepala di kusen jendela, menatap iri ke arah taman bermain di bawah. Ini adalah hari pertama musim panas, dan taman bermain itu mulai dipenuhi anak-anak kecil yang berlari kesana kemari, suara tawa mereka menggema dibawa angin, seolah tak terusik oleh teriknya matahari yang mengintip dari balik dedaunan. Dia menghela nafas berat. Ingin sekali dia bergabung dengan mereka. Tertawa riang, menikmati hidup layaknya orang normal, tapi dia tak bisa. Kata normal sudah dihapuskan dari garis takdirnya. Dia tak akan bisa menikmati  hidup bebas seperti dulu lagi.

Suara pintu yang berdecit membuyarkan lamunannya. Seorang laki-laki tampan melangkah masuk, dia menyeret kursi plastik disamping ranjang dan duduk disana.

“Hai...” sapanya pelan.

Hannah tersenyum lembut. “Hai...”

“Musim panas sudah datang, aku harap kita bisa menghabiskannya di pantai, seperti dulu...”

“Kau tak tahu seberapa besar aku menginginkannya juga..” senyum Hanna memudar, digantikan gurat menyesal yang dalam, perasaan bersalah bercokol di hatinya, merasa dialah penyebab James tak bisa menikmati musim panasnya.

“Tapi itu tak masalah...” Lanjut James, “Bersamamu disini, sudah lebih dari cukup untukku.” Dia tertawa pelan, meraih tangan Hanna, mengusapnya lembut.

Sebulir air mata menetes di pipi Hannah. Dia juga sudah merenggut kebahagiaan dari hidup James, dengan segala keterbatasannya, James juga harus ikut terseret ke gelapnya masa depan Hannah. Dia memandang tubuhnya yang berbaring di ranjang. Tubuh itu pucat, berwarna-warni selang medis melingkar disekelilingnya. Selimut yang menutupi dadanya sama sekali tak terusik oleh tarikan nafasnya yang pendek-pendek.

Sudah enam bulan Hannah menjalani hidup seperti ini—bahkan kalau keadaan seperti ini bisa dibilang hidup. Mengambang antara hidup dan mati. Setiap hari dia melihat para dokter dan perawat mengutak atik tubuhnya, ingin mendorong mereka menjauh, tapi dia tak bisa. Tak ada yang bisa dilakukan jiwa tanpa tubuh. Dia hanya menghabiskan waktunya melamun, meratapi nasibnya yang tak akan pernah bisa diubah. Beruntung, setiap hari James, suaminya yang setia itu, yang tidak pernah meninggalkan sisinya walaupun keadaannya seperti ini selalu menemaninya. Mendengar James menceritakan kisah-kisah yang terjadi diluar sana, menjadi hiburan tersendiri bagi Hannah. James sangat ekspresif saat bercerita dan itu membuat Hannah terhanyut kedalamnya. Tapi yang lebih penting baginya adalah, dia bisa melihat wajah James. Mendengar suaranya, tawanya. Hanya itu yang membuatnya bisa bertahan menghadapi semua ini.

James membelai rambut Hannah pelan. Tatapannya tak lepas dari wajah pucat Hannah.

“Kau ingat musim panas tahun lalu?” katanya lirih.

“Tentu saja.. bagaimana aku bisa lupa.” Jawab Hannah walaupun dia yakin James tak mungkin bisa mendengarnya.

“Itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku. Aku merasa hidupku lengkap, ketika bersanding denganmu di altar.” James mengecup lembut cincin yang melingkar di jari manis Hannah. “Aku tak pernah menyangka semua akan jadi seperti ini.”

Hannah menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan isakan yang hampir pecah. Seandainya dia bisa memutar waktu, dia akan kembali ke momen itu. Menyaksikan peristiwa paling membahagiakan dalam hidupnya dan James berulang-ulang. Bahkan kalau bisa, dia akan menghentikan putaran waktu. Dia tak mau menyaksikan semua kenangan indah itu perlahan berubah menjadi mimpi buruk.

“Tapi aku tak pernah menyesalinya, kau tahu. Aku tak pernah menyesali keputusanku untuk menikahimu, karena kau adalah hal terindah yang tuhan berikan untukku.” Hannah bisa melihat kilau air mata menuruni pipi James. Dia menangis, selama ini Hannah tak pernah melihatnya menangis, James tak pernah mau menangis di hadapan Hannah. Bahkan ketika dokter memberitahunya bahwa Hannah menderita penyakit langka, yang sewaktu-waktu bisa merenggut hidupnya, atau ketika akhirnya penyakit itu menang dan membuat Hannah koma sampai sekarang. James selalu berusaha tegar.  Tapi kini, dia bahkan tak berusaha menghentikan tangisnya, melimpahkan segala beban yang selama ini dia rasakan. “Aku hanya berharap aku bisa menggantikan tempatmu. Biar aku yang terbaring disana kau seharusnya bisa bebas dan bersenang-senang.”

Hannah menggeleng kuat, lupa bahwa James tidak mungkin bisa melihatnya.”Tidak... itu tidak boleh terjadi. Aku tak mungkin sanggup melihatmu berbaring lemah disana, hidup hanya dibantu oleh alat-alat itu.”

“Aku tak sanggup melihatmu terbaring lemah seperti ini, hidup hanya dibantu oleh alat-alat itu.” James menggenggam tangan Hannah erat. “aku akan melakukan apapun untukmu Hannah, apapun.”

“Seperti  yang akan aku lakukan kalau kau yang berada diposisiku, James.”

“Dokter memintaku untuk merelakanmu, mereka bilang ini sudah waktunya untuk berpisah, bahwa kau tak mungkin bisa terbangun lagi. Mereka memintaku untuk membunuhmu, baby. Mana mungkin aku bisa melakukan hal seperti itu terhadapmu.” Suara James hilang ditelan isakan, sejalan dengan air mata Hannah yang terus mengalir. “Jadi aku katakan pada mereka. ‘Tunggu dan lihat saja! Istriku akan sembuh, dia akan segera sadar, dan saat itu baru kalian tahu ada yang namanya keajaiban!’”.

“Mungkin mereka benar James, mungkin ini saatnya mengucapkan selamat tinggal.”

“Aku tak mungkin bisa kehilanganmu. Kau hidupku. Kau satu-satunya yang aku miliki. Aku tak mungkin bisa.”

“Kau harus mencoba.. cepat atau lambat, kau memang harus merelakanku.”

“Kadang aku berharap ini semua hanya mimpi buruk. Dan nanti ketika aku terbangun, aku menemukanmu di pelukanku, seperti hari-hari yang lalu saat kita masih berdua. Aku rela dihantui mimpi buruk seumur hidupku asalkan ketika aku terbangun kau ada disisiku.”

Hannah memalingkan wajahnya, tak sanggup lagi melihat ataupun mendengar kata-kata James. berbagai kenapa berputar di otaknya. Kenapa dia yang harus mengalami hal seperti ini? Kenapa Tuhan memperlakukannya secara tak adil? Kenapa dia harus menyeret James kedalam kehidupannya? Tapi tak ada yang bisa Hannah lakukan untuk merubah keadaan. Tak ada gunanya meratapi nasi yang sudah menjadi bubur.

Kesunyian menyelimuti mereka selama beberapa saat. Sampai kemudian pintu kamar diketuk, James menghapus sisa air matanya kemudian membukannya. Seorang perawat setengah baya yang Hannah kenali bernama Claire beranjak masuk.

“Maaf, waktu besuk anda sudah habis.” Katanya.

James mengangguk, dia mengecup kening Hannah lembut, kemudian berbisik. “Aku akan kembali lagi besok.”

Lau dia keluar kamar. Hannah menutup matanya, bersandar pada tembok dingin, sementara Claire sedang menyuntikkan sesuatau pada tubuhnya di ranjang.

“Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.” Katanya lirih.

***