Saturday, May 11, 2013

White Rose (Part 5- End)



Aku bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya. Berharap James akan menyambutku dengan ciuman selamat pagi. Tapi ternyata dia bahkan belum pulang.

Aku baru selesai membereskan bekas makan Fox saat mendengar suara mobilnya. Diikuti Fox yang berlari girang aku membuka pintu untuknya. Tapi kejutan menyambutku begitu pintu membuka.

Seorang gadis pirang, lebih tinggi beberapa senti dariku—karena sepatu hak super tinggi yang dipakainya. Memakai blouse biru cerah dan skinny jeans, tersenyum padaku begitu pintu mengayun terbuka.

Gelombang sakit hati langsung menghantamku. Ngapain James membawanya kesini?!

“Hey babe.” James menyeruak masuk, mencium keningku sekilas. “Ini Halston,” katanya menunjuk gadis itu. Yeah kayak aku tidak tahu saja. “Dia terpaksa ikut kemari karena tadi ada papparazi yang mengikuti kami.”

“Hay Rose..” Halston mengulurkan tangannya padaku, “senang bertemu denganmu akhirnya.”

Aku menyambut uluran tangannya. Memaksakan wajahku yang kaku untuk tersenyum, “yeah kau juga.”

Dia tersenyum manis sekali. Hampir sama seperti senyum memuakkan yang sering diberikan Mark padaku.

James membawanya masuk. Menyuruhnya bersantai di sofa.

“Anggap saja rumah sendiri. Aku akan mengantarmu pulang nanti, setelah aku mandi.”

“Oh tak perlu.” Kata Halston manja, “aku akan menelepon supirku dan menyuruhnya menjemput disini.”

“Baiklah, begitu lebih baik. Nah aku mandi dulu ya, ladies.” James tersenyum sopan ke arahnya. Jelas sekali dia tak mau berlama-lama berada di antara aku dan Halston. Dia kabur ke kamar mandi setelah sebelumnya memastikan Fox baik-baik saja.

Kecanggungan yang menjalar diantara aku dan Halston benar-benar tak mengenakkan. Untungnya Fox masih disana. Dia—yang memang selalu ramah kepada siapaun—menatap Halston penuh harap, seakan-akan gadis itu punya sekaleng biskuit yang disembunyikan di tasnya.

“Oh manisnya.” Halston mengelus-elus Fox. “Aku juga punya dua anjing dirumah. Milik saudariku sih, tapi dia sering tinggal bersamaku.”

“Eh...” aku tergagap tak tahu harus menjawab apa terhadap kata-katanya. “Yah James sayang sekali padanya.”

“Tak heran, aku juga pasti akan sayang banget sama anjing imut ini.” Dia mengatakannya seolah-olah hal itu sudah sangat jelas dan aku bodoh karena berkomentar seperti itu.

“Kau mau minum?” tawarku, tak tahu lagi apa yang harus aku katakan.

“Tak perlu repot-repot. Kalau aku haus akan aku ambil sendiri.”

“Oh oke.”

“Uhm Rose?” dia menatapku.

“Ya?” kataku mengawasinya.

“Aku cuma mau bilang, sorry untuk segala hal yang terjadi antara aku dan James. Aku ngerti kok kalau kau cemburu.”

Oh baguslah kalau kau mengerti. Kataku dalam hati.

“Tak apa kok. Lagian itu bukan salahmu.”

“Tapi kau tak perlu khawatir, aku dan James tidak berbuat yang aneh-aneh kok. Aku tak berani. Sudah liat komentar-komentar di twitter tentangku? Wah fans-fansmu ganas sekali ya.” Dia terkikik seperti anak kecil.

“Mereka hanya mencoba melindungiku.” Kataku datar, tak suka kalau fansku dijelek-jelekkan.

“Ya aku tahu. Tapi kau seharusnya bisa lebih mengontrol mereka. Jangan sampai mereka seperti sekumpulan manusia barbar yang tak tahu sopan santun.”

“Maaf, aku harus ke atas sebentar.” Kataku memotong Halston. Karena kalau aku bertahan bahkan semenit saja mendengar ocehannya. Aku tak bisa menjamin dia akan pulang dengan wajah mulus. Tak ada yang boleh menghina fansku. Tanpa menunggu persetujuannya. Aku langsung meninggalkannya, menyusul James di kamar.

James sudah selesai mandi begitu aku masuk. Dia sedang berdiri di depan lemari, memilih-milih baju hanya mengenakan selembar handuk untuk meutupi tubuhnya. Aku membanting pintu kesal, biar saja Halston mendengarnya.

“Kau ngapain bawa-bawa dia kemari sih? Gak bisa ya kau tinggalkan saja dia di pinggir jalan.”

James yang sepertinya sudah mengantisipasi kemarahanku, dengan tenang menjawab.

“Tak bisa dong. Kan kita ceritanya sedang dekat sekarang.”

Aku mendengus kesal, membanting diri di ranjang.

“Ayolah babe, dia tak seburuk itu kok.”

“Oh ya? Coba saja kau dengar bagaimana dia menjelek-jelekkan fansku. Aku pengen menggorok lehernya rasanya.”

James hanya geleng-geleng kepala, mengambil baju dari lemarinya dan mulai memakainya.

Aku menontonnya berpakaian, setengah melamun membayangkan tubuhnya yang seksi.

Dia menyeringai melihatku, “menikmati pemandangan ya kau?”

Walaupun masih kesal aku tak bisa menyembunyikan cengiranku, “yah kau terlalu indah untuk diacuhkan.”

Dia melepas handuknya, lalu dengan gerakan perlahan dan sensual memakai boxernya. Aku dibuatnya gemas, ingin aku langsung menariknya, berjongkok di depannya, membuatnya mendesah namaku. Tapi aku mengurungkan niat. Masih ada ular berbisa yang harus diurus di bawah sana.

James mengangkat sebelah alis melihatku, “ku benar-benar tak mau nih?” dia mengoyang-goyangkan pinggulnya.

“Nanti James. Sekarang aku benar-benar gak mood.”

Dia memakai jeans nya kemudian duduk di sampingku.

“Kau mau aku bersikap bagaimana?” tanyanya lembut.

“Entahlah. Tak ada, aku cuma benar-benar lagi bad mood sekarang.”

James menggenggam tanganku.

“Mark bilang, kalau aku bisa merampungkan albumku dalam sebulan dan memberikannya satu hit single dia akan menghentikan semua sandiwara ini.”

James menatapku tertarik “Itu berita bagus dong. Kau sudah tahu lagu mana yang akan kau jadikan single?”

Aku balas menatapnya, “sudah.” Aku menggaguk mantap.

“Bagus, jadi aku tak perlu menghadapi Rose yang cepat ngambek seperti ini.” Dia mencubit hidungku pelan.

Aku tertawa, “dan aku tak perlu melihatmu pulang membawa gadis lain lagi.”

“Ngomong-ngomong soal itu, sebaiknya kita turun. Aku tak mau dia menyusul kita kesini” James mearik tangaku keluar. Setengah hati aku mengikutinya. Aku juga tak mau dia naik kemari dan menginvasi kamar tidur kami. Well yeah kamar tidur James lebih tepatnya.

***

“Hey aku sudah menelepon supirku, dia akan menjemput sebentar lagi.” Seru Halston begitu aku dan James kembali.

“Bagus deh.” James tersenyum, “oh astaga, lancang sekali aku. Hals kau mau minum?”

“Aku sudah menawarinya tadi, tapi dia bilang gak perlu repot-repot.” Aku baru mau mengatakan itu, tapi Halston mendahuluiku.

“Tentu James. Kopi bolehlah, aku tak biasa minum-minuman keras pagi-bagi begini.” Lagi-lagi dia mengeluarkan kikikan anak kecilnya.

Aku menatapnya tak percaya. Apa yang terjadi dengan “Tak perlu repot-repot. Kalau aku haus akan aku ambil sendiri.”? Kenapa dia berubah begitu manis di depan James?

Oke aku mungkin terlalu berburuk sangka. Mungkin saja dia tak enak kalau menolak tawaran tuan rumah kan. Bagaimanapun aku bukan tuan rumah yang sah disini, jadi dia tak merasa terlalu bersalah ketika harus menolak kesopananku.

James tersenyum, kemudian beranjak ke dapur. Aku mengekor di belakangnya, tak mau ditinggal berdua saja dengan Halston.

“Kau tahu aku sudah menawarinya tadi, kan?” desisku, saat karena kami di dapur.

“Oh ya?” jawab James acuh, sambil menyalakan mesin pembuat kopi.

“Yeah dia bilang ‘tak usah repot nanti aku ambil sendiri’” aku menirukan gaya Halston.

“Mungkin dia berubah pikiran.” James memandangku tak sabar, “ayolah babe, jangan berprasangka begitu. Halston itu baik. Kau terlalu cemburu sehingga tak bisa melihatnya.”

Aku mau membantah, tapi mengurungkan niat. Yah James benar, aku mungkin saja terlalu dibutakan kecemburuan sampai tak bisa melihat sisi baik Halston. Dan lagipula kalau dipikir baik-baik, dia tak pernah sekalipun bersikap kasar padaku—kecuali menghina fansku, yang untuk saat ini bisa aku maafkan karena terkadang fansku memang keterlaluan—justru sebaliknya dia bersikap atau setidaknya mencoba, bersikap bersahabat kepadaku.

Ciuman James menarikku dari lamunan. Dia menciumku pelan dan lembut, seolah-olah menenangkan.

“Santai, oke.”

Aku mengangguk.

James membawa tiga cangir kopi kembali ke ruang tamu. Dia duduk di sofa berhadapan dengan Halston, dan aku duduk di sebelahnya. Fox langsung melompat ke pangkuan James.

Kami mengobrol—atau lebih tepatnya James dan Halston yang mengobrol, aku cuma sesekali ikut—hampir satu jam lamanya—yeah aku menghitung bahkan ke menit dan detiknya—sampai kami mendengar suara mobil di luar.

“Oh itu pasti sopirku.” Halston bangkit dengan anggun.

James dan aku ikut mengantarnya keluar. Dia mencium kedua pipi James sebelum masuk ke mobil, tapi padaku dia hanya melambai. Aku mencoba sekuat tenaga menahan dengusan. Tak bisa tak mengambil kesempatan rupanya dia.

“Nah dia sudah pergi.” James merangkulku kembali masuk k rumah. “Sekarang kau bisa tersenyum lagi.” Dia menggodaku.

Tapi aku tak tersenyum.

James menghela nafas. “Sini biar aku hibur kau.”

Dia menarikku ke pianonya, mengajakku duduk di sebelahnya.

Perlahan dia memainkan sebuah lagu.

High dive into frozen waves
where the past comes back to life
Fight fear for the selfish pain
And it's worth it every time
Hold still right before we crash
Cause we both know how this ends
our clock ticks till it breaks your glass
And I drown in you again

Cause you are the piece of me
I wish I didn't need
Chasing relentlessly
Still fight and I don't know why

If our love is tragedy why are you my remedy
If our love's insanity why are you my clarity

walk on through a red parade
And refuse to make amends
It cuts deep through our ground
And makes us forget all common sense
Don't speak as I try to leave
Cause we both know what we'll choose
If you pull, then I'll push too deep
And I'll fall right back to you

Berhenti sebentar menatapku dalam-dalam.

Cause you are the piece of me
I wish I didn't need
Chasing relentlessly
Still fight and I don't know why
If our love is tragedy why are you my remedy
If our love's insanity why are you my clarity

Aku terharu, benar-benar terharu sampai tak bisa mengucapkan apapun. Lagu itu, permainanya, tatapan matanya begitu indah. Semua kekesalan, kemarahan, kecemburuanku lenyap tak berbekas.

Aku memeluknya, terisak di dadanya.

“Hey kenapa menangis?” James membelai punggungku.

“Aku... Kau... lagu itu manis sekali.” Aku menggumam tak jelas.

Dia mendekapku lebih erat. “Kau tahu seberapa besar aku mencintaimu, Rose. Bahkan lagu cinta paling romantis sekalipun tak bisa mewakilinya. Cintaku terlalu dalam, terlalu indah, terlalu tulus untuk dilukiskan dengan kata-kata.”

“Oh James..” aku terisak makin kencang, membasahi bagian depan kausnya dengan air mataku.

“Aku cuma minta kau percaya padaku, seperti aku mempercayaimu. Aku tak mau kau terlalu cemburu, itu membuatku merasa kau tak mempercayaiku dengan tulus.”

“Aku percaya.” Kataku, “maaf aku tak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku memang bodoh.”

“Kau tidak bodoh sayang. Aku mengerti, kau takut kehilanganku. Dan jujur saja aku menikmatinya. Tapi aku juga tak mau kau cemburu terus-terusan sampai bersikap agak yah menjengkelkan. Kau tahu, aku tak akan pernah bisa mencintai orang lain selain dirimu.”

Aku tersenyum, mengangkat wajahku memandangnya.

Dia mencium bibirku lagi. Sama sekali tak keberatan dengan pipiku yang basah karena air mata.

“Mau main? Aku butuh belaian.” Dia menyeringai nakal.

Aku tertawa tertahan, “apapun. Aku siap memuaskanmu.”

Dan dengan begitu dia menggendongku ke kamar.

***

Studio.

Aku sudah punya lagu bagus yang benar-benar menggambarkan kondisiku saat ini, untuk direkam. Toby, produser musik dan sekaligus kepada siapa aku berkonsultasi tentang pembuatan lagu, mengamati secarik kertas yang penuh dengan corat-coret lirik lagu baruku.

“Kenapa ya aku merasa kau menyindir Mark cs di lagu ini.” Dia menatapku menahan senyum.

“Memang.” Sahutku enteng, “lagu itu juga buat James.”

“Jadi lagu ini yang akan kau jadikan single pertama? Bukan lagu yang satunya?”

Aku mengangguk mantap, “dan nama albumnya juga kuganti.”

“I see...” Toby menggumam. “Kau tahu ini salah satu penyebab kenapa kau jadi favoritku. Kau tak takut bertindak, tidak melulu mengikuti apa yang mereka suruh padamu. Kau punya style.”

“Ah.. Toby terimakasih. Dan kau produser favoritku juga.”

“Aku tahu.” Dia tertawa, “jadi langsung rekaman?”

“Yap.” Aku masuk ke bilik rekaman dengan semangat. Memasang headphone rapat-rapat.

“Kau beri judul apa lagu ini?”

Aku mendengar suara Toby dari headphone yang aku kenakan.

“White Rose.” Kataku ke microphone di depanku. “White Rose.”

Toby mengangkat jempolnya sebagain jawaban. Setelah menghitung 1,2,3 tanpa suara, musik terdengar, dan aku mulai bernyanyi.

***


“Aku benar-benar tak sabar untuk kalian mendengarnya. 2 hari lagi #WhiteRose.”

Begitu tulisku di twitter. Fansku—yang walaupun masih saja mengungkit-ungkit masalah Aku, James, Jesse, dan Halston—terlihat sangat gembira menyambut kabar ini. Cepat saja hashtag itu menjadi trending topik di twitter. Aku tak bisa menyembunyikan cengiranku. Akhirnya setelah berhari-hari menghilang dari twitter aku bisa kembali dan menyampaikan kabar gembira, bukannya kabar bohong.

Mark sudah kuberi tahu soal ini dan dialah yang mengatur agar single pertama dari album keempatku ini dirilis dua hari lagi. Dia sudah mendengar demoku tentu saja, tapi tak menunjukkan ekspresi tersinggung sama sekali walaupun jelas-jelas aku menyindirnya di lagu itu—Taylor yang aku beritahu tentang ini semua bersorak senang. “Biar tahu rasa mereka. Oh aku tak sabar mendengarnya. Bisa kau kirimkan aku demonya babe?”—Mark hanya tersenyum cerah dan tak henti-hentinya berkata “Fantastis... fantastis...”

“Kau tak lupa janjimu kan. Lagu ini menjadi hit dan kau menjauh dari kehidupan cintaku.” Aku mengingatkannya.

“Tentu.. Tentu..” dia mengangguk-angguk senang. “Tapi sebelum itu satu skenario lagi, yah sekedar untuk menaikkan peminat di lagumu.”

Aku menyipit curiga memandangnya, perasaanku langsung tak enak. “Apa maksudmu?”

“Aku sudah mengatur agar foto James dan Halston berciuman tersebar di internet.” Dia mengatakannya dengan nada biasa, seolah-olah membicarakan cuaca cerah diluar.

“Kau APA???” Aku tak bisa menahan jeritanku. Tanganku sudah di tengah jalan untuk mencekik lehernya sebelum aku menariknya kembali.

“Santai saja, Rose. Memangnya James tidak menceritakannya padamu?”

Aku menggeleng, kehabisan kata-kata.

“Oh well.. tapi aku sudah bilang kan.” Dia mengedikkan bahu.

Aku memilih meninggalkannya. Sebelum aku benar-benar mencekiknya dan membuat keadaan semakin buruk.

James berusaha meneleponku setelah aku mengiriminya sms;

“bgmn ciumannya? Pasti asyik ya!”

Tapi aku tak mengangkatnya. Tak juga membalas sms balasannya. Dia memohonku agar aku mau bicara dengannya tapi aku tak menggubris. Sampai malam ini. Aku yakin dia masih mencoba menghubungi ku disela-sela syutingnya, tapi aku mematikan handphoneku.

Aku tahu, tak benar marah padanya. Sekali lagi ini bukan salah James. Tapi aku tak bisa mengenyahkan gambaran James berciuman dengan cewek itu—aku sudah melihatnya di internet. Bagaimana James memeluk pinggangnya yang ramping, menekankan tubuhnya pada tubuh Halston, menciumnya dengan nafsu yang terlihat jelas. Ugh bahkan mengingatnya saja membuatku jijik setengah mati.

James pacarku. Milikku. Tak boleh ada yang menciumnya selain aku.

***

Aku sedang membuat teh pagi itu ketika mendengar pintu apartemenku dibuka dan sesorang melangkah masuk. Belum sempat aku mengambil sesuatu untuk membela diri—karena siapa tahu itu pembunuh maniak yang siap mencincangku kan—orang itu sudah berdiri di belakangku.

“Kau tahu kau tak bisa menghindariku selamanya,kan?” kata James dingin.

Aku membeku di tempatku, membelakanginya. Sial aku lupa dia punya kunci cadangan.

“Rose..” tuntut James karena aku tak membalas kata-katanya. Dia mendekat ke arahku, membalikkan badanku agar berhadapan dengannya. Tapi aku menunduk, menghindari kontak mata.

“Rose... kau gak bisa diam terus. Kita harus bicara.”

Aku bergeming.

“Demi Tuhan Rose.” James mencengkram lenganku. Membuatku mendongak menatapnya, dia kelihatan sangat lelah. Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya. Dia pasti belum tidur sama sekali.

“Kau kenapa sih? Gak bisa ya kita bicara baik-baik? Aku sengaja memberikanmu waktu semalaman untuk menenangkan diri, menjernihkan otakmu. Dan kau masih seperti ini juga?”

“Kau menciumnya.” Desisku.

“Karena aku disuruh!” James kelihatan mulai habis sabar. “Kapan sih kau bisa mengerti kalau semua itu tidak nyata. Aku tidak menyukai Halston. Kapan kau berhenti cemburuan seperti ini. Katanya kau percaya padaku!” serunya gusar.

“Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya? Kenapa aku harus tahu itu semua dari Mark?” Balasku sengit.

“Karena aku tahu kau bakalan ngambek seperti ini. Kau pasti gak mau mendengar—“

“Oh jadi menurutmu, lebih baik aku tahu sendiri dan tiba-tiba saja melihat fotomu berciuman dengan cewek lain tersebar di internet begitu.” Aku memotong, “kaukira begitu lebih baik?”

“Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya—“

“Tentu saja kau tidak bermaksud begitu.” Aku mendengus.

“Kenapa kau jadi menyalahkan semuanya padaku sih? Kalau bukan karena publicist mu yang kurang kerjaan itu hubungan kita tak akan menjadi serumit ini!” balas James sinis.

“Jadi sekarang kau menyalahkanku?”

“AKU TIDAK MENYALAHKANMU!” dia menghardik. Aku terperanjat mendengar nadanya, belum pernah aku melihat dia marah seperti ini.

“Aku tidak menyalahkanmu, oke.” James melanjutkan, dengan suara yang lebih lembut. “Hanya saja, kau terus-terusan marah padaku atas semua ini. Ini tak adil buat ku tahu. Aku juga tak menginginkan ini semua, aku juga korban disini. Dan kau seolah-olah melimpahkan kesalahan padaku.”

Aku memalingkan wajah, tak sanggup memandangnya. Dia benar. Ini tak adil buatnya. Ini bukan salah James, seperti yang sering aku katakan pada diriku sendiri. Tapi aku terlalu marah untuk mengakuinya.

“Kau bilang kau percaya padaku, ingat? Aku mau pembuktian dari kata-katamu, Rose.”

Aku masih terdiam.

“Baiklah.” James melepas cengkramannya, karena tak ada tanda-tanda aku akan membalasnya. “Terserah kalau memang begitu maumu.”

Dia melangkah pergi.

“Kau mau kemana?” kata-kata itu meluncur tanpa bisa kutahan, ketika dia sudah hampir melangkah keluar.

“Pulang. Aku tidak diharapkan disini.”

Tatapan sakit hatinya menyayat hatiku, tapi aku tak bisa menahannya karena tanpa menungguku mengucapkan apa-apa lagi dia menutup pintu, meninggalkanku menyesali kebodohanku sendiri.

***

Hampir 48 jam dan laguku masih bertahan di peringkat pertama iTunes chart sebagai lagu yang paling banyak di download. Dan juga mulai merangkak naik di chart-chart musik lainnya, juga di radio-radio.

Mark, Rachel, Toby, dan selusin orang lain yang bergabung dalam tim ku sedang berpesta di ruang rapat kantor Mark, menyesap wishkey dengan wajah puas. Tapi aku tak tertarik bergabung. Oh aku senang tentu, karena laguku bisa sukses seperti itu, Mark mendapatkan apa yang dia inginkan—artinya aku tidak harus berurusan dengan kebohongannya lagi—dan juga tak lupa berterima kasih kepada fansku. Banyak teman-teman artisku yang sudah mengucapkan selamat, termasuk Kendall, Logan dan Carlos, tanpa James.

Yah, aku belum berbicara lagi dengannya sejak saat itu. Dia tak pernah mencoba menghubungi ku, dan aku takut untuk menghubunginya duluan. Aku takut kalau dia malah mengatakan bahwa hubungan kami sudah berakhir dan dia tak mau aku mengganggunya lagi. Tidak, aku tidak bisa.

“Rose honey mari sini, nikmati kemenanganmu, nikmat uang yang mulai sekarang akan mengalir ke kantongmu.” Mark memanggilku dari kursinya, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. Mukanya bersemu merah karena mabuk.

Aku hanya memutar bola mata melihatnya.

“Aku mau pulang.” Kataku bangkit mengambil jaketku yang disampirkan di dekat pintu.

“Pulang? Kenapa cepat sekali sayang. Kita baru saja mulai.” Mark cegukan.

“Tidak, aku sedang tidak ingin berpesta, Mark. Yuk semua.” Aku melambai pada orang-orang disana, yang hanya mengangguk menanggapi ku. Kemudian keluar menuju mobilku. Tak ada yang lebih aku inginkan selain berendam di air hangat lalu naik ke tempat tidur.

Aku terkejut begitu membuka pintu, menemukan sebuket besar mawar putih tersusun indah di meja. Aku mengangkat buket itu, mencium mawarnya. Wangi. Dan disana, terselip di antara mawar, selembar kartu yang juga berwarna putih.

“I’m tired of people telling me what is right and what is wrong,
‘cause baby when I’m with you there’s only love
So I give you this White Rose
To tell you that I’m always yours.”

Itu sepenggal lirik dari lagu baruku, tertulis rapi dengan tulisan tangan yang sudah sangat kuhapal.

“Aku bangga padamu.”

Seseorang berkata di belakangku. Aku berbalik cepat sekali, lalu berlari memeluknya.

James menyambutku hangat. Dirangkulnya diriku, mengangkatku sedikit lalu kami berputar pelan. Tertawa.

“Oh James... James... James...” senandungku, menciumi setiap senti wajahnya. “I miss you so much!”

“I miss you too baby.” Dia menurunkanku, “lebih dari yang bisa kau bayangkan.”

“Maaf.. Maaf atas semuanya. Semua salahku, aku memang bodoh aku gak seharusnya marah sama kamu. Aku—“

Dia memotongku dengan ciuman. Dalam dan panas. Ciuman kami, ciuman lembut dan basah yang sangat kurindukan.

“Lupakan.” Engahnya, ketika akhirnya bibir kami terpisah, “lupakan semua. Aku tak mau mengingat-ingatnya lagi.”

Aku tersenyum. Bibirku kesemutan di tempat tadi dia menghisapnya, panas karena ciumannya.

“Kau milikku.” bisikku pelan.

“Milikmu.” Ulangnya.

“Selamanya.”

“Selamanya.”

Dan James menciumku lagi, seolah-olah sedetik saja yang dihabiskan tanpa menempelkan bibirnya di bibirku adalah waktu yang terbuang sia-sia.

“Mereka datang sebentar lagi.” Gumamnya tak jelas disela-sela ciumannya.

“Siapa?” bisikku.

Tapi belum sempat James menjawab, gedoran di pintu menginterupsi kami.

“Yooo Rosie buka pintu.” Aku mendengar suara Logan, “cepat-cepat pakai baju atau kami akan mendobrak.”

Aku tertawa geli mendengarnya, James melepaskan ku. Merapikan pakaiannya sebentar kemudian beranjak membuka pintu.

“Hay, kuharap kami tidak mengganggu.” Cengir Carlos nyelonong masuk.

“Oh pakaian kalian masih lengkap? Kukira sudah tercerai-berai kemana-mana.” Kata Logan menyusul Carlos.

Aku mendelik kearahnya, “ kalian ngapain disini?!”

“Pesta Rose.” Kendall melambaikan selusin bir kaleng di tangannya, “kau tak berpikir untuk merayakan single mu sendirian kan.”

Aku menatap James, dia mengangkat bahu seolah berkata “Aku kan tak bisa mencegah mereka.”

Tapi toh aku tak keberatan, aku juga kangen mereka.

James duduk di samping Logan di sofa dan aku duduk di bawah, bersandar di kaki James.

“Kau kemana saja Rose. Scott nitip salam, katanya set sepi tanpamu.” Kata Kendall sambil membagi-bagikan bir. Scott adalah produser serial tv mereka, yang sering aku dan Logan kerjai kalau aku berkunjung ke lokasi syuting mereka.

“Dan aku kalah terus main spit ball dari Dustin. Mereka bersekongkol melawanku, dan kau tidak ada untuk membelaku.” Dia menunjuk teman-temannya yang terkekeh geli. Aku ikut terkekeh.

“Ya maaf deh, aku kan sibuk. Ngomong-ngomong soal Dustin, mana dia?”

“Oh dia datang.” Kata Carlos sambil memasukkan kaset dvd ke pemutarnya, Les Misérables. “Tapi dia masih ada urusan.”

Aku mengangguk. Perasaanku benar-benar bahagia sekarang. Aku bahkan tak keberatan saat Kendall dan Logan mulai mengotori karpet dan sofaku dengan melempar-lempar makanan. Pacarku sudah kembali, tak ada lagi Mark yang akan menggangu hubungan kami. Disinilah tempat seharusnya aku berada, dikelilingi orang-orang yang aku sayangi.

***


FIN


~Comment pleaseeeee :)~

White Rose (Part 4)



“Morning sunshine.” Sebuah suara berbisik di telingaku.

Aku tersenyum, bahkan sebelum membuka matapun aku tahu siapa pemilik suara itu.

“Hai..” kataku serak, membuka mata perlahan.

James balas tersenyum kepadaku, sebelah tangan menopang kepalanya. Dia hanya memakai singlet putih, memperlihatkan otot-otot lengannya, seksi.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku sambil menguap.

“Setengan tujuh.” James melirik jam beker di samping tempat tidur.

“Jam berapa kau pulang semalam?”

“Sekitar jam dua.”

“Kenapa tak membangunkanku?”

“Aku tak tega, kau tidur nyenak sekali sih. Bahkan Fox saja tak tega membangunkanmu.”

Dan seolah-olah sudah diberi ijin, Fox melompat ke arahku, dijilatnya leherku penuh sayang, sebelum mendengkur damai di dadaku.

“Ah.. dan sekarang dia mencuri ciuman selamat pagiku.” James mendesah kemudian menempelkan bibirnya di bibirku.

Aku terkikik geli. Menariknya sekali lagi, menciumnya lebih dalam.

“Itu ciuman selamat pagi dariku.”

Dia nyengir, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahku.

“Hari berat kemarin?” tanyanya pelan.

Senyum diwajahku langsung hilang. Sekarang saat aku berada disini, bergelung nyaman di pelukannya, kejadian kemarin serasa seperti mimpi buruk. Tapi tentu saja itu bukan mimpi. Dan akan berlanjut entah sampai kapan.

James agaknya menyadari perubahan wajahku. Dia mendekatkan posisinya, memeluk ku dan Fox—yang masih santai di dadaku, dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang satunya disusupkan ke bawah kepalaku sebagai bantal.

“Kau sudah baca beritanya?” kataku, melarikan jemariku di dada bidangnya.

James mengecup puncak kepalaku sebelum menjawab, “yah tak perlu repot-repot membaca situs-situs gosip itu, twitter sudah dengan baik hati menceritakan semua padaku. Dan rupanya saat ini aku sedang jadi cowok brengsek nomor satu di dunia.” Dia terkekeh pelan.

“Kau bukan.” Kataku tegas, menatap matanya. “Kau cowok termanis, terlembut, teromantis yang pernah aku kenal.”

James menciumku lagi. “Aku tahu, dan aku tak peduli apa yang mereka pikirkan tentangku. Aku hanya peduli apa yang kau pikirkan tentangku. Itu cukup.”

Hatiku hangat mendengar kata-katanya, rasa sayangku padanya semakin bertambah.

“Aku cinta kamu.” Bisikku mesra.

“Seperti aku mencintaimu.” Dia membalas, dan bibir kami kembali bertemu. Rasanya tak akan pernah puas aku meggulum bibir tipisnya. Setiap ciuman selalu membawa sensasi berbeda. Selalu membuat perutku bergejolak seperti ada ribuan kupu-kupu yang terperangkap. Langit bisa saja runtuh saat ini dan aku tak peduli. Karena aku sedang bersamanya.

“Kau tak sedang buru-buru?” tanyaku saat bibir kami sudah menjauh.

Dia menggeleng, “kau?”

“Sepertinya tidak. Mau kubuatkan sarapan?”

“Hanya orang bodoh yang menolak.”

Aku tertawa,  “okay, aku mandi dulu.” Lalu bangkit dan menyerahkan Fox pada James

“Mau berhemat air dan mandi bersama?” tanya James penuh harap.

Aku menggeleng, “mungkin lain kali.” Mengedipkan sebelah mata padanya, lalu beranjak ke kamar mandi.

***

“Hey sarapan sudah siap.” Setengah jam kemudian aku melongokkan kepala ke dalam kamar mandi yang sekarang sedang digunakan James.

“Sebentar lagi.” Sahutnya. Dia sedang berdiri di depan wastafle, hanya mengenakan handuk yang dililitkan di bawah pinggangnya, dagunya diselimuti krim cukur. Melihat ini timbul niat isengku.

“Sini biar aku saja.” Aku merebut pisau cukur dari tangannya.

Dia mengangkat sebelah alis, heran. “Kau bisa?”

“Tentu.” Aku mengangguk mengiyakan.

Dia terlihat ragu sebentar, tapi kemudian menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku mulai menggerakkan pisau cukur otomatis itu di rahangnya, perlahan dan lembut. Tak ingin menyakitinya.

Pekerjaanku sudah hampir selesai, saat tiba-tiba James meringis kesakitan. Aku menarik tanganku darinya dan melihat cairah merah mengalir keluar.

“Oh astaga..” kataku panik. “Oh Tuhan.... Oh Tuhan.”

James membasuh sisa krim cukur dari wajahnya. Dan darah itupun menghilang, tapi ada luka kecil—tak lebih dari setengah senti—di rahang kirinya, luka itu sudah tak mengeluarkan darah lagi. Tapi aku masih tetap panik.

“Oh astaga James maafkan aku. Aku tidak sengaja. Oh bodohnya aku.” Cerocosku panik

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” Kata James menenangkan, dia mengambil handuk dan mengeringkan wajahnya.

“Tapi kau terluka, ini salahku. Seharusnya aku tadi tidak sok-sokan seperti itu.”

“Tidak apa-apa sayang, hal seperti ini sering terjadi kok.” Dia tersenyum, mengecup keningku lembut.

“Tapi wajahmu..” kataku masih khawatir.

“Tenang saja. Dengan sedikit polesan make up ini bahkan tak akan terlihat di kamera.”

Hatiku sedikit tenang. Well setidaknya luka itu tak separah yang dulu tak sengaja dia lakukan pada dirinya sendiri.

“Tapi bagaimanapun.” Lanjutnya setelah terdiam sebentar, “kau harus membayar untuk ini.”

Aku memandangnya bingung, “Apa yang—“

Tiba-tiba dia sudah mengangkatku, menggendongku keluar, kemudian merebahkanku di ranjang.

“James...” erangku melihat sorot nafsu di matanya, “sarapannya.”

“Itu bisa menunggu. Sekarang aku ingin menikmati makanan pembuka dulu.” Lalu dia menerkamku.

***

“Okay.. baiklah, yeah aku mengerti. Tenang saja aku tahu apa yang harus dilakukan. Tidak tidak perlu ikut. Ya. Okay. Sampai jumpa disana.”

James mematikan teleponnya, terlihat kesal. Aku memperhatikan gerak-geriknya dari dekat bak cuci piring, kami baru selesai sarapan saat dia menerima telepon itu.

“Siapa?” tanyaku.

“Manajerku.” Dia berusaha terlihat biasa saja, tapi aku tahu dia salah tingkah. “Mereka memintaku untuk, uhm, menjemput Halston sekarang, sebelum ke studio.”

Hatiku mencelos.

“Oh.” Hanya itu yang bisa aku katakan.

“Kau tak marah kan?” dia menatapku seksama, menyelidiki ekspresiku.

“Tidak, tentu saja tidak. Aku mengerti kok.” Aku memaksakan senyum. Bukan James yang salah. Dia DISURUH menjemput cewek itu, untuk memperkuat skenario mereka. Lagian dia hanya menjemput. Tak akan terjadi apa-apa, benar kan?

James tiba-tiba memelukku, aku bahkan tak menyadari kehadirannya.

“Aku tak akan macam-macam. Aku hanya disuruh menjemputnya, mereka sudah memastikan papparazi akan menguntitku mulai sekarang. Kau tak perlu khawatir.” Katanya seolah-olah membaca pikiranku.

Aku membalas pelukannya tapi tak mengatakan apapun.

“Kau harus ada di rumah saat aku pulang nanti okay.” Perintahnya, seolah-olah rumahnya sudah menjadi milik kami bersama. Padahal aku masih punya apartemen; yang jarang aku tempati sih, karena sejak James membeli rumah ini aku selalu menghabiskan malam disini bersamanya.

Aku mengangguk, mengantarkannya sampai depan pintu.

Fox mengonggong bersemangat mengikuti kami.

“Tidak Fox.” James meraih anjing mungil itu, “hari ini kau dirumah, temani mommy. Jadi anak baik.” Katanya seakan-akan Fox itu anak kecil bukannya anjing.

Dia menyerahkan Fox padaku, memberikan ciuman perpisahan pada kami berdua lalu masuk ke mobilnya.

“Nah Fox sekarang hanya ada kau dan aku.”

***

Tak mengherankan beberapa jam kemudian, saat aku mengecek twitterku. Foto James dan Halston sudah berhamburan. Dari foto mereka saat baru keluar dari mobil James sampai saat mereka bergandengan tangan memasuki studio. Dan bagian ini benar-benar menyulut amarahku.

Okelah mereka cuma bergandengan tangan. James sering bergendengan tangan dengan teman-teman ceweknya dan aku tak pernah mempermasalahkan hal itu. Aku tak pernah cemburu. Tapi sekarang, aku benar-benar tak suka melihatnya. Tangan mereka menyatu erat ketika berjalan, kepala menunduk seolah-olah menghindari papparazi. Padahal justru papparazi yang mereka harapkan.

Seharusnya itu aku, seharusnya itu tanganku yang digandeng James. Dan headline berita kali ini benar-benar memuakkan.

“Rose Dicampakkan Demi Gadis Lain.”

“Say Bye To Rames Because We Have Jalston Now”

“Halston Sage Cewek Idaman Lain James Maslow?”

Aku mengumpat sekeras-kerasnya. Untung Mark tidak sedang di dekatku saat ini kalau iya dia pasti sudah terpanggang amarahku. Rencananya sukses besar. Kutebak dia sedang berpesta gila-gilaan saat ini.

Teleponku berdering. Saking kesalnya aku meraihnya dengan kasar, seakan benda itu punya kesalahan pribadi padaku, dan tanpa repot-repot melihat layarnya aku langsung menekan tombol jawab.

“Halo.” Kataku ketus, kalau ini Mark aku tak mau repot-repot berlaku sopan.

“Rose?”

Suara diseberang mengejutkanku. Bukan Mark, juga bukan James, atau Kendall atau Logan atau Carlos. Aku melihat layarnya untuk memastikan, dan setelah meyakinkan diri aku tidak sedang bermimpi aku memekik girang.

“JESSE!”

Orang diseberang sana tertawa, “hey Rose apa kabar?”

“Aku baik. Kau kemana saja. Sudah berbulan-bulan aku tak bertemu denganmu.” Jesse adalah sahabatku, abangku, dan sekaligus mantan pacarku. Dia pacar pertamaku sejak aku terjun ke dunia Hollywood, kami sudah berpacaran hampir dua tahun, tapi putus tanpa alasan yang jelas. Well.. kami bosan, itulah yang sebenarnya terjadi. Hubungan kami berjalan terlalu mulus, tanpa ada masalah yang berarti dan kami tak puas dengan itu. Jadi kami memutuskan untuk putus secara baik-baik. Bahkan setelahnya kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Sampai orang-orang mengira kami rujuk kembali, tapi tidak. Aku tak pernah punya perasaan yang sama seperti dulu ke Jesse. Aku sayang dia, tapi hanya sebagai sahabat. Tidak lebih.

Tapi Jesse bagaimanapun, tak benar-benar bisa melepaskanku. Setidaknya begitu yang aku dengar dari orang-orang terdekatnya, juga dari dirinya sendiri. Dia masih sering mengajakku balikan. Tapi aku menjelaskan padanya, sejujur-jujurnya karena aku tak mau dia salah paham. Bahwa aku sudah tak menyukainya seperti dulu, tidak melihatnya sebagai pacar lagi. Dia mengerti dan menghormati keputusanku, walaupun bisa aku lihat dia tak pernah menyerah.

“Yah.. kukira kau sibuk kan. Aku tak mau menganggumu.”

Aku memutar mata, walaupun tentu dia tak bisa melihatku.

“Yang benar saja kau tidak pernah mengganguku, Jesse.”

Dia tertawa lagi.

“Jadi apa yang membuatmu menelepon sekarang? Kau baik-baik saja kan?” tanyaku sedikit cemas.

“Aku baik-baik saja, Rose. Sehat seperti baru.”

“Syukurlah. Terus ada apa?”

“Uhm.. aku tak tau bagaimana cara mengetakan ini agar kau tak tersinggung—“

Aku mengernyit mendengar kata-katanya.

“Aku menonton Live With Kelly kemarin.” Lanjutnya hati-hati.

Dan ini membangkitkan kejengkelanku yang tadi sempat hilang.

“Astaga masa kau juga sih!”

“Well maaf Rose, hanya saja beritanya dimana-mana, dan aku ingin memastikan kau baik-baik saja.” Jesse menjelaskan.

“Berita itu bohong tau. Aku dan James baik-baik saja.”

“Benarkah?” dia kedengaran kecewa tapi buru-buru menutupinya, “yah kurasa juga begitu. Tapi kenapa kau melakukannya?”

“Mark, tim prmosiku dan James.” Jelasku kesal. “Kau pasti sudah mendengar tentang James dan cewek itu kan, si Halston, beritanya masih hangat, baru keluar dari panggangan.’

“Yeah aku tahu.” Jesse mengabaikan sarkastisme dalam kata-kataku, “promosi untuknya?” tebaknya.

“Yeah, aku tak tahulah apa yang ada dipikiran Mark cs. Kami dipaksa melakukan ini.”

“Oh Rose. Aku turut prihatin. Memangnya siapa si Halston ini?”

“Bintang Nickelodeon baru. Mereka pikir dia akan lebih cepat terkenal dengan cara ini. Dunia hiburan sekarang benar-benar bikin miris.” Aku meringis.

“Kau benar, tak ada lagi yang peduli tentang bakat. Yang ada mereka pedulikan cuma wajah cantik dan nyali untuk melakukan apapun.”

Aku mengamini kata-katanya, “bener banget!”

“Kau mau makan siang bareng gak? Kebetulan aku lagi di LA nih.”

“Tentu.” Seruku bersemangat, “di tempat biasa?”

“Yap, perlu ku jemput?”

“Uhm tak usah.” Aku tak mau memberitahu Jesse bahwa aku sedang di rumah James, aku punya firasat dia tak akan menyukai itu. “Kutemui kau disana jam 12.”

“Baiklah. Jam 12. Sampai ketemu, Rose.”

“Sampai ketemu disana.”

Dia pun mengakhiri teleponnya.

***

Jesse sudah menungguku dimeja kami yang biasa, ketika aku—berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat terlalu mencolok, karena Fox tak henti-hentinya mendesah-desah girang dibawa ke tempat baru. Aku terpaksa membawanya kan, tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah, James bisa ngamuk besar—tiba, lima belas menit terlambat karena aku harus berkali-kali memastikan tidak dibuntuti papparazi.

Jesse tersenyum begitu melihatku. Aku menyusupkan diri di kursi di depannya. Meletakkan Fox di pangkuanku, agar dia berhenti melompat-lompat bersemangat.

“Hey.. maaf telat.” Aku nyengir minta maaf.

“Tidak apa-apa kok.” Jesse menaikkan alis melihatku, “kau tak mau melepas itu?” dia menunjuk kacamata hitam, syal dan topi lebar yang aku kenakan.

“Uhm..” aku mengigit bibirku ragu.

“Tenang saja, restoran ini steril. Aku kan kenal pemiliknya, dia tak akan membiarkan siapapun mengambil fotomu.” Jesse memperhatikan kekhawatiranku.

“Yeah kau benar.” Satu alasan kenapa sejak dulu restoran ini menjadi favorit kami. Jendela-jendelanya gelap, mustahil orang di luar bisa melonggok ke dalam. Meja-mejanya juga dikelilingi sekat-sekat, tak terlalu tinggi tapi cukup untuk mencegah orang mencuri dengar, dan yang lebih penting pengunjung lain tak bisa mengintipmu dari balik piring mereka. Jadi aku aman. Aku membuka kacamata, syal dan topiku. Fox mengongong bersahabat ke arah Jesse.

“Anjing baru?” katanya membelai-belai kepala Fox.

“Anjingnya James.” Jelasku.

“Oh.. well karena sekarang kau membawa anjingnya, jadi kurasa berita-berita itu memang tidak benar.”

Aku mengangguk, “kan sudah ku bilang. Itu cuma akal-akalan, konspirasi. Membuatku muak setengah mati.” Aku mendengus kesal.

“Sabar, semuanya akan berlalu.”

“Kuharap secepatnya.”

“Aku memesankan makanan kesukaanmu, omong-omong. Kuharap kau tak keberatan.” Jesse mengalihkan pembicaraan.

“Tentu, aku kangen masakan disini. Sudah lama aku gak main-main lagi.”

Jesse tersenyum, “aku juga.”

Makanan kami datang tak lama kemudian. Aku meminta mangkuk khusus untuk anjing buat Fox—untung restoran ini tidak melarang membawa hewan peliharaan, menuangkan makanannya yang kubawakan di mangkuknya, Fox makan dalam damai. Memberi ku dan Jesse kesempatan untuk mengobrol.

***

Jesse menggandengku keluar setelah kami selesai makan. Kebiasaan lama sebenarnya, dan aku tak protes. Fox tersembunyi aman dalam jaketku, hanya kepalanya yang menyembul keluar mengendus penuh harap—aku tak mau dia melompat-lompat lagi kalau dibiarkan berjalan sendiri—. Kami keluar bersisian menuju mobil, masih mengobrol tentang masa lalu, kesibukan saat ini dan hal-hal lain yang tak begitu penting.

“Jadi kau sudah putus dengan Lady mu?” tanya ku pada Jesse tentang mantan pacarnya, kupanggil Lady karena usiannya jauh lebih tua dari Jesse. Jujur saja aku tak begitu suka dengannya. Kami pernah bertemu sekali, dan aku langsung mendapat kesan dia tak benar-benar tulus mencintai Jesse.

“Yeah.. dia balikan dengan mantan suaminya.”

“Oh aku ikut prihatin.”

“Tidak, kau bohong. Kau senang kan aku putus dengannya.” Dia menyeringai.

Aku membalas seringainya, “well.. kau tahu aku tak terlalu menyukainya.” Aku mengedikkan bahu. “Kau tidak sedih kan?”

“Tidak sesedih saat kau memutuskanku.”

Dia mengucapkannya dengan gaya bercanda, tapi tak urung itu membangkitkan geliat tak bersalah di dasar perutku. Lalu aku memilih diam.

Kami sudah hampir mencapai mobilku ketika aku melihatnya. Sebuah kilatan cahaya seperti ketika petir akan menyambar. Aku yang sudah sangat terbiasa dengan hal semacam itu langsung menoleh panik. Disana di seberang jalan, dalam mobil sedan hitam seseorang sedang menyorongkan kamera ke arahku. Papparazi tentu saja, sejak kapan dia membuntuti kami. Seberapa banyak yang dilihatnya. Oh tidak ini buruk.

“Jesse papparazi disana.”  Aku mencengkram tangan Jesse kuat.

Jesse mengikuti arah pandangku, begitu melihat apa yang aku maksud dia mengumpat.

“Sial. Rose cepat.” Dia menarik tanganku, setengah berlari kami menuju mobilku. Blitz kamera terlihat lagi tapi aku tak menggubrisnya. Jesse mendorongku masuk. Terengah dia mengucapkan salam perpisahan singkat, kemudian menutup pintu mobilku. Berlari ke mobilnya sendiri. Aku tak perlu menunggunya langsung kabur dari sana.

***

Mark menahanku di kantornya. Dia meneleponku dalam perjalanan pulang. Mengatakan aku harus ke kantornya saat itu juga, dan dia juga menyebut-nyebut Jesse. Aku heran darimana dia mendapat berita secepat itu. Aku bahkan belum sepuluh menit meninggalkan lokasi “kejadian” saat dia menelepon.

Aku meringkuk gelisah di sofa kulitnya. Fox sedang bermain-main dengan bola karetnya di dekat kakiku. Mark sementara itu sibuk menelepon. Jujur aku sedikit takut dia akan marah, karena aku mengacaukan skenarionya. Tapi aku akan menikmati saat-saat membuatnya kesal. Satu sama, biar tahu rasa dia.

“Kuhubungi kau lagi nanti, dasar idiot!” dia membentak, sebelum menutup teleponnya. Dia berbalik ke arahku, aku mempersiapkan diri dengan apapun yang akan dia lemparkan ke mukaku.

“Rose.. Rose Rose...” dia decak-decak, lalu betapa herannya aku dia tersenyum lebar. “Kau jenius!”

“Aku apa?” tanyaku bingung dengan tingkahnya yang berkebalikan dengan apa yang aku bayangkan.

“Yeah jenius!” dia mencubit pipiku gemas, “berkencan dengan Jesse. Itu benar-benar ide cemerlang.”

“Aku tidak berkencan dengannya!” bantahku sengit, sekarang setelah tahu apa yang ada di pikiran piciknya, kekesalanku mulai muncul lagi.

“Oh tentu kau tidak, tapi mereka semua berpikir begitu kan. Jadi apa yang kau katakan tak begitu penting.” Dia melambai-lambaikan tangannya seperti mengusir lalat. “Kau perlu lebih sering kencan—maaf, maksudku bertemu dengannya.” Dia cepat-cepat merubah kata-katanya begitu melihat kilat marah di mataku. “Yah maksudku, dengan begitu kita akan semakin mendapat popularitas.”matanya kembali dipenuhi sorot itu. Sorot liar penuh ambisi.

“MARK!” bentakku, “tidak, oke. Aku tidak akan memanfaatkan Jesse seperti itu!” seolah mendukung kata-kataku, Fox mengongong ke arah Mark.

Mark menatapnya dengan pandangan tak suka yang kentara, “kenapa sih kau membawa-bawa anjing itu.” Katanya alih-alih menanggapi kata-kataku.

“Oh Tuhan kau dengar aku gak sih? Pokoknya aku tidak akan mengikuti rencana gilamu lagi. Masalah yang kau berikan padaku sudah cukup. Kau tidak perlu menambah-nambahi lagi, jadi hapus semua ide gila di kepalamu itu karena aku tidak akan melakukannya. NO WAY!” tegasku.

Mark mengalihkan tatapannya dari Fox kepadaku. Melihatku dengan sorot sayang kebapak-bapakan yang membuatku muak, pantas dia tak punya pacar sampai sekarang. Usianya sudah 34 dan dia masih sendiri. Sempat mendengar desas-desus kalau dia gay, tapi aku tak pernah terlalu memikirkannya.

“Tentu  sayang. Tentu, aku tak akan menyuruhmu melakukan hal-hal yang tidak kau sukai. Kau klienku yang paling manis.” Pastinya yang dia maksudkan adalah kebalikan dari kata manis; rewel, menyebalkan, tukang bantah, dan entah siapa yang tahu apa yang ada di pikirannya.

“Cuma bilang, kau seharusnya bisa mempertahankan karirmu atau kau akan berakhir di tong sampah.”

“Aku mempertahankan karirku, tapi tidak dengan cara kotor seperti caramu.”

“Oh masa.” Dia tertawa geli, seolah-olah aku baru saja mengucapkan lelucon, “albummu saja belum rilis sampai sekarang.”

“Kau mau album? Akan kuberi kau album tapi berhenti menjajah hubunganku dan James. Tinggalkan kami sendiri.”

Dia terdiam sejenak, berpikir. “Oke begini saja. Kau rampungkan albummu, kuberi deadline satu bulan. Beri aku satu single, dan kalau singlemu laris, terjual mengalahkan single Justin Bieber kemarin. Kau bebas dariku, tak ada lagi Halston, dan kebohongan. Bagaimana?”

Aku mengagguk, apa saja asalkan bisa terlepas dari belitan skenario licik Mark. “Deal. Sekarang kalau boleh aku mau pulang.” Langit diluar sudah berubah gelap.

“Tentu sayang, hati-hati dijalan dan, ingat satu bulan.” Dia melambai, masih dengan senyum memuakkan.

Aku hanya mendelik, mengangkat Fox dari lantai. Dengan dagu terangkat keluar dari sana, Mark bahkan tak repot-repot mengantarku.

***

Jesse menelepon begitu aku tiba di rumah. Sebenarnya dia sudah menelepon beberapa kali tapi aku mematikkan handphone ku.

“Kau baik-baik saja kan?” tanyanya cemas.

“Yeah aku baik-baik saja.” Aku lebih santai sekarang, setelah mandi dan menyantap makan malamku.

“Sukurlah. Kukira kau dapat masalah. Papparazi itu tidak membuntutimu?”

“Untungnya tidak. Tapi yah aku mendapat hal yang lebih buruk dari masalah.” Kataku lesu.

“James marah padamu?”

Sial aku lupa sama sekali pada James. Berdoa semoga dia belum membuka twitter atau internet. James tak begitu suka aku bertemu Jesse. Dia cemburu, begitu katanya.

“Rose?” tanya Jesse lagi karena aku sibuk melamun.

“Oh tidak, James tidak marah.” Kataku, “Mark, kau tak akan percaya apa yang dia katakan.”

“Dia meminta aku berpura-pura berkencan denganmu?”

“Dari mana kau tahu?” tanyaku terkejut.

“Well dia menelepon manajerku. Tapi tenang saja aku menolaknya mentah-mentah.”

Oh jadi kepada dialah Mark menelepon tadi.

“Maaf ya Jesse, kau jadi terseret begini.”

“Tidak apa-apa, Rose.” Dia tertawa menenangkan, “aku sudah biasa kok.”

“Mark benar-benar brengsek.”

“Aku setuju denganmu!”

Kami terdiam.

“Kau mau keluar lagi kapan-kapan?” lanjut Jesse kemudian.

“Tentu, tapi tidak sekarang-sekarang ini. Aku bahkan belum berani melihat internet sejak sampai.”

Jesse terkekeh, “beritanya tak separah itu kok.”

“Aku tahu, tapi tetap saja.”

“Well baiklah. Aku tak mau menggangu waktu istirahatmu. Selamat malam, Rose.”

“Malam Jesse.”

Belum sempat aku menaruhnya, handphoneku berdering lagi. James. Oh tidak.., sudah kah dia tahu tentang Jesse. Takut-takut aku mengangkat teleponnya.

“Hey..” sapaku.

“Kau tadi menelepon siapa?” katanya tanpa membalas sapaanku.

“Uhm Jesse.” Jawabku pelan.

“Oh..” singkat.

“Kau masih di lokasi?” tanyaku mencoba mengalihkan percakapan.


“Yeah.. bagaimana kencanmu tadi?” setiap katanya penuh sindiran.

“Aku tidak kencan.” Kataku sakit hati, kenapa sih dia tak bisa percaya padaku. Padahal dia sendiri bergandengan tangan dengan cewek lain pagi ini. Baiklah itu karena dia disuruh, dan aku pergi dengan Jesse atas kemauanku sendiri, tapi kan tetap saja.

“Masa? Kalian kelihatan mesra banget loh, sampai gandengan tangan seperti itu.” Dia semakin sisnis.

“James...” erangku putus asa, “kalau kau mau menghakimiku. Tolong cari waktu lain aku sudah cukup pusing sekarang.”

James terdiam. Awalnya aku mengira dia tak akan berhenti menyindirku, tapi kemudian dia berkata.

“Maaf aku tak bermaksud menghakimi. Kau tahu aku tak suka melihatmu dengan Jesse. Dia masih berharap balikan sama kamu. Dan biar kutebak dia yang mengajakmu ketemuan? Dia menelepon karena mendengar berita kita putus?”

“Tuh kau tahu sendiri, kenapa pakai menyindirku segala?”

“Lalu kau bilang apa? Kau bilang kita beneran putus? Dia pasti bersorak sambil koprol kegirangan.” Dia mendengus.

Aku tak bisa menahan tawa mendengar kata-kata James, “ya enggak lah. Aku bilang kita masih harmonis kayak pengantin baru, aku malah bawa Fox.”

“Kau bawa Fox? Dia mengigit Jesse gak?”

“Jaaaamesss.” Tegurku, “kenapa sih kau benci sekali sama Jesse. Setahuku dulu kalian berteman.”

“Ya ya...maaf. Aku cuma kesal. Seharusnya kan aku yang ngajak kamu makan siang, aku yang gandeng kamu kayak gitu.”

“Sekarang kamu tahu gimana perasaan aku waktu liat fotomu sama Halston tadi pagi.”

Dia terdiam lagi.

“Jam berapa kau pulang?” tanyaku membebaskan James dari rasa bersalahnya.

“Aku gak pulang malam ini.”

“Kenapa?” aku langsung kecewa.

“Yah.. masih banyak yang harus dikerjakan. Aku janji besok pai-pagi sekali aku sudah ada dirumah.”

“Baiklah..” aku menghela nafas kecewa.

“Goodbye kiss?”

Aku mengecup layar handphone ku mesra.

“Aku cinta kamu.” Kataku.

“Aku lebih mencintaimu. Bilang pada Fox aku juga mencintainya.”

“Oke. Dia sudah tidur sekarang. Take care baby.”

“You too.”

Aku bersandar di sofa. Merenung, sudah berapa banyak hidupku berubah sejak seminggu yang lalu. Aku melirik piano di sebelah ruangan. Benarkah baru seminggu yang lalu saat aku dan James bermain-main di atasnya. Rasanya hal itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Aku menyalahkan Mark atas semua kepusingan ini. Dia merubah hidupku yang tadinya seperti dongeng—walaupun tak sesempurna dongeng tapi lebih mending dari sekarang, menjadi neraka buatku. Sekarang aku harus benar-benar mencurahkan konsentrasi ke albumku, dan menyelesaikannya cepat-cepat. Sebelum aku meledak karena stress.

***


TBC