Thursday, May 9, 2013

White Rose (Part 2)



 Warning: Berhubung di fanfiction ini banyak adegan 16+ nya jadi mohon adek-adek yang umurnya dibawah 16 jangan baca ya.. hahaha kecuali kalian emang udah ngerti tentang hal-hal begituan sih terserah aja. :P 

Enjoy xoxo
 
***

Suara lembut alunan piano mengusik tidurku. Aku berguling, meraba sisi tempat tidur yang lain. Kosong.

Aku merenggangkan tubuh sebentar, sebelum meraih jubah tidur di pinggir ranjang. Lalu turun mencari sumber suara itu.

James duduk di depan piano di ruang tamunya. Mata tertutup, dengan khidmat melarikan jemarinya di tuts-tuts hitam putih. Aku mendekat, duduk di sebelahnya.

Dia membuka mata, tersenyum begitu merasakan kehadiranku. Aku membalas senyumnya. Menontonnya bermain. Aku berusaha keras menekan keinginanku untuk menerkamnya saat itu juga. Maksudku, dia begitu.....seksi.

James mengecup keningku lembut begitu dia selesai bermain. “Maaf mengganggu tidurmu.”

“Tidak apa-apa.” Aku tersenyum, “apa yang barusan kau mainkan? Bach?”

“Transcription, yeah.”

“Kau harus mengajariku kapan-kapan.”

“Aku bisa mengajarimu sekarang.”

“Nuh uh.” Aku menggeleng, memanjat ke pangkuannya. “Sekarang aku ingin kau mengajariku hal lain.”

Dia mengerling nakal, “oh ya? Apa misalnya?”

“Entahlah.. sesuatu yang aku tahu pasti kau sangat fasih melakukannya.” Aku menggigit bibir bawahku, menyusupkan tanganku ke balik kausnya. Meraba perut sixpack nya.

“Bukan piano?”

Aku menggeleng.

“Mungkin kau bisa memberikanku sebuah petunjuk?”

Aku menyeringai. Lalu menyarangkan sebuah ciuman di lehernya, menghisapnya pelan, meninggalkan bekas cupang disana. James mengeluarkan erangan dari tenggorokannya. Aku bisa merasakan nafasnya bertambah berat.

Tangan James sementara itu juga tak tinggal diam, dia menyingkap gaun yang ku kenakan. Membelai pahaku naik turun, membuat bulu kudukku berdiri.

Puas dengan lehernya, aku melanjutkan aksiku ke atas. Menempelkan bibirku pada ujung rahangnya yang ditumbuhi jambang-jambang kasar—dia belum bercukur sejak kemarin—kemudian menggesekkan bibirku menyebrang ke sisi rahang satunya sambil membalas erangan eksotis James.

James menangkap bibirku, ujung lidahnya menggelitik, seakan menunggu di undang masuk. Mengetahui maksudnya, aku membuka sedikit mulutku, menyambut sentuhan ujung-ujung lidahnya. Dia menggigit lembut bibir bawahku, membuatku mendesah kenikmatan.

Tiba-tiba James mengangkat tubuhku, mendudukkanku di atas piano. Jubah tidurku sudah dibuang entah kemana, dan gaun tidurku melorot sampai ke pinggang.

“Mari kita mulai pelajarannya.”

Aku menelan ludah gugup. Dia terlihat seperti singa lapar bertemu daging segar, dan aku tahu aku sedang dalam masalah. Walaupun sebenarnya, aku suka masalah seperti ini.


***

Senin pagi yang menyenangkan. Aku benar-benar memaksudkannya. Hariku sudah dimulai dengan begitu manis, bermain-main di atas piano bersama James. Aku masih tersenyum mengingat kejadian pagi buta itu. Dan hari ini aku hanya perlu ke kantor untuk “rapat kecil” yang dipaksakan manajer ku. Bisakah hari ini menjadi lebih baik lagi?

Sayangnya tidak. Aku menatap tak percaya pada lelaki jangkung kurus kemayu di depanku. Sementara itu di sebelahnya, manajerku Rachel memberikanku tatapan menyemangati.

“Kau gila.” Hanya itu yang bisa aku katakan.

“Ayolah Rose, pikirkan. Pikirkan promosi yang akan kau dapatkan.” Si lelaki jangkung yang dengan menyesal aku sebut sebagai publicist ku—Mark, berkata dengan mata berapi-api.

“Kau gila.” Ulangku lagi.

“Rose.. Rose..” dia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di depanku. “Kau tidak melihat apa yang kami lihat. Ini merupakan hal tepat yang harus dilakukan untuk menaikkan namamu. Membuatnya berkibar lagi di bendera Hollywood. Kau mungkin tidak memperhatikan, tapi orang-orang sudah mulai melupakanmu, gara-gara kau terlalu santai setahun belakangan ini. Albummu sampai sekarang belum rilis juga. Kau terlalu menganggap entang, nak. Kau tak bisa lengah, banyak orang mengincar tempatmu dan kau bisa kehilangan itu hanya dalam satu kedipan mata.”

Aku masih menatapnya tidak percaya. Aku tahu, hal yang paling penting di dunia hiburan seperti ini adalah promosi, ketenaran, membuat skandal besar-besaran agar orang-orang tetap mengingatmu. Lupakan bakat. Selama kau bisa menarik perhatian publik dengan menari telanjang di layar kaca, kau akan diingat selamanya, walaupun kau tak bisa akting sama sekali.

Dan sekarang, mereka memintaku melakukan hal menjijikkan seperti itu—bukan menari telanjang tentu saja, aku tak akan pernah mau melakukannya. Mereka memintaku bergabung dengan skandal besar yang mereka rencanakan.

Aku dan James harus pura-pura putus. Sehingga kemudian James bisa berkencan dengan artis pendatang baru—serumah produksi dengan James—karena dia membintangi serial tv baru dan butuh sesuatu untuk menaikkan namanya. Gosip, tentu saja.

“Kau melihatnya Rose? Kau bisa membayangkan apa yang aku bayangkan? Hanya dengan menyulur api kecil seperti ini, kita bisa menciptakan kebakaran hebat. Dan begitu kau menyadarinya, semua sudah terbakar. Terbakar olehmu.

“Lagi pula, Big Time Rush sebentar lagi akan meliris album ketiga mereka. Satu lagi hal yang membuat rencana ini harus dijalankan. Album mereka akan meledak di pasaran.” Mark menerawang puas.

Aku memijat keningku, pening.

“Tolong jelaskan lagi, bagian mananya dari menjadikan James cowok berengsek tukang selingkuh yang bisa membuat album Big Time Rush meledak di pasaran. Dan gadis itu, siapa namanya?”

“Halston—“ Rachel menjawab untuk ku.

“Yeah Halston. Dia akan dihujat habis-habisan. Orang-orang akan menganggapnya cewek sundal perebut pacar orang, Mark. Tidakkan kau memikirkan hal itu?”

“Pertama Rose, jaga bicaramu.” Mark melotot ke arahku. “Dan kedua ya. Image itulah yang kami inginkan untuk mereka. James akan dikenal sebagai bad boy yang dengan mudah mencampakkanmu, dan mendapatkan cewek lain yang tak kalah hot. Dan Halston, yah dia di tawari kontrak film memerankan cewek tukang bully di SMA, jadi peran ini sekaligus ajang latihan untuknya.” Mark mengangkat bahu tak peduli.

“Wah maaf saja ya. Tapi aku tak mau pacarku dibilang cowok brengsek. James tidak seperti itu tahu. Dan lagian, apa kalian sudah membicarakan hal ini dengan dua korban lainnya?” aku sengaja menakankan kata korban, “ aku yakin mereka pasti tidak setuju.”

“Sayangnya, Halston sudah menyetujuinya—“

“Oh ya tentu saja dia menyetujuinya. Siapa yang menolak kesempatan menjadi pacar James walaupun cuma akting.” Aku memotong Mark.

“Dan soal James..” Mark melanjutkan seolah-olah tidak ada interupsi. Dia mengencangkan dasi abu-abunya, merapikan lipatan jasnya yang berwarna senada. Kemudian berkata dengan penuh percaya diri, “kita lihat saja nanti.”

Aku menatap Rachel meminta pembelaan, aku yakin dia juga tak setuju dengan rencana gila ini. Rachel menyayangiku, dia sudah seperti kakak perempuan bagiku dan dia pasti tak ingin aku meraih ketenaran dengan cara seperti ini. Tapi Rachel hanya mengangkat tangan tanda menyerah.

“Jangan lihat aku. Aku digaji untuk mematuhi bos, dan saat ini mereka bos ku.” Katanya membela diri.

Aku mendengus kesal, menutup wajahku dengan kedua tangan.


***

“Aku benci mereka.”

Aku berbaring di pangkuan James, menghabiskan sore kami di beranda lantai atas rumahnya. Menikmati cahaya keemasan matahari yang hampir tenggelam. James membelai rambutku, manajernya sudah menceritakan semua padanya.

“Aku juga.” Katanya menyetujui.

“Aku tak mau jadi boneka mereka. Aku tak mau mendapat ketenaran dengan cara kotor seperti itu. Membohongi dunia, membohongi fans. Mereka tak tahu bisa jadi seganas apa fans-fans kita. Kalau mereka tahu yang sebenarnya. Mark pasti kewalahan meladeni teror pembunuhan yang dialamatkan padanya.”

“Tapi kau tidak bisa memberitahu mereka.”

“Yeah, aku tahu.”

Alaskan Kle Kai piaraan James, yang dia namai Fox, mendengkur pelan di pelukanku.

“Tapi kau tak setuju kan, James?” tanyaku, menatapnya.

“Tentu saja tidak. Itu rencana paling tidak masuk akal yang pernah aku dengar.”

Aku tersenyum senang, “sudah kuduga kau akan mengatakan itu.”

“Tapi aku tidak menolaknya.” Lanjut James pelan. Tapi tak cukup pelan untuk membuatku terlonjak bangun. Fox terjatuh dari pelukanku. Tapi dia hanya menatapku sebentar, seolah-olah kesal karena tidurnya di ganggu, kemudian bergelung lagi di antara aku dan James.

Aku sementara itu, terperangah menatap James.

“Kau tidak menolaknya?” apa dia serius saat ini?!

“Dengarkan aku dulu.” James terlihat salah tingkah, “awalnya tentu saja aku menolak. Aku tak mau dikira menyakitimu. Tapi toh mereka tetap bergeming, jadi untuk apa membuang tenaga membantah mereka, kalau ujung-ujungnya mereka juga akan tetap memaksa kita melakukannya. Kita terikat kontrak, ingat?”

“Membuang tenaga katamu? Jadi kau lebih ingin aku sakit hati, tersiksa melihatmu menggandeng cewek lain. Kau bahkan tak mau bersusah payah meolak mereka demi menjaga perasaanku? Wow. Terimakasih banyak, James.” Kataku ketus. Aku benar-benar sakit hati sekarang, seluruh dunia bersekongkol untuk melawanku. Sempurna.

“Aku tidak bermaksud begitu, Rose.” James berusaha menggapai tanganku, tapi aku menepisnya. “Ini kan cuma skenario, tak lebih dari akting. Sebelum ini kau tak pernah marah saat aku harus mencium lawan mainku, dan aku juga tak pernah marah saat kau harus melakukan adegan ranjang dengan Zac Efron di film prajurit itu.”

“Aku tidak marah karena di film karaktermu lah yang mencium lawan mainmu, bukan kau. Dan soal Zac, kami menggunakan peran pengganti. Kau ada disana melihat dengan mata kepalamu sendiri.”

“Itulah yang aku maksudkan. Kau tak perlu cemas aku selingkuh dengan Halston. Karena ini semua akting. Aku hanya mencintaimu.”

Aku mendengus, “itu juga yang Joe katakan sebelum dia kabur dengan Demi.”

“Aku bukan Joe.” James terlihat tersinggung.

“Tentu saja bukan. Tapi kalian dari spesies yang sama.” Aku mendelik, meninggalkannya berdua dengan Fox, yang ternyata sudah bangun dan sedang menatap kami berdua. Lidahnya terjulur, ekornyan bergerak-gerak gelisah.

“Kau mau kemana?” James menyusulku, diikuti Fox yang menyalak di belakngnya.

“Mengambil barang-barangku. Aku mau pulang.” Jawabku singkat.

James mencegatku di depan pintu kamarnya.

“Oh Rose please. Mari kita bicarakan dulu ini semua.”

“Aku sedang tidak ingin bicara.” Aku menunduk melewati tangannya yang direntangkan menghalangiku. Meraih tas ku di atas ranjang dan bergegas keluar sebelum dia sempat mencegatku lagi.

“Rose please.” James menarik tanganku saat kami tiba di bawah tangga. Aku berusaha melepaskannya, tapi cengramannya terlalu kuat.

“Setidaknya biar aku antar kau pulang.”

“Tak perlu. Aku bawa mobil sendiri.”

“Rose, tolong jangan bertingkah seperti ini. Aku tak mau kau marah padaku.” James memohon.

“James dengar.” Aku berbalik memandangnya, “kau mungkin berpikir aku terlalu kekanak-kanakan, aku cemburu buta, paranoid atau apapun yang ada dipikiranmu sekarang. Tapi aku tidak mau dan tidak bisa berbohong seperti ini, membohongi perasaanku sendiri. Aku tak bisa melihatmu bersama cewek lain. Dan yang aku maksud itu kau, James Maslow ku. Membayangkannya saja aku sudah sakit.

“Dan kalau kau kira hal ini akan bertahan hanya untuk beberapa hari, kau salah. Sekali berbohong, mereka akan terus meminta kita melakukannya. Sekarang mereka ingin kau pura-pura berkencan dengan Halston, lalu berikutnya mereka akan memintamu pura-pura menikahinya. Aku tak bisa hidup dalam kebohongan untuk selamanya.”

“Jadi kau ingin kita benar-benar putus.” Dia terlihat benar-benar sedih.

“Tidak. Aku hanya—“ aku menghela nafas gundah, “aku kecewa kau dengan mudahnya mengiyakan mereka. Tadinya ku kira kau akan melawan mati-matian sepertiku. Tapi ternyata—“

“Aku tidak bermaksud mengecewakanmu, aku hanya tak melihat ada peluang untuk membantah mereka. Kita dikuasai mereka sekarang.” James membela diri.

“Tidak.. tidak sepenuhnya.” Aku menggeleng, “mereka tidak berhak meyuruh kita melakukan hal seperti ini. Tapi yah kau benar, tidak ada gunanya melawan mereka. Merekalah dalangnya, kita hanya boneka tali yang tak bisa melakukan apa-apa kecuali mereka menginginkan kita untuk bergerak.”

“Aku mencintaimu.” James memelukku erat.

Aku membalas pelukannya, singkat. “Seperti aku mencintaimu.”

“Tolong tinggallah. Beri aku kesempatan memperbaiki kekacauan ini.”

Aku tersenyum lemah. “Maaf, tapi aku butuh waktu untuk berpikir. Lagi pula kita tak boleh terlihat bersama, kita sudah “putus” sekarang, ingat?” aku membuat tanda kutip di udara saat mengucapkan kata putus.

“Jangan bicara seperti itu. Kita tidak benar-benar putus.”

“Tentu tidak.” Aku menepuk pipinya lembut, “malam James.” Dan dengan sekali lambain ke arah Fox—yang menggongong mengejarku sampai depan pintu—aku meninggalkan James terpaku di tempatnya.


***

No comments:

Post a Comment