Malam minggu kali ini aku bisa bersantai di rumah. Yeah..
akhirnya. Hari seperti ini hanya datang sekali dalam sebulan, kecuali liburan
natal atau hari raya lain—dimana semua orang harus mendapat jatah libur karena
kalau tidak itu termasuk tindakan melanggar HAM—aku bisa bersantai
berminggu-minggu. Tapi bahkan terkadang, natalpun aku harus bekerja, mengisi
acara di Times Square atau di pusat perbelanjaan elit atau bahkan di acara-acara
tv yang bayarannya bisa dua kali lipat dari hari biasa., karena manajerku harus
menambal kembali tabungannya yang dia habiskan untuk membeli hadiah natal. Tapi
ya sudahlah. Aku akan menikmati malam ini, berdua dengan pacarku.
Kebetulan yang menyenangkan bukan. Pacarku—yang juga
artis pop sepertiku—mendapat satu hari libur yang sama dengaku. Membuat hari
ini lima kali lipat lebih indah. Tadinya kami berencana makan malam di luar.
Tapi begitu mengingat papparazi yang mengendus kami seperti anjing. Aku
mengurungkan niat, bisa-bisa malam yang harusnya kami nikmati ini berubah menjadi
malam petaka. Dan James tak keberatan. Jadi disinilah kami, di ruang tamu
apartemenku, menonton film lawas, ditemani semangkuk popcorn dan soda.
James menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Kau pernah memikirkan tentang masa depan gak?” tanyanya
tiba-tiba.
Aku mengernyit, “kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti
itu?”
“Gak ada.. hanya penasaran saja.” Dia mendongak, “pernah
tidak?”
Aku tersenyum ke wajah malaikatnya, tanpa sadar membelai
pipinya lembut.
“Yeah... sering.”
“Apa yang kau pikirkan?” dia menggengam tanganku yang
menari di pipinya, mengecupnya lembut.
“Banyak hal.”
“Seperti?”
Aku terkekeh pelan, “kau kenapa sih? Tiba-tiba bertanya
seperti ini.”
“Tidak ada.. hanya penasaran, serius.” Dia mengerjapkan
matanya, seakan-akan bersumpah.
“Well.. aku berpikir akan seperti apa aku nanti,
pekerjaanku, bagaimana aku bisa membahagiakan orang tuaku. Hal-hal membosankan
seperti itu.”
“Oh.. kau tidak pernah memikirkanku?” dia menyunggingkan
cengiran miringnya.
“Tidak.. seingatku tidak pernah.” Aku menggeleng,
menggodanya.
“Oh baiklah.” Dia kembali memandang layar tv.
“Kau marah?” aku tersenyum geli melihat tingkahnya.
“Tidak.” Jawabnya singkat.
“Oh oke.”
Dan kami terdiam untuk beberapa saat, kembali menonton. Sampai
kemudian menarik diri dariku dan duduk tegak di sampingku. Wajahnya ditekuk
seperti anak kecil yang ngambek karena es krimnya direbut.
“Ayolah masa kau tidak pernah memikirkan ku? Sekali
saja?” katanya merajuk.
Tawaku meledak. Dia sudah dua puluh dua tahun dan masih
bertingkah seperti bocah. Oh pacarku tersayang.
“Apa yang lucu?” dia tambah merengut.
“James...” kataku setelah tawaku mereda, “memangnya kau
percaya aku tidak pernah memikirkanmu? Tidak sekalipun? Kau selalu ada disini
tahu.” Aku menunjuk pelipisku.
Dia tersenyum. “Aku tahu.”
Aku mencubit hidungnya gemas.
Dia menarikku mendekat, aku bersandar di dadanya.
Mendengar detak jantungnya yang pelan dan teratur.
“Kau tahu aku sangat beruntung memilikimu.”
Aku mendengarnya berguman.
“Kita beruntung memiliki satu sama lain.” Aku
mengoreksinya.
Aku bisa merasakan dia tersenyum, “yeah.. kau benar.”
“Bagaimana denganmu? Kau pernah memikirkan masa depan?”
“Hanya sekali?”
Aku menarik diri dari pelukannya. Menatap James penuh
tanya.
“Kapan?”
“Saat aku bertemu denganmu.” Dia menatap mataku
dalam-dalam, “Saat itu aku tahu kau masa depanku, dan hal lainnya menjadi tak
begitu penting lagi.”
Aku meleleh. Coba saja, kalau pacarmu yang seperti dewa
itu, yang tampannya luar biasa mengatakan hal seperti itu padamu. Kau pasti
juga akan meleleh.
“Oh James..” hanya itu yang bisa aku katakan. Menunduk
menyembunyikan wajahku yang pasti semerah tomat.
“Aku serius.” Dia mengangkat daguku, masih memandangku
dengan pandangan itu. Dengan sorot lembut penuh sayang. Dia tak perlu
bersumpah, aku tahu dia mengatakan hal yang sebenarnya.
“Kau harus berhenti membuatku tersipu, kau tahu.” Aku
menatapnya galak.
“Kau cantik kalau tersipu.”
Aku memutar bola mata.
“Juga saat memutar bola matamu seperti itu.”
“James. Hentikan!”
Dia terkekeh.
“I love you.”
“I love you too.” Aku membalas.
“Boleh aku menciummu?”
“Perlukah kau bertanya?”
Dan dia mendekapku lagi. Menyatukan bibir kami berdua
dalam satu irama lembut dan halus. Tidak ada ketergesaan. Hanya kami, mengecap
rasa satu sama lain, lidah berdansa mengikuti tarikan nafas, keempat tangan
meraba, menjelajah, menjamah bagian tubuh tersensitif. Dan semua itu semakin
sempurna saat tubuh kami dipersatukan. Film yang tadinya kami tonton,
terlupakan begitu saja.
***
Pertemuan pertama kami terjadi di belakang panggung suatu
acara awards tahun 2011. James dan bandnya—Big Time Rush—baru selesai tampil,
dan aku sedang bersiap-siap untuk naik ke panggung, membacakan nominasi. Aku sebenarnya
sudah menyukai Big Time Rush sebelum ini. Sejak serial pertama mereka tayang,
yang tidak sengaja aku tonton karena saat itu aku sedang bosan setengah mati di
dalam bus turku dan sengaja memutar-mutar semua channel tv. Sejak saat itu
lagu-lagu mereka selalu mengalun di iPodku. Tapi baru sekarang aku dapat
kesempatan untuk bertemu mereka. Karena yah, kami kan sama-sama sibuk.
Untung bagiku karena ada jeda waktu tiga menit untuk
iklan. Jadi saat mereka turun dari panggung aku langsung menghampiri dan
berkenalan dengan mereka, sengaja berlama-lama mengobrol dengan Kendall. Karena
yah aku akui, dialah alasan terbesar aku menyukai Big Time Rush. Bukannya aku
tidak menyukai tiga cowok yang lain—James, Carlos, dan Logan—hanya saja saat
pertama kali melihat mereka, mataku sudah terfokus pada Kendall.
Bolehkan. Maksudku, aku baru beberapa bulan putus dari
mantanku, Joe Jonas, yang kepincut lawan mainnya di Camp Rock, a.k.a sahabatku
sendiri, Demi Lovato. Dan parahnya mereka sama sekali tidak berusaha menjaga
perasaanku, dengan menyembunyikan hubungan mereka. Malah mereka seperti
menyorongkan hubungan itu di depan hidungku. Hanya dalam waktu tiga hari setelah
kami putus, foto Joe berciuman dengan Demi di Cabo tersebar dimana-mana. Tidak
ada kata “Maaf aku tak bermaksud merebut pacarmu” dari Demi. Tidak ada sama
sekali. Dan sejak saat itu aku menghapusnya dari daftar teman. Aku tidak pernah
menghubungi mereka lagi, aku bahkan meng-unfollow mereka di twitter. Dan album
ketigaku, aku persembahkan untuk mereka. Aku menyindir mereka habis-habisan
disana. Biar tahu rasa. Papparazi dan tabloid gosip seharusnya berterima kasih
padaku, karena aku sudah memberikan banyak uang kepada mereka melalui skandal
kecil itu.
Jadi wajar saja kalau kemudian aku agak bergenit-genit
ria dengan Kendall. Aku butuh obat sakit hati. Dan Kendall terlihat sangat
sempurna untuk itu. Bukan berarti aku ingin memanfaatkan Kendall. Hanya, yah..
bermain-main tidak ada salahnya kan.
Setelah itu aku jadi semakin sering menghabiskan waktu
dengan mereka. Singkat tapi kami langsung menjadi sahabat. Aku bahkan di undang
menjadi bintang tamu di salah satu episode serial tv mereka. Dan sejak saat itu
semua berubah.
Aku merasa Kendall lebih sebagai kakak untukku. Dia orang
yang harus kau cari saat membutuhkan nasihat atau saran. Dia selalu berpikiran
positif tentang apapun.
Carlos sementara itu menjadi mood bosterku, dia selalu
tahu caranya membuatku tersenyum sampai tertawa terpingkal-pingkal. Selalu ada
untuk menyemangatiku.
Lalu Logan, dia dan aku sudah seperti Bonnie dan Clyde.
Partner in crime, begitu kami menyebutnya. Logan tak pernah kehabisan ide untuk
menjahili orang dan aku akan selalu disana untuk membantunya.
Dan James. Well... aku tak pernah menyangka sebelumnya
kalau aku malah akan berakhir dengannya. Dia mengajakku kencan sekali, dan
sejak saat itu aku jatuh cinta padanya. Aku tak tahu mengapa, aku hanya merasa
nyaman di dekatnya. Dia romantis, dia selalu tahu apa yang harus dikatakan. Dan
yang lebih penting, dia menyayangiku. Aku hanya berharap, hubunganku dengannya
tidak berakhir seperti hubunganku yang terakhir.
***
“maaf tak sempat
menunggu mu bangun, aku lupa hari ini ada rekaman. Telepon aku kalau kau sudah
bangun. I love you, baby. Xoxo JM”
Aku menemukan catatan itu di meja makan keesokan paginya.
Aku tersenyum sendiri membacanya. Mengambil telepon dan menekan nomor James,
hanya pada deringan kedua James langsung menjawab.
“Miss me?”
Suara beratnya menyapaku.
“Sangat.” Jawabku manja.
“Aku juga.” Dia mendesah, “kenapa kau tidak kemari? Kau
tidak kemana-mana kan hari ini?”
Aku berpikir sejenak, “tidak sih. Tapi aku sudah janji
sama Taylor mau ke salon. Ini jadwal waxing kami.”
“Swift?” tanyanya.
“Yeah siapa lagi?”
“Aku tak suka kau bergaul dengan dia.”
“Dia sahabatku James. Lagi pula hanya karena dia menulis
lagu tentang mantan pacarnya, bukan berarti dia orang jahat.”
“Aku tahu, tapi tetap saja. Mempermalukan orang seperti
itu tidak baik.”
“Dia tidak mempermalukan, cowok-cowok itu pantas
mendapatkannya.”
“Hey, aku cowok loh.”
“Yang bilang kau cewek siapa?”
“Ya sudahlah terserah, aku tidak mau bertengkar karena
hal sepele macam ini, dan ini masih pagi, Rose.”
“Kau yang mulai.”
“Ya aku tahu maafkan aku. Jadi kau akan ke studio atau
tidak?”
“Sehabis dari salon, ya.”
“Oke aku tunggu. I love you.” Dia menambahkan kecupan di
akhir katanya.
“I love you too.” Lalu aku menutup telepon. Dan
begitulah, argumen kecil kami terlupakan.
***
Lemparan kacang menyambutku begitu aku membuka pintu. Aku
cuma geleng-geleng kepala melihat kekacauan di ruangan mungil itu. Gelas-gelas
plastik kosong berhamburan, kulit kacang bertebaran di lantai, dan Kendall
bersembunyi di belakang sofa menghindari Logan yang tangannya menggenggam penuh
kacang, siap dilemparkan pada Kendall. Carlos tertawa terbahak-bahak dari balik
bilik rekaman. Sementara James tak terlihat di mana pun.
“Kalian ini bikin lagu atau perang sih?” Aku beringsut ke
sofa di pojok ruangan, bersebrangan dengan Kendall.
Kendall yang melihatku datang, melongokkan kepala dari
sofa, melambai ke arahku.
“Hei Rose.”
Dan kesempatan itu langsung digunakan Logan untuk
melemparkan segenggam kacang di tangannya. Telak mengenai wajah Kendall.
Kendall jatuh terduduk, meringis kesakitan.
“WINNNEEERRR!!!” Logan berteriak layaknya pasukan yang
memenangkan perang, sambil menari ala Dewi Persik kesengat listrik. Aku dan
Carlos semakin terbahak melihatnya.
“Dasar sinting.”
“5-0 Kindle.” Ejek logan, menghempaskan dirinya di
sampingku.
“Curang.” Kendall muncul dari balik sofa, wajahnya merah.
“Rose mengalihkan perhatianku!” Kendall menunjuk ke arahku.
“Well.. aku kan tidak bermaksud begitu, lagi pula aku
selalu ada di Team Logan jadi maaf-maaf saja ya.”
Logan dan aku kemudian ber-high five ria, ditingkahi
dengusan Kendall.
“Hey ngomong-ngomong mana James?” tanyaku.
“Selingkuh.” Sahut Logan santai.
Aku melemparnya dengan bantal. Dia tertawa menghindar.
“Rose kau bawa pesananku?” Carlos keluar dari bilik
rekaman, dan tanpa menunggu jawabanku, langsung membokar belanjaanku yang ku
taruh di atas meja. Mencari pizza yang di pesannya.
“Yep, tak pernah lupa.” Kataku saat dia mengeluarkan
sekotak pizza dan mencomot isinya, Kendall dan Logan ikut-ikutan berebut,
membuat ku memutar bola mata melihat tingkah mereka.
Tepat saat itu pintu membuka, dan James masuk menenteng
secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Dia tersenyum begitu melihatku.
“Hey babe. Kopi?” tanyanya sambil menyusupkan diri di
antara aku dan Logan.
“Please.” Jawabku, meraih gelas yang disodorkannya.
“Kopi kami mana?” protes Carlos disela-sela kunyahannya.
“Tuh sana buat sendiri.” Jawab James cuek.
“Huh.. saudara macam apa kau.”
“Saudara yang cerdas yang tidak mau membiarkan saudaranya
sendiri memperbudakinya.”
Carlos memutar bola matanya. Aku terkikik dari balik
cangkirku.
“Jadi kalian sudah menyelesaikan berapa lagu?” aku
menyerahkan kembali kopinya pada James.
“Tiga, untuk hari ini.” Kendall menggumam, “kau mau mendengarnya?”
“Uhm tidak terimakasih. Aku ingin menunggu sampai album
kalian keluar.”
Carlos nyengir mengejek, “taruhan tiga hari lagi kau
pasti merengek-rengek minta mendengar demo kami.”
“Tidak kalau kau tak terus-terusan menggodaku.”
“Kalau begitu aku tak akan berhenti menggodamu.”
“Carlos..” aku merengek, “you’re a jerk.”
“It has been said.” Dia terkekeh.
“Logie you’re such a whore” kata Logan tiba-tiba.
Kami semua serentak menoleh ke arahnya.
“Aku tak tahu kenapa mereka memanggilku whore. Memangnya
aku terlihat seperti itu apa.” Dia geleng-geleng kepala menatap layar iPhone
nya. Dia jelas sedang membaca mentionnya di twitter.
“Yeah.. mungkin mereka pernah melihatmu menunggu
pelanggang di pinggir jalan.” Jawab Kendall geli.
Kemudian dia dan Carlos ber-high five penuh kemenangan.
“Mereka tidak bermaksud begitu kok. Anggap saja itu
panggilan sayang.” Kataku pada Logan.
“Oh iya, aku lupa. Kau sering memata-matai fans.” Sahut
Logan.
“Bukan memata-matai,” belaku, “hanya coba mengetahui apa
yang sedang terjadi, tidak ada salahnya kan mencoba mencari tahu apa yang
mereka pikirkan tentang dirimu.”
“Aku tak peduli apa yang mereka pikirkan.” Seru James.
“As long as i could do what i want I couldnt care less
about what they think.” Kendall bangkit berdiri.
“Kau mau kemana?” tanya Carlos.
“Mengambil coke.
Kau mau ikut?”
“Yep.” Carlos melompat mengikutinya keluar.
“Bawakan aku satu.” Teriak Logan.
“Beres.” Balas Kendall dari depan pintu.
James mengangkat bahu acuh, menarikku ke pangkuannya. Aku
melingkarkan tangan di lehernya, menciumi pipinya.
“Oh please..” Logan mengerang, menutup matanya.
“Apa?” James menoleh bingung.
“Tidak bisakah kalian lakukan itu nanti? Setidaknya saat
tak ada orang di sekitar kalian?”
“Jangan salahkan aku kalau kau cemburu. Siapa suruh kau
masih betah menjomblo sampai sekarang.”
“Terserahlah, aku mau pergi saja.” Logan melangkah
keluar. “Oh jangan lupa pakai pengaman
dan please keep it clean. Aku tak mau sofa itu belepotan kau-tahu-apa.” Dia
berbalik, mengedipkan sebelah matanya pada kami.
“Logan!” aku memekik.
James tergelak, “tenang saja akan ku simpan kau-tahu-apa
itu untukmu. Siapa tahu kau butuh suatu saat, whore.”
Logan memutar bola matanya, lalu membanting pintu menutup
di belakangnya.
***
TBC
No comments:
Post a Comment