Tuesday, May 7, 2013

White Rose (Part 1)



Malam minggu kali ini aku bisa bersantai di rumah. Yeah.. akhirnya. Hari seperti ini hanya datang sekali dalam sebulan, kecuali liburan natal atau hari raya lain—dimana semua orang harus mendapat jatah libur karena kalau tidak itu termasuk tindakan melanggar HAM—aku bisa bersantai berminggu-minggu. Tapi bahkan terkadang, natalpun aku harus bekerja, mengisi acara di Times Square atau di pusat perbelanjaan elit atau bahkan di acara-acara tv yang bayarannya bisa dua kali lipat dari hari biasa., karena manajerku harus menambal kembali tabungannya yang dia habiskan untuk membeli hadiah natal. Tapi ya sudahlah. Aku akan menikmati malam ini, berdua dengan pacarku.

Kebetulan yang menyenangkan bukan. Pacarku—yang juga artis pop sepertiku—mendapat satu hari libur yang sama dengaku. Membuat hari ini lima kali lipat lebih indah. Tadinya kami berencana makan malam di luar. Tapi begitu mengingat papparazi yang mengendus kami seperti anjing. Aku mengurungkan niat, bisa-bisa malam yang harusnya kami nikmati ini berubah menjadi malam petaka. Dan James tak keberatan. Jadi disinilah kami, di ruang tamu apartemenku, menonton film lawas, ditemani semangkuk popcorn dan soda.

James menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Kau pernah memikirkan tentang masa depan gak?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengernyit, “kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”

“Gak ada.. hanya penasaran saja.” Dia mendongak, “pernah tidak?”

Aku tersenyum ke wajah malaikatnya, tanpa sadar membelai pipinya lembut.
“Yeah... sering.”

“Apa yang kau pikirkan?” dia menggengam tanganku yang menari di pipinya, mengecupnya lembut.

“Banyak hal.”

“Seperti?”

Aku terkekeh pelan, “kau kenapa sih? Tiba-tiba bertanya seperti ini.”

“Tidak ada.. hanya penasaran, serius.” Dia mengerjapkan matanya, seakan-akan bersumpah.

“Well.. aku berpikir akan seperti apa aku nanti, pekerjaanku, bagaimana aku bisa membahagiakan orang tuaku. Hal-hal membosankan seperti itu.”

“Oh.. kau tidak pernah memikirkanku?” dia menyunggingkan cengiran miringnya.

“Tidak.. seingatku tidak pernah.” Aku menggeleng, menggodanya.

“Oh baiklah.” Dia kembali memandang layar tv.

“Kau marah?” aku tersenyum geli melihat tingkahnya.

“Tidak.” Jawabnya singkat.

“Oh oke.”

Dan kami terdiam untuk beberapa saat, kembali menonton. Sampai kemudian menarik diri dariku dan duduk tegak di sampingku. Wajahnya ditekuk seperti anak kecil yang ngambek karena es krimnya direbut.

“Ayolah masa kau tidak pernah memikirkan ku? Sekali saja?” katanya merajuk.

Tawaku meledak. Dia sudah dua puluh dua tahun dan masih bertingkah seperti bocah. Oh pacarku tersayang.

“Apa yang lucu?” dia tambah merengut.

“James...” kataku setelah tawaku mereda, “memangnya kau percaya aku tidak pernah memikirkanmu? Tidak sekalipun? Kau selalu ada disini tahu.” Aku menunjuk pelipisku.

Dia tersenyum. “Aku tahu.”

Aku mencubit hidungnya gemas.

Dia menarikku mendekat, aku bersandar di dadanya. Mendengar detak jantungnya yang pelan dan teratur.

“Kau tahu aku sangat beruntung memilikimu.”

Aku mendengarnya berguman.

“Kita beruntung memiliki satu sama lain.” Aku mengoreksinya.

Aku bisa merasakan dia tersenyum, “yeah.. kau benar.”

“Bagaimana denganmu? Kau pernah memikirkan masa depan?”

“Hanya sekali?”

Aku menarik diri dari pelukannya. Menatap James penuh tanya.

“Kapan?”

“Saat aku bertemu denganmu.” Dia menatap mataku dalam-dalam, “Saat itu aku tahu kau masa depanku, dan hal lainnya menjadi tak begitu penting lagi.”

Aku meleleh. Coba saja, kalau pacarmu yang seperti dewa itu, yang tampannya luar biasa mengatakan hal seperti itu padamu. Kau pasti juga akan meleleh.

“Oh James..” hanya itu yang bisa aku katakan. Menunduk menyembunyikan wajahku yang pasti semerah tomat.

“Aku serius.” Dia mengangkat daguku, masih memandangku dengan pandangan itu. Dengan sorot lembut penuh sayang. Dia tak perlu bersumpah, aku tahu dia mengatakan hal yang sebenarnya.

“Kau harus berhenti membuatku tersipu, kau tahu.” Aku menatapnya galak.

“Kau cantik kalau tersipu.”

Aku memutar bola mata.

“Juga saat memutar bola matamu seperti itu.”

“James. Hentikan!”

Dia terkekeh.

“I love you.”

“I love you too.” Aku membalas.

“Boleh aku menciummu?”

“Perlukah kau bertanya?”

Dan dia mendekapku lagi. Menyatukan bibir kami berdua dalam satu irama lembut dan halus. Tidak ada ketergesaan. Hanya kami, mengecap rasa satu sama lain, lidah berdansa mengikuti tarikan nafas, keempat tangan meraba, menjelajah, menjamah bagian tubuh tersensitif. Dan semua itu semakin sempurna saat tubuh kami dipersatukan. Film yang tadinya kami tonton, terlupakan begitu saja.


***

Pertemuan pertama kami terjadi di belakang panggung suatu acara awards tahun 2011. James dan bandnya—Big Time Rush—baru selesai tampil, dan aku sedang bersiap-siap untuk naik ke panggung, membacakan nominasi. Aku sebenarnya sudah menyukai Big Time Rush sebelum ini. Sejak serial pertama mereka tayang, yang tidak sengaja aku tonton karena saat itu aku sedang bosan setengah mati di dalam bus turku dan sengaja memutar-mutar semua channel tv. Sejak saat itu lagu-lagu mereka selalu mengalun di iPodku. Tapi baru sekarang aku dapat kesempatan untuk bertemu mereka. Karena yah, kami kan sama-sama sibuk.

Untung bagiku karena ada jeda waktu tiga menit untuk iklan. Jadi saat mereka turun dari panggung aku langsung menghampiri dan berkenalan dengan mereka, sengaja berlama-lama mengobrol dengan Kendall. Karena yah aku akui, dialah alasan terbesar aku menyukai Big Time Rush. Bukannya aku tidak menyukai tiga cowok yang lain—James, Carlos, dan Logan—hanya saja saat pertama kali melihat mereka, mataku sudah terfokus pada Kendall.


Bolehkan. Maksudku, aku baru beberapa bulan putus dari mantanku, Joe Jonas, yang kepincut lawan mainnya di Camp Rock, a.k.a sahabatku sendiri, Demi Lovato. Dan parahnya mereka sama sekali tidak berusaha menjaga perasaanku, dengan menyembunyikan hubungan mereka. Malah mereka seperti menyorongkan hubungan itu di depan hidungku. Hanya dalam waktu tiga hari setelah kami putus, foto Joe berciuman dengan Demi di Cabo tersebar dimana-mana. Tidak ada kata “Maaf aku tak bermaksud merebut pacarmu” dari Demi. Tidak ada sama sekali. Dan sejak saat itu aku menghapusnya dari daftar teman. Aku tidak pernah menghubungi mereka lagi, aku bahkan meng-unfollow mereka di twitter. Dan album ketigaku, aku persembahkan untuk mereka. Aku menyindir mereka habis-habisan disana. Biar tahu rasa. Papparazi dan tabloid gosip seharusnya berterima kasih padaku, karena aku sudah memberikan banyak uang kepada mereka melalui skandal kecil itu.

Jadi wajar saja kalau kemudian aku agak bergenit-genit ria dengan Kendall. Aku butuh obat sakit hati. Dan Kendall terlihat sangat sempurna untuk itu. Bukan berarti aku ingin memanfaatkan Kendall. Hanya, yah.. bermain-main tidak ada salahnya kan.

Setelah itu aku jadi semakin sering menghabiskan waktu dengan mereka. Singkat tapi kami langsung menjadi sahabat. Aku bahkan di undang menjadi bintang tamu di salah satu episode serial tv mereka. Dan sejak saat itu semua berubah.

Aku merasa Kendall lebih sebagai kakak untukku. Dia orang yang harus kau cari saat membutuhkan nasihat atau saran. Dia selalu berpikiran positif tentang apapun.

Carlos sementara itu menjadi mood bosterku, dia selalu tahu caranya membuatku tersenyum sampai tertawa terpingkal-pingkal. Selalu ada untuk menyemangatiku.

Lalu Logan, dia dan aku sudah seperti Bonnie dan Clyde. Partner in crime, begitu kami menyebutnya. Logan tak pernah kehabisan ide untuk menjahili orang dan aku akan selalu disana untuk membantunya.

Dan James. Well... aku tak pernah menyangka sebelumnya kalau aku malah akan berakhir dengannya. Dia mengajakku kencan sekali, dan sejak saat itu aku jatuh cinta padanya. Aku tak tahu mengapa, aku hanya merasa nyaman di dekatnya. Dia romantis, dia selalu tahu apa yang harus dikatakan. Dan yang lebih penting, dia menyayangiku. Aku hanya berharap, hubunganku dengannya tidak berakhir seperti hubunganku yang terakhir.

***

“maaf tak sempat menunggu mu bangun, aku lupa hari ini ada rekaman. Telepon aku kalau kau sudah bangun. I love you, baby. Xoxo JM”

Aku menemukan catatan itu di meja makan keesokan paginya. Aku tersenyum sendiri membacanya. Mengambil telepon dan menekan nomor James, hanya pada deringan kedua James langsung menjawab.

“Miss me?”

Suara beratnya menyapaku.

“Sangat.” Jawabku manja.

“Aku juga.” Dia mendesah, “kenapa kau tidak kemari? Kau tidak kemana-mana kan hari ini?”

Aku berpikir sejenak, “tidak sih. Tapi aku sudah janji sama Taylor mau ke salon. Ini jadwal waxing kami.”

“Swift?” tanyanya.

“Yeah siapa lagi?”

“Aku tak suka kau bergaul dengan dia.”

“Dia sahabatku James. Lagi pula hanya karena dia menulis lagu tentang mantan pacarnya, bukan berarti dia orang jahat.”

“Aku tahu, tapi tetap saja. Mempermalukan orang seperti itu tidak baik.”

“Dia tidak mempermalukan, cowok-cowok itu pantas mendapatkannya.”

“Hey, aku cowok loh.”

“Yang bilang kau cewek siapa?”

“Ya sudahlah terserah, aku tidak mau bertengkar karena hal sepele macam ini, dan ini masih pagi, Rose.”

“Kau yang mulai.”

“Ya aku tahu maafkan aku. Jadi kau akan ke studio atau tidak?”

“Sehabis dari salon, ya.”

“Oke aku tunggu. I love you.” Dia menambahkan kecupan di akhir katanya.

“I love you too.” Lalu aku menutup telepon. Dan begitulah, argumen kecil kami terlupakan.

***

Lemparan kacang menyambutku begitu aku membuka pintu. Aku cuma geleng-geleng kepala melihat kekacauan di ruangan mungil itu. Gelas-gelas plastik kosong berhamburan, kulit kacang bertebaran di lantai, dan Kendall bersembunyi di belakang sofa menghindari Logan yang tangannya menggenggam penuh kacang, siap dilemparkan pada Kendall. Carlos tertawa terbahak-bahak dari balik bilik rekaman. Sementara James tak terlihat di mana pun.

“Kalian ini bikin lagu atau perang sih?” Aku beringsut ke sofa di pojok ruangan, bersebrangan dengan Kendall.

Kendall yang melihatku datang, melongokkan kepala dari sofa, melambai ke arahku.

“Hei Rose.”

Dan kesempatan itu langsung digunakan Logan untuk melemparkan segenggam kacang di tangannya. Telak mengenai wajah Kendall. Kendall jatuh terduduk, meringis kesakitan.

“WINNNEEERRR!!!” Logan berteriak layaknya pasukan yang memenangkan perang, sambil menari ala Dewi Persik kesengat listrik. Aku dan Carlos semakin terbahak melihatnya.

“Dasar sinting.”

“5-0 Kindle.” Ejek logan, menghempaskan dirinya di sampingku.

“Curang.” Kendall muncul dari balik sofa, wajahnya merah. “Rose mengalihkan perhatianku!” Kendall menunjuk ke arahku.

“Well.. aku kan tidak bermaksud begitu, lagi pula aku selalu ada di Team Logan jadi maaf-maaf saja ya.”

Logan dan aku kemudian ber-high five ria, ditingkahi dengusan Kendall.

“Hey ngomong-ngomong mana James?” tanyaku.

“Selingkuh.” Sahut Logan santai.

Aku melemparnya dengan bantal. Dia tertawa menghindar.

“Rose kau bawa pesananku?” Carlos keluar dari bilik rekaman, dan tanpa menunggu jawabanku, langsung membokar belanjaanku yang ku taruh di atas meja. Mencari pizza yang di pesannya.

“Yep, tak pernah lupa.” Kataku saat dia mengeluarkan sekotak pizza dan mencomot isinya, Kendall dan Logan ikut-ikutan berebut, membuat ku memutar bola mata melihat tingkah mereka.

Tepat saat itu pintu membuka, dan James masuk menenteng secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Dia tersenyum begitu melihatku.

“Hey babe. Kopi?” tanyanya sambil menyusupkan diri di antara aku dan Logan.

“Please.” Jawabku, meraih gelas yang disodorkannya.

“Kopi kami mana?” protes Carlos disela-sela kunyahannya.

“Tuh sana buat sendiri.” Jawab James cuek.

“Huh.. saudara macam apa kau.”

“Saudara yang cerdas yang tidak mau membiarkan saudaranya sendiri memperbudakinya.”

Carlos memutar bola matanya. Aku terkikik dari balik cangkirku.

“Jadi kalian sudah menyelesaikan berapa lagu?” aku menyerahkan kembali kopinya pada James.

“Tiga, untuk hari ini.” Kendall menggumam, “kau mau mendengarnya?”

“Uhm tidak terimakasih. Aku ingin menunggu sampai album kalian keluar.”

Carlos nyengir mengejek, “taruhan tiga hari lagi kau pasti merengek-rengek minta mendengar demo kami.”

“Tidak kalau kau tak terus-terusan menggodaku.”

“Kalau begitu aku tak akan berhenti menggodamu.”

“Carlos..” aku merengek, “you’re a jerk.”

“It has been said.” Dia terkekeh.

“Logie you’re such a whore” kata Logan tiba-tiba.

Kami semua serentak menoleh ke arahnya.

“Aku tak tahu kenapa mereka memanggilku whore. Memangnya aku terlihat seperti itu apa.” Dia geleng-geleng kepala menatap layar iPhone nya. Dia jelas sedang membaca mentionnya di twitter.

“Yeah.. mungkin mereka pernah melihatmu menunggu pelanggang di pinggir jalan.” Jawab Kendall geli.

Kemudian dia dan Carlos ber-high five penuh kemenangan.

“Mereka tidak bermaksud begitu kok. Anggap saja itu panggilan sayang.” Kataku pada Logan.

“Oh iya, aku lupa. Kau sering memata-matai fans.” Sahut Logan.

“Bukan memata-matai,” belaku, “hanya coba mengetahui apa yang sedang terjadi, tidak ada salahnya kan mencoba mencari tahu apa yang mereka pikirkan tentang dirimu.”

“Aku tak peduli apa yang mereka pikirkan.” Seru James.

“As long as i could do what i want I couldnt care less about what they think.” Kendall bangkit berdiri.

“Kau mau kemana?” tanya Carlos.

“Mengambil coke.  Kau mau ikut?”

“Yep.” Carlos melompat mengikutinya keluar.

“Bawakan aku satu.” Teriak Logan.

“Beres.” Balas Kendall dari depan pintu.

James mengangkat bahu acuh, menarikku ke pangkuannya. Aku melingkarkan tangan di lehernya, menciumi pipinya.

“Oh please..” Logan mengerang, menutup matanya.

“Apa?” James menoleh bingung.

“Tidak bisakah kalian lakukan itu nanti? Setidaknya saat tak ada orang di sekitar kalian?”

“Jangan salahkan aku kalau kau cemburu. Siapa suruh kau masih betah menjomblo sampai sekarang.”

“Terserahlah, aku mau pergi saja.” Logan melangkah keluar. “Oh  jangan lupa pakai pengaman dan please keep it clean. Aku tak mau sofa itu belepotan kau-tahu-apa.” Dia berbalik, mengedipkan sebelah matanya pada kami.

“Logan!” aku memekik.

James tergelak, “tenang saja akan ku simpan kau-tahu-apa itu untukmu. Siapa tahu kau butuh suatu saat, whore.”

Logan memutar bola matanya, lalu membanting pintu menutup di belakangnya.

***

TBC

No comments:

Post a Comment