Saturday, May 11, 2013

White Rose (Part 5- End)



Aku bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya. Berharap James akan menyambutku dengan ciuman selamat pagi. Tapi ternyata dia bahkan belum pulang.

Aku baru selesai membereskan bekas makan Fox saat mendengar suara mobilnya. Diikuti Fox yang berlari girang aku membuka pintu untuknya. Tapi kejutan menyambutku begitu pintu membuka.

Seorang gadis pirang, lebih tinggi beberapa senti dariku—karena sepatu hak super tinggi yang dipakainya. Memakai blouse biru cerah dan skinny jeans, tersenyum padaku begitu pintu mengayun terbuka.

Gelombang sakit hati langsung menghantamku. Ngapain James membawanya kesini?!

“Hey babe.” James menyeruak masuk, mencium keningku sekilas. “Ini Halston,” katanya menunjuk gadis itu. Yeah kayak aku tidak tahu saja. “Dia terpaksa ikut kemari karena tadi ada papparazi yang mengikuti kami.”

“Hay Rose..” Halston mengulurkan tangannya padaku, “senang bertemu denganmu akhirnya.”

Aku menyambut uluran tangannya. Memaksakan wajahku yang kaku untuk tersenyum, “yeah kau juga.”

Dia tersenyum manis sekali. Hampir sama seperti senyum memuakkan yang sering diberikan Mark padaku.

James membawanya masuk. Menyuruhnya bersantai di sofa.

“Anggap saja rumah sendiri. Aku akan mengantarmu pulang nanti, setelah aku mandi.”

“Oh tak perlu.” Kata Halston manja, “aku akan menelepon supirku dan menyuruhnya menjemput disini.”

“Baiklah, begitu lebih baik. Nah aku mandi dulu ya, ladies.” James tersenyum sopan ke arahnya. Jelas sekali dia tak mau berlama-lama berada di antara aku dan Halston. Dia kabur ke kamar mandi setelah sebelumnya memastikan Fox baik-baik saja.

Kecanggungan yang menjalar diantara aku dan Halston benar-benar tak mengenakkan. Untungnya Fox masih disana. Dia—yang memang selalu ramah kepada siapaun—menatap Halston penuh harap, seakan-akan gadis itu punya sekaleng biskuit yang disembunyikan di tasnya.

“Oh manisnya.” Halston mengelus-elus Fox. “Aku juga punya dua anjing dirumah. Milik saudariku sih, tapi dia sering tinggal bersamaku.”

“Eh...” aku tergagap tak tahu harus menjawab apa terhadap kata-katanya. “Yah James sayang sekali padanya.”

“Tak heran, aku juga pasti akan sayang banget sama anjing imut ini.” Dia mengatakannya seolah-olah hal itu sudah sangat jelas dan aku bodoh karena berkomentar seperti itu.

“Kau mau minum?” tawarku, tak tahu lagi apa yang harus aku katakan.

“Tak perlu repot-repot. Kalau aku haus akan aku ambil sendiri.”

“Oh oke.”

“Uhm Rose?” dia menatapku.

“Ya?” kataku mengawasinya.

“Aku cuma mau bilang, sorry untuk segala hal yang terjadi antara aku dan James. Aku ngerti kok kalau kau cemburu.”

Oh baguslah kalau kau mengerti. Kataku dalam hati.

“Tak apa kok. Lagian itu bukan salahmu.”

“Tapi kau tak perlu khawatir, aku dan James tidak berbuat yang aneh-aneh kok. Aku tak berani. Sudah liat komentar-komentar di twitter tentangku? Wah fans-fansmu ganas sekali ya.” Dia terkikik seperti anak kecil.

“Mereka hanya mencoba melindungiku.” Kataku datar, tak suka kalau fansku dijelek-jelekkan.

“Ya aku tahu. Tapi kau seharusnya bisa lebih mengontrol mereka. Jangan sampai mereka seperti sekumpulan manusia barbar yang tak tahu sopan santun.”

“Maaf, aku harus ke atas sebentar.” Kataku memotong Halston. Karena kalau aku bertahan bahkan semenit saja mendengar ocehannya. Aku tak bisa menjamin dia akan pulang dengan wajah mulus. Tak ada yang boleh menghina fansku. Tanpa menunggu persetujuannya. Aku langsung meninggalkannya, menyusul James di kamar.

James sudah selesai mandi begitu aku masuk. Dia sedang berdiri di depan lemari, memilih-milih baju hanya mengenakan selembar handuk untuk meutupi tubuhnya. Aku membanting pintu kesal, biar saja Halston mendengarnya.

“Kau ngapain bawa-bawa dia kemari sih? Gak bisa ya kau tinggalkan saja dia di pinggir jalan.”

James yang sepertinya sudah mengantisipasi kemarahanku, dengan tenang menjawab.

“Tak bisa dong. Kan kita ceritanya sedang dekat sekarang.”

Aku mendengus kesal, membanting diri di ranjang.

“Ayolah babe, dia tak seburuk itu kok.”

“Oh ya? Coba saja kau dengar bagaimana dia menjelek-jelekkan fansku. Aku pengen menggorok lehernya rasanya.”

James hanya geleng-geleng kepala, mengambil baju dari lemarinya dan mulai memakainya.

Aku menontonnya berpakaian, setengah melamun membayangkan tubuhnya yang seksi.

Dia menyeringai melihatku, “menikmati pemandangan ya kau?”

Walaupun masih kesal aku tak bisa menyembunyikan cengiranku, “yah kau terlalu indah untuk diacuhkan.”

Dia melepas handuknya, lalu dengan gerakan perlahan dan sensual memakai boxernya. Aku dibuatnya gemas, ingin aku langsung menariknya, berjongkok di depannya, membuatnya mendesah namaku. Tapi aku mengurungkan niat. Masih ada ular berbisa yang harus diurus di bawah sana.

James mengangkat sebelah alis melihatku, “ku benar-benar tak mau nih?” dia mengoyang-goyangkan pinggulnya.

“Nanti James. Sekarang aku benar-benar gak mood.”

Dia memakai jeans nya kemudian duduk di sampingku.

“Kau mau aku bersikap bagaimana?” tanyanya lembut.

“Entahlah. Tak ada, aku cuma benar-benar lagi bad mood sekarang.”

James menggenggam tanganku.

“Mark bilang, kalau aku bisa merampungkan albumku dalam sebulan dan memberikannya satu hit single dia akan menghentikan semua sandiwara ini.”

James menatapku tertarik “Itu berita bagus dong. Kau sudah tahu lagu mana yang akan kau jadikan single?”

Aku balas menatapnya, “sudah.” Aku menggaguk mantap.

“Bagus, jadi aku tak perlu menghadapi Rose yang cepat ngambek seperti ini.” Dia mencubit hidungku pelan.

Aku tertawa, “dan aku tak perlu melihatmu pulang membawa gadis lain lagi.”

“Ngomong-ngomong soal itu, sebaiknya kita turun. Aku tak mau dia menyusul kita kesini” James mearik tangaku keluar. Setengah hati aku mengikutinya. Aku juga tak mau dia naik kemari dan menginvasi kamar tidur kami. Well yeah kamar tidur James lebih tepatnya.

***

“Hey aku sudah menelepon supirku, dia akan menjemput sebentar lagi.” Seru Halston begitu aku dan James kembali.

“Bagus deh.” James tersenyum, “oh astaga, lancang sekali aku. Hals kau mau minum?”

“Aku sudah menawarinya tadi, tapi dia bilang gak perlu repot-repot.” Aku baru mau mengatakan itu, tapi Halston mendahuluiku.

“Tentu James. Kopi bolehlah, aku tak biasa minum-minuman keras pagi-bagi begini.” Lagi-lagi dia mengeluarkan kikikan anak kecilnya.

Aku menatapnya tak percaya. Apa yang terjadi dengan “Tak perlu repot-repot. Kalau aku haus akan aku ambil sendiri.”? Kenapa dia berubah begitu manis di depan James?

Oke aku mungkin terlalu berburuk sangka. Mungkin saja dia tak enak kalau menolak tawaran tuan rumah kan. Bagaimanapun aku bukan tuan rumah yang sah disini, jadi dia tak merasa terlalu bersalah ketika harus menolak kesopananku.

James tersenyum, kemudian beranjak ke dapur. Aku mengekor di belakangnya, tak mau ditinggal berdua saja dengan Halston.

“Kau tahu aku sudah menawarinya tadi, kan?” desisku, saat karena kami di dapur.

“Oh ya?” jawab James acuh, sambil menyalakan mesin pembuat kopi.

“Yeah dia bilang ‘tak usah repot nanti aku ambil sendiri’” aku menirukan gaya Halston.

“Mungkin dia berubah pikiran.” James memandangku tak sabar, “ayolah babe, jangan berprasangka begitu. Halston itu baik. Kau terlalu cemburu sehingga tak bisa melihatnya.”

Aku mau membantah, tapi mengurungkan niat. Yah James benar, aku mungkin saja terlalu dibutakan kecemburuan sampai tak bisa melihat sisi baik Halston. Dan lagipula kalau dipikir baik-baik, dia tak pernah sekalipun bersikap kasar padaku—kecuali menghina fansku, yang untuk saat ini bisa aku maafkan karena terkadang fansku memang keterlaluan—justru sebaliknya dia bersikap atau setidaknya mencoba, bersikap bersahabat kepadaku.

Ciuman James menarikku dari lamunan. Dia menciumku pelan dan lembut, seolah-olah menenangkan.

“Santai, oke.”

Aku mengangguk.

James membawa tiga cangir kopi kembali ke ruang tamu. Dia duduk di sofa berhadapan dengan Halston, dan aku duduk di sebelahnya. Fox langsung melompat ke pangkuan James.

Kami mengobrol—atau lebih tepatnya James dan Halston yang mengobrol, aku cuma sesekali ikut—hampir satu jam lamanya—yeah aku menghitung bahkan ke menit dan detiknya—sampai kami mendengar suara mobil di luar.

“Oh itu pasti sopirku.” Halston bangkit dengan anggun.

James dan aku ikut mengantarnya keluar. Dia mencium kedua pipi James sebelum masuk ke mobil, tapi padaku dia hanya melambai. Aku mencoba sekuat tenaga menahan dengusan. Tak bisa tak mengambil kesempatan rupanya dia.

“Nah dia sudah pergi.” James merangkulku kembali masuk k rumah. “Sekarang kau bisa tersenyum lagi.” Dia menggodaku.

Tapi aku tak tersenyum.

James menghela nafas. “Sini biar aku hibur kau.”

Dia menarikku ke pianonya, mengajakku duduk di sebelahnya.

Perlahan dia memainkan sebuah lagu.

High dive into frozen waves
where the past comes back to life
Fight fear for the selfish pain
And it's worth it every time
Hold still right before we crash
Cause we both know how this ends
our clock ticks till it breaks your glass
And I drown in you again

Cause you are the piece of me
I wish I didn't need
Chasing relentlessly
Still fight and I don't know why

If our love is tragedy why are you my remedy
If our love's insanity why are you my clarity

walk on through a red parade
And refuse to make amends
It cuts deep through our ground
And makes us forget all common sense
Don't speak as I try to leave
Cause we both know what we'll choose
If you pull, then I'll push too deep
And I'll fall right back to you

Berhenti sebentar menatapku dalam-dalam.

Cause you are the piece of me
I wish I didn't need
Chasing relentlessly
Still fight and I don't know why
If our love is tragedy why are you my remedy
If our love's insanity why are you my clarity

Aku terharu, benar-benar terharu sampai tak bisa mengucapkan apapun. Lagu itu, permainanya, tatapan matanya begitu indah. Semua kekesalan, kemarahan, kecemburuanku lenyap tak berbekas.

Aku memeluknya, terisak di dadanya.

“Hey kenapa menangis?” James membelai punggungku.

“Aku... Kau... lagu itu manis sekali.” Aku menggumam tak jelas.

Dia mendekapku lebih erat. “Kau tahu seberapa besar aku mencintaimu, Rose. Bahkan lagu cinta paling romantis sekalipun tak bisa mewakilinya. Cintaku terlalu dalam, terlalu indah, terlalu tulus untuk dilukiskan dengan kata-kata.”

“Oh James..” aku terisak makin kencang, membasahi bagian depan kausnya dengan air mataku.

“Aku cuma minta kau percaya padaku, seperti aku mempercayaimu. Aku tak mau kau terlalu cemburu, itu membuatku merasa kau tak mempercayaiku dengan tulus.”

“Aku percaya.” Kataku, “maaf aku tak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku memang bodoh.”

“Kau tidak bodoh sayang. Aku mengerti, kau takut kehilanganku. Dan jujur saja aku menikmatinya. Tapi aku juga tak mau kau cemburu terus-terusan sampai bersikap agak yah menjengkelkan. Kau tahu, aku tak akan pernah bisa mencintai orang lain selain dirimu.”

Aku tersenyum, mengangkat wajahku memandangnya.

Dia mencium bibirku lagi. Sama sekali tak keberatan dengan pipiku yang basah karena air mata.

“Mau main? Aku butuh belaian.” Dia menyeringai nakal.

Aku tertawa tertahan, “apapun. Aku siap memuaskanmu.”

Dan dengan begitu dia menggendongku ke kamar.

***

Studio.

Aku sudah punya lagu bagus yang benar-benar menggambarkan kondisiku saat ini, untuk direkam. Toby, produser musik dan sekaligus kepada siapa aku berkonsultasi tentang pembuatan lagu, mengamati secarik kertas yang penuh dengan corat-coret lirik lagu baruku.

“Kenapa ya aku merasa kau menyindir Mark cs di lagu ini.” Dia menatapku menahan senyum.

“Memang.” Sahutku enteng, “lagu itu juga buat James.”

“Jadi lagu ini yang akan kau jadikan single pertama? Bukan lagu yang satunya?”

Aku mengangguk mantap, “dan nama albumnya juga kuganti.”

“I see...” Toby menggumam. “Kau tahu ini salah satu penyebab kenapa kau jadi favoritku. Kau tak takut bertindak, tidak melulu mengikuti apa yang mereka suruh padamu. Kau punya style.”

“Ah.. Toby terimakasih. Dan kau produser favoritku juga.”

“Aku tahu.” Dia tertawa, “jadi langsung rekaman?”

“Yap.” Aku masuk ke bilik rekaman dengan semangat. Memasang headphone rapat-rapat.

“Kau beri judul apa lagu ini?”

Aku mendengar suara Toby dari headphone yang aku kenakan.

“White Rose.” Kataku ke microphone di depanku. “White Rose.”

Toby mengangkat jempolnya sebagain jawaban. Setelah menghitung 1,2,3 tanpa suara, musik terdengar, dan aku mulai bernyanyi.

***


“Aku benar-benar tak sabar untuk kalian mendengarnya. 2 hari lagi #WhiteRose.”

Begitu tulisku di twitter. Fansku—yang walaupun masih saja mengungkit-ungkit masalah Aku, James, Jesse, dan Halston—terlihat sangat gembira menyambut kabar ini. Cepat saja hashtag itu menjadi trending topik di twitter. Aku tak bisa menyembunyikan cengiranku. Akhirnya setelah berhari-hari menghilang dari twitter aku bisa kembali dan menyampaikan kabar gembira, bukannya kabar bohong.

Mark sudah kuberi tahu soal ini dan dialah yang mengatur agar single pertama dari album keempatku ini dirilis dua hari lagi. Dia sudah mendengar demoku tentu saja, tapi tak menunjukkan ekspresi tersinggung sama sekali walaupun jelas-jelas aku menyindirnya di lagu itu—Taylor yang aku beritahu tentang ini semua bersorak senang. “Biar tahu rasa mereka. Oh aku tak sabar mendengarnya. Bisa kau kirimkan aku demonya babe?”—Mark hanya tersenyum cerah dan tak henti-hentinya berkata “Fantastis... fantastis...”

“Kau tak lupa janjimu kan. Lagu ini menjadi hit dan kau menjauh dari kehidupan cintaku.” Aku mengingatkannya.

“Tentu.. Tentu..” dia mengangguk-angguk senang. “Tapi sebelum itu satu skenario lagi, yah sekedar untuk menaikkan peminat di lagumu.”

Aku menyipit curiga memandangnya, perasaanku langsung tak enak. “Apa maksudmu?”

“Aku sudah mengatur agar foto James dan Halston berciuman tersebar di internet.” Dia mengatakannya dengan nada biasa, seolah-olah membicarakan cuaca cerah diluar.

“Kau APA???” Aku tak bisa menahan jeritanku. Tanganku sudah di tengah jalan untuk mencekik lehernya sebelum aku menariknya kembali.

“Santai saja, Rose. Memangnya James tidak menceritakannya padamu?”

Aku menggeleng, kehabisan kata-kata.

“Oh well.. tapi aku sudah bilang kan.” Dia mengedikkan bahu.

Aku memilih meninggalkannya. Sebelum aku benar-benar mencekiknya dan membuat keadaan semakin buruk.

James berusaha meneleponku setelah aku mengiriminya sms;

“bgmn ciumannya? Pasti asyik ya!”

Tapi aku tak mengangkatnya. Tak juga membalas sms balasannya. Dia memohonku agar aku mau bicara dengannya tapi aku tak menggubris. Sampai malam ini. Aku yakin dia masih mencoba menghubungi ku disela-sela syutingnya, tapi aku mematikan handphoneku.

Aku tahu, tak benar marah padanya. Sekali lagi ini bukan salah James. Tapi aku tak bisa mengenyahkan gambaran James berciuman dengan cewek itu—aku sudah melihatnya di internet. Bagaimana James memeluk pinggangnya yang ramping, menekankan tubuhnya pada tubuh Halston, menciumnya dengan nafsu yang terlihat jelas. Ugh bahkan mengingatnya saja membuatku jijik setengah mati.

James pacarku. Milikku. Tak boleh ada yang menciumnya selain aku.

***

Aku sedang membuat teh pagi itu ketika mendengar pintu apartemenku dibuka dan sesorang melangkah masuk. Belum sempat aku mengambil sesuatu untuk membela diri—karena siapa tahu itu pembunuh maniak yang siap mencincangku kan—orang itu sudah berdiri di belakangku.

“Kau tahu kau tak bisa menghindariku selamanya,kan?” kata James dingin.

Aku membeku di tempatku, membelakanginya. Sial aku lupa dia punya kunci cadangan.

“Rose..” tuntut James karena aku tak membalas kata-katanya. Dia mendekat ke arahku, membalikkan badanku agar berhadapan dengannya. Tapi aku menunduk, menghindari kontak mata.

“Rose... kau gak bisa diam terus. Kita harus bicara.”

Aku bergeming.

“Demi Tuhan Rose.” James mencengkram lenganku. Membuatku mendongak menatapnya, dia kelihatan sangat lelah. Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya. Dia pasti belum tidur sama sekali.

“Kau kenapa sih? Gak bisa ya kita bicara baik-baik? Aku sengaja memberikanmu waktu semalaman untuk menenangkan diri, menjernihkan otakmu. Dan kau masih seperti ini juga?”

“Kau menciumnya.” Desisku.

“Karena aku disuruh!” James kelihatan mulai habis sabar. “Kapan sih kau bisa mengerti kalau semua itu tidak nyata. Aku tidak menyukai Halston. Kapan kau berhenti cemburuan seperti ini. Katanya kau percaya padaku!” serunya gusar.

“Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya? Kenapa aku harus tahu itu semua dari Mark?” Balasku sengit.

“Karena aku tahu kau bakalan ngambek seperti ini. Kau pasti gak mau mendengar—“

“Oh jadi menurutmu, lebih baik aku tahu sendiri dan tiba-tiba saja melihat fotomu berciuman dengan cewek lain tersebar di internet begitu.” Aku memotong, “kaukira begitu lebih baik?”

“Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya—“

“Tentu saja kau tidak bermaksud begitu.” Aku mendengus.

“Kenapa kau jadi menyalahkan semuanya padaku sih? Kalau bukan karena publicist mu yang kurang kerjaan itu hubungan kita tak akan menjadi serumit ini!” balas James sinis.

“Jadi sekarang kau menyalahkanku?”

“AKU TIDAK MENYALAHKANMU!” dia menghardik. Aku terperanjat mendengar nadanya, belum pernah aku melihat dia marah seperti ini.

“Aku tidak menyalahkanmu, oke.” James melanjutkan, dengan suara yang lebih lembut. “Hanya saja, kau terus-terusan marah padaku atas semua ini. Ini tak adil buat ku tahu. Aku juga tak menginginkan ini semua, aku juga korban disini. Dan kau seolah-olah melimpahkan kesalahan padaku.”

Aku memalingkan wajah, tak sanggup memandangnya. Dia benar. Ini tak adil buatnya. Ini bukan salah James, seperti yang sering aku katakan pada diriku sendiri. Tapi aku terlalu marah untuk mengakuinya.

“Kau bilang kau percaya padaku, ingat? Aku mau pembuktian dari kata-katamu, Rose.”

Aku masih terdiam.

“Baiklah.” James melepas cengkramannya, karena tak ada tanda-tanda aku akan membalasnya. “Terserah kalau memang begitu maumu.”

Dia melangkah pergi.

“Kau mau kemana?” kata-kata itu meluncur tanpa bisa kutahan, ketika dia sudah hampir melangkah keluar.

“Pulang. Aku tidak diharapkan disini.”

Tatapan sakit hatinya menyayat hatiku, tapi aku tak bisa menahannya karena tanpa menungguku mengucapkan apa-apa lagi dia menutup pintu, meninggalkanku menyesali kebodohanku sendiri.

***

Hampir 48 jam dan laguku masih bertahan di peringkat pertama iTunes chart sebagai lagu yang paling banyak di download. Dan juga mulai merangkak naik di chart-chart musik lainnya, juga di radio-radio.

Mark, Rachel, Toby, dan selusin orang lain yang bergabung dalam tim ku sedang berpesta di ruang rapat kantor Mark, menyesap wishkey dengan wajah puas. Tapi aku tak tertarik bergabung. Oh aku senang tentu, karena laguku bisa sukses seperti itu, Mark mendapatkan apa yang dia inginkan—artinya aku tidak harus berurusan dengan kebohongannya lagi—dan juga tak lupa berterima kasih kepada fansku. Banyak teman-teman artisku yang sudah mengucapkan selamat, termasuk Kendall, Logan dan Carlos, tanpa James.

Yah, aku belum berbicara lagi dengannya sejak saat itu. Dia tak pernah mencoba menghubungi ku, dan aku takut untuk menghubunginya duluan. Aku takut kalau dia malah mengatakan bahwa hubungan kami sudah berakhir dan dia tak mau aku mengganggunya lagi. Tidak, aku tidak bisa.

“Rose honey mari sini, nikmati kemenanganmu, nikmat uang yang mulai sekarang akan mengalir ke kantongmu.” Mark memanggilku dari kursinya, mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. Mukanya bersemu merah karena mabuk.

Aku hanya memutar bola mata melihatnya.

“Aku mau pulang.” Kataku bangkit mengambil jaketku yang disampirkan di dekat pintu.

“Pulang? Kenapa cepat sekali sayang. Kita baru saja mulai.” Mark cegukan.

“Tidak, aku sedang tidak ingin berpesta, Mark. Yuk semua.” Aku melambai pada orang-orang disana, yang hanya mengangguk menanggapi ku. Kemudian keluar menuju mobilku. Tak ada yang lebih aku inginkan selain berendam di air hangat lalu naik ke tempat tidur.

Aku terkejut begitu membuka pintu, menemukan sebuket besar mawar putih tersusun indah di meja. Aku mengangkat buket itu, mencium mawarnya. Wangi. Dan disana, terselip di antara mawar, selembar kartu yang juga berwarna putih.

“I’m tired of people telling me what is right and what is wrong,
‘cause baby when I’m with you there’s only love
So I give you this White Rose
To tell you that I’m always yours.”

Itu sepenggal lirik dari lagu baruku, tertulis rapi dengan tulisan tangan yang sudah sangat kuhapal.

“Aku bangga padamu.”

Seseorang berkata di belakangku. Aku berbalik cepat sekali, lalu berlari memeluknya.

James menyambutku hangat. Dirangkulnya diriku, mengangkatku sedikit lalu kami berputar pelan. Tertawa.

“Oh James... James... James...” senandungku, menciumi setiap senti wajahnya. “I miss you so much!”

“I miss you too baby.” Dia menurunkanku, “lebih dari yang bisa kau bayangkan.”

“Maaf.. Maaf atas semuanya. Semua salahku, aku memang bodoh aku gak seharusnya marah sama kamu. Aku—“

Dia memotongku dengan ciuman. Dalam dan panas. Ciuman kami, ciuman lembut dan basah yang sangat kurindukan.

“Lupakan.” Engahnya, ketika akhirnya bibir kami terpisah, “lupakan semua. Aku tak mau mengingat-ingatnya lagi.”

Aku tersenyum. Bibirku kesemutan di tempat tadi dia menghisapnya, panas karena ciumannya.

“Kau milikku.” bisikku pelan.

“Milikmu.” Ulangnya.

“Selamanya.”

“Selamanya.”

Dan James menciumku lagi, seolah-olah sedetik saja yang dihabiskan tanpa menempelkan bibirnya di bibirku adalah waktu yang terbuang sia-sia.

“Mereka datang sebentar lagi.” Gumamnya tak jelas disela-sela ciumannya.

“Siapa?” bisikku.

Tapi belum sempat James menjawab, gedoran di pintu menginterupsi kami.

“Yooo Rosie buka pintu.” Aku mendengar suara Logan, “cepat-cepat pakai baju atau kami akan mendobrak.”

Aku tertawa geli mendengarnya, James melepaskan ku. Merapikan pakaiannya sebentar kemudian beranjak membuka pintu.

“Hay, kuharap kami tidak mengganggu.” Cengir Carlos nyelonong masuk.

“Oh pakaian kalian masih lengkap? Kukira sudah tercerai-berai kemana-mana.” Kata Logan menyusul Carlos.

Aku mendelik kearahnya, “ kalian ngapain disini?!”

“Pesta Rose.” Kendall melambaikan selusin bir kaleng di tangannya, “kau tak berpikir untuk merayakan single mu sendirian kan.”

Aku menatap James, dia mengangkat bahu seolah berkata “Aku kan tak bisa mencegah mereka.”

Tapi toh aku tak keberatan, aku juga kangen mereka.

James duduk di samping Logan di sofa dan aku duduk di bawah, bersandar di kaki James.

“Kau kemana saja Rose. Scott nitip salam, katanya set sepi tanpamu.” Kata Kendall sambil membagi-bagikan bir. Scott adalah produser serial tv mereka, yang sering aku dan Logan kerjai kalau aku berkunjung ke lokasi syuting mereka.

“Dan aku kalah terus main spit ball dari Dustin. Mereka bersekongkol melawanku, dan kau tidak ada untuk membelaku.” Dia menunjuk teman-temannya yang terkekeh geli. Aku ikut terkekeh.

“Ya maaf deh, aku kan sibuk. Ngomong-ngomong soal Dustin, mana dia?”

“Oh dia datang.” Kata Carlos sambil memasukkan kaset dvd ke pemutarnya, Les Misérables. “Tapi dia masih ada urusan.”

Aku mengangguk. Perasaanku benar-benar bahagia sekarang. Aku bahkan tak keberatan saat Kendall dan Logan mulai mengotori karpet dan sofaku dengan melempar-lempar makanan. Pacarku sudah kembali, tak ada lagi Mark yang akan menggangu hubungan kami. Disinilah tempat seharusnya aku berada, dikelilingi orang-orang yang aku sayangi.

***


FIN


~Comment pleaseeeee :)~

No comments:

Post a Comment