Saturday, August 10, 2013

Here Comes Goodbye



Ini merupakan sekuel dari Wake Me Up (kalau belum baca, silakan klik disini). Waktu itu ada yang komen, kok ceritanya nanggung banget, jadi saya buat sekuelnya. hehe yah walaupun rasanya maksa banget sih... soalnya ditulis ditengah-tengah writer's block yang menyerang. anywaaay... kedua fanfiction/cerita ini judulnya saya ambil dari lagu Rascal Flatts; Come Wake me Up, dan Here Comes Goodbye... lagunya cocok buat yang lagi galau :p

oke sekian dari saya...
enjoy <3

---ooOOoo---

James bisa mendengar derak kerikil ketika dia menghentikan mobilnya, suara itu terdengar asing,  biasanya dia selalu memutar radio ketika berkendara. Namun tidak kali ini. Dia mematikan mesin mobil, tapi tak langsung keluar. Dia bersandar di kursi kemudi, menarik nafas pelan. Menoleh ke kursi penumpang di samping, dimana sebuket bunga lili terbungkus rapi nan cantik. James meraihnya, dipeluknya bunga itu. Matanya tiba-tiba memanas. Emosinya terkumpul bersiap untuk tumpah tapi kali ini dia sudah bisa mengendalikannya. Dia sudah berjanji tak akan menangis lagi.

 James menarik nafas panjang, berusaha menenangkan diri. Baru ketika dia sudah merasa siap, dibukanya pintu mobil. Sebuah senyum terlukis di wajahnya. Didekapnya bunga lili itu di dada, seakan-akan bunga itu adalah hartanya yang paling berharga. Dan dengan langkah pelan dia berjalan ke tempat dimana diyakininya, Hannah sudah menunggu.

Hannah menoleh begitu mendengar langkah kaki mendekat, lalu tersenyum saat melihat James berjalan ke arahnya, mendekap sebuket bunga lili favoritnya. Dia tak beranjak dari tempat duduknya, dibawah pohon rindang berlindung dari terik matahari.

Hannah mengawasi setiap gerak James, kali ini dia bisa melihat James tersenyum, bukan senyum sedih menyayat hati yang selama ini Hannah lihat dipaksakannya tetapi senyum tulus, penuh cinta. Senyum yang dulu James selalu berikan untuknya. Sudah lama sekali rasanya sejak dia terakhir kali melihat senyum itu di wajah James. Dan dari senyum itu Hannah tahu, ini sudah saatnya.

“Hai..” Sapa James begitu mencapai tempat Hannah.

“Hai..” balasnya lembut.

James berjongkok di sampingnya, “aku kembali.” Bisiknya.

Hannah mengangguk.

“Maaf kalau aku membuatmu menunggu.” Lanjutnya.

Hannah tersenyum, “tak apa aku sudah terbiasa.”

James menghela nafas pelan, dia hanya terdiam memperhatikan Hannah.

“Kuharap kau tak bosan melihatku terus,” katanya sejurus kemudian. “Karena tak banyak yang bisa aku lakukan sejak... sejak kau...” James tak meneruskan kata-katanya. Hannah bisa melihat dia berjuang melawan tangis. Tapi laki-laki itu tak menyerah. Dia tak mau tangis mengalahkannya, sekuat tenaga dia mendorong kembali bola bisbol yang menggajal tenggorokannya. Menarik nafas, menyingkirkan beribu-ribu pisau berkarat yang terasa menyayat hatinya.

Sudah seminggu, tapi James masih bisa merasakan rasa sakit menghantamnya, seolah-olah setiap kali dia memikirkan hal itu, lukanya ditarik membuka seratus kali lebih lebar. James masih sering hilang kendali, masih sering menangis terisak seperti bayi. Tapi kali ini dia sudah lelah. Lelah disiksa oleh rasa sakit, lelah dipermainkan oleh nasib, lelah mengeluarkan air mata. Dia ingin melawan semua itu, dia ingin kembali menjadi James yang dulu, karena memang ini sudah saat nya.

Hannah memperhatikan James melamun, ingin sekali dia mengintip ke dalam pikiran lelaki itu. Melihat apa yang sedang dipikirkannya. Biasanya James tak pernah sediam ini. Dia selalu berbicara, walupun air mata mengalir deras dari kedua mata indahnya dia tak akan berhenti. Dia akan menceritakan semua hal yang ada dipikirannya, walaupun hal sepele macam sarapan apa yang dimakannya. Hannah suka mendengar suara James, tapi benci melihatnya menangis. Sekarang, melihat tak sebulir air matapun jatuh sejak dia tiba, Hannah sedikit merasa senang, tapi juga bertanya-tanya, sudah siapkah dirinya?



“Well... kubawakan kau bunga kesukaanmu.” James tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Hannah memperhatikannya menaruh bunga lili itu disampingnya, bersamaan dengan bunga-bunga lain yang setiap hari dibawanya sejak seminggu yang lalu. James menyingkirkan bunga-bunga yang sudah mulai layu, dan menata kembali bunga-bunga yang masih segar. Melihat ini Hannah tak bisa menahan senyum, satu hal yang tak berubah dari James yaitu sifat perfectsionissnya. Dia tak bisa melihat satu saja hal kecil mengganggu pandangannya.

Pikirannya berkelana ketika pertama kali James menemuinya di tempat ini. James yang dulu dikenalnya sangat kuat dan tabah, jatuh terpuruk. Dan itu semua karena Hannah.

Dia masih mengingat jelas kata-kata James saat itu.

“Terkadang Tuhan memang tak adil, iya kan. aku menghabiskan setahun menanti keajaiban, berdoa, memohon agar Dia mengembalikanmu. Tapi Dia tak mendengarku. Dia mengambilmu dari ku, Hannah. Dia merenggut hidupku.” kali itu James tak bisa menahan emosinya. Air mata mengalir deras seiring nafasnya yang memburu. James menangis sesegukkan. Dia menumpahkan semua kesedihannya, memeluk batu nisan Hannah erat. Bahunya berguncang tak terkendali, suara isakannya benar-benar memilukan. Hati Hannah perih menyaksikannya. Sudah terlampau sering dia menyiksa James. Seharusnya dia tak menyeret pria itu ke dalam kehidupannya. Seandainya Hannah tahu akan begini jadinya, dia tak akan mengatakan ya saat James melamarnya dulu. Karena bukan kisah indah seperti di dongeng yang mereka jalani sesudahnya. Melainkan hidup penuh derita dan cobaan, terlebih saat James harus merelakan Hannah pergi untuk selamanya.

Dan sejak saat itu, James selalu kembali. Setiap hari, hanya untuk terduduk dan menangis lagi di pusara Hannah. Membuat hati Hannah perih melihatnya, sering kali tangannya sudah setengah jalan terjulur ingin membelai punggung James, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia tak bisa menyentuh James lagi sekarang.

“Hannah...”

Hannah mendongak mendengar namanya tiba-tiba dipanggil.

“Aku sudah banyak berpikir, tentang mu; tentang kita.” Kata James, “aku tahu kau sedang mengawasiku dari atas sana. Aku tahu kau sedih melihat ku seperti ini, terpuruk dalam kesedihanku karena kehilanganmu. Tapi Hannah, tak ada yang bisa aku lakukan. Kau hidupku, aku menyayangimu lebih dari hidupku sendiri. Akan selalu begitu.

“Kau tahu, dulu saat aku menghadiri pemakaman kedua orang tuaku, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan lagi menyaksikan hal seperti ini terjadi. Aku tak ingin lagi menyaksikan orang yang aku sayangi diambil dariku. Aku tak mau lagi menghadiri pemakaman. Tapi Tuhan berkata lain, entah karena Dia menyayangiku atau mungkin Dia membenciku sampai tega menghukumku seperti ini.” Dia terkekeh pelan

“Walaupun begitu aku sudah tak menyalahkan-Nya lagi. Aku tahu dia menjagamu disana, Dia terlalu menyayangimu sampai tak kuat lagi kalau harus menunggu untuk bertemu denganmu.”

Kali ini, Hannah yang menangis. Air mata mengalir menuruni pipinya. Kata-kata James terdengar seperti rangkaian ucapan selamat tinggal yang selama ini tak mampu Hannah ucapkan. Dan ini memang sudah saatnya.

Hannah tahu, keberadaannya disini hanya akan memperburuk keadaan James. Bagaimana James bisa merelakannya pergi kalau dia masih membayang-bayanginya? Hannah sudah sering mendengar suara-suara, memberitahunya bahwa waktunya sudah tiba. Dia harus meninggalkan James, melanjutkan perjalannanya ke tempat yang lebih indah. Tapi Hannah belum sanggup. Dia selalu berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa alasan dia belum bisa pergi adalah karena James masih belum bisa melupakannya. Sekarang Hannah tahu, bukan itulah alasan yang sebenarnya.. Hannahlah yang selama ini belum bisa melupakan James, belum bisa meninggalkan lelaki itu, belum bisa menerima kenyataan dia sudah tak bisa bersama James lagi. Dan sekarang, James sudah siap mengucapkan selamat tinggal, Hannah tak punya alasan lagi untuk berada disini, dia juga harus merelakan James, membiarkannya hidup bahagia walau tanpa dirinya.

“Terimakasih James..” bisik Hannah, “kita akan bertemu lagi. Aku akan terus mengawasimu dari singgasanaku di atas sana. Aku tak akan melupakanmu.”

James tersenyum, seakan dia bisa mendengar kata-kata Hannah.

“Kau akan terus hidup di hatiku, baby. Selamanya, tak akan ada yang bisa menggantikanmu.”

Hati Hannah menghangat mendengarnya. Dia melihat cahaya itu lagi, lebih terang dari sebelumnya. Hannah berjalan ke arahnya, ada perasaan hampa yang memenuhi hatinya, tapi sebentar kemudian perasaan itu digantikan kebahagian, dia sudah menemukan tempat dimana dia seharusnya berada.

Hannah menoleh sekali lagi ke arah James, “Goodbye James.” Katanya, dan dengan diiringi senyum perpisahan dia menyeberang kedalam cahaya.

James memandangi tempat dimana Hannah tadi menghilang. Rasa sakit itu meremasnya erat, tapi disana terselip sedikit rasa lega. Hannah sudah tak tersiksa lagi sekarang, belahan jiwanya itu sudah bisa beristirahat dengan tenang. Terkadang mengikhlaskan bukan berarti melupakan, dan James tahu bahwa dia tak akan pernah melupakan Hannah, tak peduli kisah manis mereka hanya bertahan sebentar, Hannah akan selalu menjadi ratu dihatinya.

Perlahan James bangkit dari duduknya. Matahari senja sudah mulai mengintip di ufuk barat. Sebelum pergi dia membelai nisan Hannah sekali lagi. Sebuah ucap perpisahan keluar dari bibirnya.

“Goodbye Hannah.”

***





No comments:

Post a Comment