Saturday, May 11, 2013

White Rose (Part 4)



“Morning sunshine.” Sebuah suara berbisik di telingaku.

Aku tersenyum, bahkan sebelum membuka matapun aku tahu siapa pemilik suara itu.

“Hai..” kataku serak, membuka mata perlahan.

James balas tersenyum kepadaku, sebelah tangan menopang kepalanya. Dia hanya memakai singlet putih, memperlihatkan otot-otot lengannya, seksi.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku sambil menguap.

“Setengan tujuh.” James melirik jam beker di samping tempat tidur.

“Jam berapa kau pulang semalam?”

“Sekitar jam dua.”

“Kenapa tak membangunkanku?”

“Aku tak tega, kau tidur nyenak sekali sih. Bahkan Fox saja tak tega membangunkanmu.”

Dan seolah-olah sudah diberi ijin, Fox melompat ke arahku, dijilatnya leherku penuh sayang, sebelum mendengkur damai di dadaku.

“Ah.. dan sekarang dia mencuri ciuman selamat pagiku.” James mendesah kemudian menempelkan bibirnya di bibirku.

Aku terkikik geli. Menariknya sekali lagi, menciumnya lebih dalam.

“Itu ciuman selamat pagi dariku.”

Dia nyengir, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajahku.

“Hari berat kemarin?” tanyanya pelan.

Senyum diwajahku langsung hilang. Sekarang saat aku berada disini, bergelung nyaman di pelukannya, kejadian kemarin serasa seperti mimpi buruk. Tapi tentu saja itu bukan mimpi. Dan akan berlanjut entah sampai kapan.

James agaknya menyadari perubahan wajahku. Dia mendekatkan posisinya, memeluk ku dan Fox—yang masih santai di dadaku, dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang satunya disusupkan ke bawah kepalaku sebagai bantal.

“Kau sudah baca beritanya?” kataku, melarikan jemariku di dada bidangnya.

James mengecup puncak kepalaku sebelum menjawab, “yah tak perlu repot-repot membaca situs-situs gosip itu, twitter sudah dengan baik hati menceritakan semua padaku. Dan rupanya saat ini aku sedang jadi cowok brengsek nomor satu di dunia.” Dia terkekeh pelan.

“Kau bukan.” Kataku tegas, menatap matanya. “Kau cowok termanis, terlembut, teromantis yang pernah aku kenal.”

James menciumku lagi. “Aku tahu, dan aku tak peduli apa yang mereka pikirkan tentangku. Aku hanya peduli apa yang kau pikirkan tentangku. Itu cukup.”

Hatiku hangat mendengar kata-katanya, rasa sayangku padanya semakin bertambah.

“Aku cinta kamu.” Bisikku mesra.

“Seperti aku mencintaimu.” Dia membalas, dan bibir kami kembali bertemu. Rasanya tak akan pernah puas aku meggulum bibir tipisnya. Setiap ciuman selalu membawa sensasi berbeda. Selalu membuat perutku bergejolak seperti ada ribuan kupu-kupu yang terperangkap. Langit bisa saja runtuh saat ini dan aku tak peduli. Karena aku sedang bersamanya.

“Kau tak sedang buru-buru?” tanyaku saat bibir kami sudah menjauh.

Dia menggeleng, “kau?”

“Sepertinya tidak. Mau kubuatkan sarapan?”

“Hanya orang bodoh yang menolak.”

Aku tertawa,  “okay, aku mandi dulu.” Lalu bangkit dan menyerahkan Fox pada James

“Mau berhemat air dan mandi bersama?” tanya James penuh harap.

Aku menggeleng, “mungkin lain kali.” Mengedipkan sebelah mata padanya, lalu beranjak ke kamar mandi.

***

“Hey sarapan sudah siap.” Setengah jam kemudian aku melongokkan kepala ke dalam kamar mandi yang sekarang sedang digunakan James.

“Sebentar lagi.” Sahutnya. Dia sedang berdiri di depan wastafle, hanya mengenakan handuk yang dililitkan di bawah pinggangnya, dagunya diselimuti krim cukur. Melihat ini timbul niat isengku.

“Sini biar aku saja.” Aku merebut pisau cukur dari tangannya.

Dia mengangkat sebelah alis, heran. “Kau bisa?”

“Tentu.” Aku mengangguk mengiyakan.

Dia terlihat ragu sebentar, tapi kemudian menunduk, mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku mulai menggerakkan pisau cukur otomatis itu di rahangnya, perlahan dan lembut. Tak ingin menyakitinya.

Pekerjaanku sudah hampir selesai, saat tiba-tiba James meringis kesakitan. Aku menarik tanganku darinya dan melihat cairah merah mengalir keluar.

“Oh astaga..” kataku panik. “Oh Tuhan.... Oh Tuhan.”

James membasuh sisa krim cukur dari wajahnya. Dan darah itupun menghilang, tapi ada luka kecil—tak lebih dari setengah senti—di rahang kirinya, luka itu sudah tak mengeluarkan darah lagi. Tapi aku masih tetap panik.

“Oh astaga James maafkan aku. Aku tidak sengaja. Oh bodohnya aku.” Cerocosku panik

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” Kata James menenangkan, dia mengambil handuk dan mengeringkan wajahnya.

“Tapi kau terluka, ini salahku. Seharusnya aku tadi tidak sok-sokan seperti itu.”

“Tidak apa-apa sayang, hal seperti ini sering terjadi kok.” Dia tersenyum, mengecup keningku lembut.

“Tapi wajahmu..” kataku masih khawatir.

“Tenang saja. Dengan sedikit polesan make up ini bahkan tak akan terlihat di kamera.”

Hatiku sedikit tenang. Well setidaknya luka itu tak separah yang dulu tak sengaja dia lakukan pada dirinya sendiri.

“Tapi bagaimanapun.” Lanjutnya setelah terdiam sebentar, “kau harus membayar untuk ini.”

Aku memandangnya bingung, “Apa yang—“

Tiba-tiba dia sudah mengangkatku, menggendongku keluar, kemudian merebahkanku di ranjang.

“James...” erangku melihat sorot nafsu di matanya, “sarapannya.”

“Itu bisa menunggu. Sekarang aku ingin menikmati makanan pembuka dulu.” Lalu dia menerkamku.

***

“Okay.. baiklah, yeah aku mengerti. Tenang saja aku tahu apa yang harus dilakukan. Tidak tidak perlu ikut. Ya. Okay. Sampai jumpa disana.”

James mematikan teleponnya, terlihat kesal. Aku memperhatikan gerak-geriknya dari dekat bak cuci piring, kami baru selesai sarapan saat dia menerima telepon itu.

“Siapa?” tanyaku.

“Manajerku.” Dia berusaha terlihat biasa saja, tapi aku tahu dia salah tingkah. “Mereka memintaku untuk, uhm, menjemput Halston sekarang, sebelum ke studio.”

Hatiku mencelos.

“Oh.” Hanya itu yang bisa aku katakan.

“Kau tak marah kan?” dia menatapku seksama, menyelidiki ekspresiku.

“Tidak, tentu saja tidak. Aku mengerti kok.” Aku memaksakan senyum. Bukan James yang salah. Dia DISURUH menjemput cewek itu, untuk memperkuat skenario mereka. Lagian dia hanya menjemput. Tak akan terjadi apa-apa, benar kan?

James tiba-tiba memelukku, aku bahkan tak menyadari kehadirannya.

“Aku tak akan macam-macam. Aku hanya disuruh menjemputnya, mereka sudah memastikan papparazi akan menguntitku mulai sekarang. Kau tak perlu khawatir.” Katanya seolah-olah membaca pikiranku.

Aku membalas pelukannya tapi tak mengatakan apapun.

“Kau harus ada di rumah saat aku pulang nanti okay.” Perintahnya, seolah-olah rumahnya sudah menjadi milik kami bersama. Padahal aku masih punya apartemen; yang jarang aku tempati sih, karena sejak James membeli rumah ini aku selalu menghabiskan malam disini bersamanya.

Aku mengangguk, mengantarkannya sampai depan pintu.

Fox mengonggong bersemangat mengikuti kami.

“Tidak Fox.” James meraih anjing mungil itu, “hari ini kau dirumah, temani mommy. Jadi anak baik.” Katanya seakan-akan Fox itu anak kecil bukannya anjing.

Dia menyerahkan Fox padaku, memberikan ciuman perpisahan pada kami berdua lalu masuk ke mobilnya.

“Nah Fox sekarang hanya ada kau dan aku.”

***

Tak mengherankan beberapa jam kemudian, saat aku mengecek twitterku. Foto James dan Halston sudah berhamburan. Dari foto mereka saat baru keluar dari mobil James sampai saat mereka bergandengan tangan memasuki studio. Dan bagian ini benar-benar menyulut amarahku.

Okelah mereka cuma bergandengan tangan. James sering bergendengan tangan dengan teman-teman ceweknya dan aku tak pernah mempermasalahkan hal itu. Aku tak pernah cemburu. Tapi sekarang, aku benar-benar tak suka melihatnya. Tangan mereka menyatu erat ketika berjalan, kepala menunduk seolah-olah menghindari papparazi. Padahal justru papparazi yang mereka harapkan.

Seharusnya itu aku, seharusnya itu tanganku yang digandeng James. Dan headline berita kali ini benar-benar memuakkan.

“Rose Dicampakkan Demi Gadis Lain.”

“Say Bye To Rames Because We Have Jalston Now”

“Halston Sage Cewek Idaman Lain James Maslow?”

Aku mengumpat sekeras-kerasnya. Untung Mark tidak sedang di dekatku saat ini kalau iya dia pasti sudah terpanggang amarahku. Rencananya sukses besar. Kutebak dia sedang berpesta gila-gilaan saat ini.

Teleponku berdering. Saking kesalnya aku meraihnya dengan kasar, seakan benda itu punya kesalahan pribadi padaku, dan tanpa repot-repot melihat layarnya aku langsung menekan tombol jawab.

“Halo.” Kataku ketus, kalau ini Mark aku tak mau repot-repot berlaku sopan.

“Rose?”

Suara diseberang mengejutkanku. Bukan Mark, juga bukan James, atau Kendall atau Logan atau Carlos. Aku melihat layarnya untuk memastikan, dan setelah meyakinkan diri aku tidak sedang bermimpi aku memekik girang.

“JESSE!”

Orang diseberang sana tertawa, “hey Rose apa kabar?”

“Aku baik. Kau kemana saja. Sudah berbulan-bulan aku tak bertemu denganmu.” Jesse adalah sahabatku, abangku, dan sekaligus mantan pacarku. Dia pacar pertamaku sejak aku terjun ke dunia Hollywood, kami sudah berpacaran hampir dua tahun, tapi putus tanpa alasan yang jelas. Well.. kami bosan, itulah yang sebenarnya terjadi. Hubungan kami berjalan terlalu mulus, tanpa ada masalah yang berarti dan kami tak puas dengan itu. Jadi kami memutuskan untuk putus secara baik-baik. Bahkan setelahnya kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Sampai orang-orang mengira kami rujuk kembali, tapi tidak. Aku tak pernah punya perasaan yang sama seperti dulu ke Jesse. Aku sayang dia, tapi hanya sebagai sahabat. Tidak lebih.

Tapi Jesse bagaimanapun, tak benar-benar bisa melepaskanku. Setidaknya begitu yang aku dengar dari orang-orang terdekatnya, juga dari dirinya sendiri. Dia masih sering mengajakku balikan. Tapi aku menjelaskan padanya, sejujur-jujurnya karena aku tak mau dia salah paham. Bahwa aku sudah tak menyukainya seperti dulu, tidak melihatnya sebagai pacar lagi. Dia mengerti dan menghormati keputusanku, walaupun bisa aku lihat dia tak pernah menyerah.

“Yah.. kukira kau sibuk kan. Aku tak mau menganggumu.”

Aku memutar mata, walaupun tentu dia tak bisa melihatku.

“Yang benar saja kau tidak pernah mengganguku, Jesse.”

Dia tertawa lagi.

“Jadi apa yang membuatmu menelepon sekarang? Kau baik-baik saja kan?” tanyaku sedikit cemas.

“Aku baik-baik saja, Rose. Sehat seperti baru.”

“Syukurlah. Terus ada apa?”

“Uhm.. aku tak tau bagaimana cara mengetakan ini agar kau tak tersinggung—“

Aku mengernyit mendengar kata-katanya.

“Aku menonton Live With Kelly kemarin.” Lanjutnya hati-hati.

Dan ini membangkitkan kejengkelanku yang tadi sempat hilang.

“Astaga masa kau juga sih!”

“Well maaf Rose, hanya saja beritanya dimana-mana, dan aku ingin memastikan kau baik-baik saja.” Jesse menjelaskan.

“Berita itu bohong tau. Aku dan James baik-baik saja.”

“Benarkah?” dia kedengaran kecewa tapi buru-buru menutupinya, “yah kurasa juga begitu. Tapi kenapa kau melakukannya?”

“Mark, tim prmosiku dan James.” Jelasku kesal. “Kau pasti sudah mendengar tentang James dan cewek itu kan, si Halston, beritanya masih hangat, baru keluar dari panggangan.’

“Yeah aku tahu.” Jesse mengabaikan sarkastisme dalam kata-kataku, “promosi untuknya?” tebaknya.

“Yeah, aku tak tahulah apa yang ada dipikiran Mark cs. Kami dipaksa melakukan ini.”

“Oh Rose. Aku turut prihatin. Memangnya siapa si Halston ini?”

“Bintang Nickelodeon baru. Mereka pikir dia akan lebih cepat terkenal dengan cara ini. Dunia hiburan sekarang benar-benar bikin miris.” Aku meringis.

“Kau benar, tak ada lagi yang peduli tentang bakat. Yang ada mereka pedulikan cuma wajah cantik dan nyali untuk melakukan apapun.”

Aku mengamini kata-katanya, “bener banget!”

“Kau mau makan siang bareng gak? Kebetulan aku lagi di LA nih.”

“Tentu.” Seruku bersemangat, “di tempat biasa?”

“Yap, perlu ku jemput?”

“Uhm tak usah.” Aku tak mau memberitahu Jesse bahwa aku sedang di rumah James, aku punya firasat dia tak akan menyukai itu. “Kutemui kau disana jam 12.”

“Baiklah. Jam 12. Sampai ketemu, Rose.”

“Sampai ketemu disana.”

Dia pun mengakhiri teleponnya.

***

Jesse sudah menungguku dimeja kami yang biasa, ketika aku—berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat terlalu mencolok, karena Fox tak henti-hentinya mendesah-desah girang dibawa ke tempat baru. Aku terpaksa membawanya kan, tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah, James bisa ngamuk besar—tiba, lima belas menit terlambat karena aku harus berkali-kali memastikan tidak dibuntuti papparazi.

Jesse tersenyum begitu melihatku. Aku menyusupkan diri di kursi di depannya. Meletakkan Fox di pangkuanku, agar dia berhenti melompat-lompat bersemangat.

“Hey.. maaf telat.” Aku nyengir minta maaf.

“Tidak apa-apa kok.” Jesse menaikkan alis melihatku, “kau tak mau melepas itu?” dia menunjuk kacamata hitam, syal dan topi lebar yang aku kenakan.

“Uhm..” aku mengigit bibirku ragu.

“Tenang saja, restoran ini steril. Aku kan kenal pemiliknya, dia tak akan membiarkan siapapun mengambil fotomu.” Jesse memperhatikan kekhawatiranku.

“Yeah kau benar.” Satu alasan kenapa sejak dulu restoran ini menjadi favorit kami. Jendela-jendelanya gelap, mustahil orang di luar bisa melonggok ke dalam. Meja-mejanya juga dikelilingi sekat-sekat, tak terlalu tinggi tapi cukup untuk mencegah orang mencuri dengar, dan yang lebih penting pengunjung lain tak bisa mengintipmu dari balik piring mereka. Jadi aku aman. Aku membuka kacamata, syal dan topiku. Fox mengongong bersahabat ke arah Jesse.

“Anjing baru?” katanya membelai-belai kepala Fox.

“Anjingnya James.” Jelasku.

“Oh.. well karena sekarang kau membawa anjingnya, jadi kurasa berita-berita itu memang tidak benar.”

Aku mengangguk, “kan sudah ku bilang. Itu cuma akal-akalan, konspirasi. Membuatku muak setengah mati.” Aku mendengus kesal.

“Sabar, semuanya akan berlalu.”

“Kuharap secepatnya.”

“Aku memesankan makanan kesukaanmu, omong-omong. Kuharap kau tak keberatan.” Jesse mengalihkan pembicaraan.

“Tentu, aku kangen masakan disini. Sudah lama aku gak main-main lagi.”

Jesse tersenyum, “aku juga.”

Makanan kami datang tak lama kemudian. Aku meminta mangkuk khusus untuk anjing buat Fox—untung restoran ini tidak melarang membawa hewan peliharaan, menuangkan makanannya yang kubawakan di mangkuknya, Fox makan dalam damai. Memberi ku dan Jesse kesempatan untuk mengobrol.

***

Jesse menggandengku keluar setelah kami selesai makan. Kebiasaan lama sebenarnya, dan aku tak protes. Fox tersembunyi aman dalam jaketku, hanya kepalanya yang menyembul keluar mengendus penuh harap—aku tak mau dia melompat-lompat lagi kalau dibiarkan berjalan sendiri—. Kami keluar bersisian menuju mobil, masih mengobrol tentang masa lalu, kesibukan saat ini dan hal-hal lain yang tak begitu penting.

“Jadi kau sudah putus dengan Lady mu?” tanya ku pada Jesse tentang mantan pacarnya, kupanggil Lady karena usiannya jauh lebih tua dari Jesse. Jujur saja aku tak begitu suka dengannya. Kami pernah bertemu sekali, dan aku langsung mendapat kesan dia tak benar-benar tulus mencintai Jesse.

“Yeah.. dia balikan dengan mantan suaminya.”

“Oh aku ikut prihatin.”

“Tidak, kau bohong. Kau senang kan aku putus dengannya.” Dia menyeringai.

Aku membalas seringainya, “well.. kau tahu aku tak terlalu menyukainya.” Aku mengedikkan bahu. “Kau tidak sedih kan?”

“Tidak sesedih saat kau memutuskanku.”

Dia mengucapkannya dengan gaya bercanda, tapi tak urung itu membangkitkan geliat tak bersalah di dasar perutku. Lalu aku memilih diam.

Kami sudah hampir mencapai mobilku ketika aku melihatnya. Sebuah kilatan cahaya seperti ketika petir akan menyambar. Aku yang sudah sangat terbiasa dengan hal semacam itu langsung menoleh panik. Disana di seberang jalan, dalam mobil sedan hitam seseorang sedang menyorongkan kamera ke arahku. Papparazi tentu saja, sejak kapan dia membuntuti kami. Seberapa banyak yang dilihatnya. Oh tidak ini buruk.

“Jesse papparazi disana.”  Aku mencengkram tangan Jesse kuat.

Jesse mengikuti arah pandangku, begitu melihat apa yang aku maksud dia mengumpat.

“Sial. Rose cepat.” Dia menarik tanganku, setengah berlari kami menuju mobilku. Blitz kamera terlihat lagi tapi aku tak menggubrisnya. Jesse mendorongku masuk. Terengah dia mengucapkan salam perpisahan singkat, kemudian menutup pintu mobilku. Berlari ke mobilnya sendiri. Aku tak perlu menunggunya langsung kabur dari sana.

***

Mark menahanku di kantornya. Dia meneleponku dalam perjalanan pulang. Mengatakan aku harus ke kantornya saat itu juga, dan dia juga menyebut-nyebut Jesse. Aku heran darimana dia mendapat berita secepat itu. Aku bahkan belum sepuluh menit meninggalkan lokasi “kejadian” saat dia menelepon.

Aku meringkuk gelisah di sofa kulitnya. Fox sedang bermain-main dengan bola karetnya di dekat kakiku. Mark sementara itu sibuk menelepon. Jujur aku sedikit takut dia akan marah, karena aku mengacaukan skenarionya. Tapi aku akan menikmati saat-saat membuatnya kesal. Satu sama, biar tahu rasa dia.

“Kuhubungi kau lagi nanti, dasar idiot!” dia membentak, sebelum menutup teleponnya. Dia berbalik ke arahku, aku mempersiapkan diri dengan apapun yang akan dia lemparkan ke mukaku.

“Rose.. Rose Rose...” dia decak-decak, lalu betapa herannya aku dia tersenyum lebar. “Kau jenius!”

“Aku apa?” tanyaku bingung dengan tingkahnya yang berkebalikan dengan apa yang aku bayangkan.

“Yeah jenius!” dia mencubit pipiku gemas, “berkencan dengan Jesse. Itu benar-benar ide cemerlang.”

“Aku tidak berkencan dengannya!” bantahku sengit, sekarang setelah tahu apa yang ada di pikiran piciknya, kekesalanku mulai muncul lagi.

“Oh tentu kau tidak, tapi mereka semua berpikir begitu kan. Jadi apa yang kau katakan tak begitu penting.” Dia melambai-lambaikan tangannya seperti mengusir lalat. “Kau perlu lebih sering kencan—maaf, maksudku bertemu dengannya.” Dia cepat-cepat merubah kata-katanya begitu melihat kilat marah di mataku. “Yah maksudku, dengan begitu kita akan semakin mendapat popularitas.”matanya kembali dipenuhi sorot itu. Sorot liar penuh ambisi.

“MARK!” bentakku, “tidak, oke. Aku tidak akan memanfaatkan Jesse seperti itu!” seolah mendukung kata-kataku, Fox mengongong ke arah Mark.

Mark menatapnya dengan pandangan tak suka yang kentara, “kenapa sih kau membawa-bawa anjing itu.” Katanya alih-alih menanggapi kata-kataku.

“Oh Tuhan kau dengar aku gak sih? Pokoknya aku tidak akan mengikuti rencana gilamu lagi. Masalah yang kau berikan padaku sudah cukup. Kau tidak perlu menambah-nambahi lagi, jadi hapus semua ide gila di kepalamu itu karena aku tidak akan melakukannya. NO WAY!” tegasku.

Mark mengalihkan tatapannya dari Fox kepadaku. Melihatku dengan sorot sayang kebapak-bapakan yang membuatku muak, pantas dia tak punya pacar sampai sekarang. Usianya sudah 34 dan dia masih sendiri. Sempat mendengar desas-desus kalau dia gay, tapi aku tak pernah terlalu memikirkannya.

“Tentu  sayang. Tentu, aku tak akan menyuruhmu melakukan hal-hal yang tidak kau sukai. Kau klienku yang paling manis.” Pastinya yang dia maksudkan adalah kebalikan dari kata manis; rewel, menyebalkan, tukang bantah, dan entah siapa yang tahu apa yang ada di pikirannya.

“Cuma bilang, kau seharusnya bisa mempertahankan karirmu atau kau akan berakhir di tong sampah.”

“Aku mempertahankan karirku, tapi tidak dengan cara kotor seperti caramu.”

“Oh masa.” Dia tertawa geli, seolah-olah aku baru saja mengucapkan lelucon, “albummu saja belum rilis sampai sekarang.”

“Kau mau album? Akan kuberi kau album tapi berhenti menjajah hubunganku dan James. Tinggalkan kami sendiri.”

Dia terdiam sejenak, berpikir. “Oke begini saja. Kau rampungkan albummu, kuberi deadline satu bulan. Beri aku satu single, dan kalau singlemu laris, terjual mengalahkan single Justin Bieber kemarin. Kau bebas dariku, tak ada lagi Halston, dan kebohongan. Bagaimana?”

Aku mengagguk, apa saja asalkan bisa terlepas dari belitan skenario licik Mark. “Deal. Sekarang kalau boleh aku mau pulang.” Langit diluar sudah berubah gelap.

“Tentu sayang, hati-hati dijalan dan, ingat satu bulan.” Dia melambai, masih dengan senyum memuakkan.

Aku hanya mendelik, mengangkat Fox dari lantai. Dengan dagu terangkat keluar dari sana, Mark bahkan tak repot-repot mengantarku.

***

Jesse menelepon begitu aku tiba di rumah. Sebenarnya dia sudah menelepon beberapa kali tapi aku mematikkan handphone ku.

“Kau baik-baik saja kan?” tanyanya cemas.

“Yeah aku baik-baik saja.” Aku lebih santai sekarang, setelah mandi dan menyantap makan malamku.

“Sukurlah. Kukira kau dapat masalah. Papparazi itu tidak membuntutimu?”

“Untungnya tidak. Tapi yah aku mendapat hal yang lebih buruk dari masalah.” Kataku lesu.

“James marah padamu?”

Sial aku lupa sama sekali pada James. Berdoa semoga dia belum membuka twitter atau internet. James tak begitu suka aku bertemu Jesse. Dia cemburu, begitu katanya.

“Rose?” tanya Jesse lagi karena aku sibuk melamun.

“Oh tidak, James tidak marah.” Kataku, “Mark, kau tak akan percaya apa yang dia katakan.”

“Dia meminta aku berpura-pura berkencan denganmu?”

“Dari mana kau tahu?” tanyaku terkejut.

“Well dia menelepon manajerku. Tapi tenang saja aku menolaknya mentah-mentah.”

Oh jadi kepada dialah Mark menelepon tadi.

“Maaf ya Jesse, kau jadi terseret begini.”

“Tidak apa-apa, Rose.” Dia tertawa menenangkan, “aku sudah biasa kok.”

“Mark benar-benar brengsek.”

“Aku setuju denganmu!”

Kami terdiam.

“Kau mau keluar lagi kapan-kapan?” lanjut Jesse kemudian.

“Tentu, tapi tidak sekarang-sekarang ini. Aku bahkan belum berani melihat internet sejak sampai.”

Jesse terkekeh, “beritanya tak separah itu kok.”

“Aku tahu, tapi tetap saja.”

“Well baiklah. Aku tak mau menggangu waktu istirahatmu. Selamat malam, Rose.”

“Malam Jesse.”

Belum sempat aku menaruhnya, handphoneku berdering lagi. James. Oh tidak.., sudah kah dia tahu tentang Jesse. Takut-takut aku mengangkat teleponnya.

“Hey..” sapaku.

“Kau tadi menelepon siapa?” katanya tanpa membalas sapaanku.

“Uhm Jesse.” Jawabku pelan.

“Oh..” singkat.

“Kau masih di lokasi?” tanyaku mencoba mengalihkan percakapan.


“Yeah.. bagaimana kencanmu tadi?” setiap katanya penuh sindiran.

“Aku tidak kencan.” Kataku sakit hati, kenapa sih dia tak bisa percaya padaku. Padahal dia sendiri bergandengan tangan dengan cewek lain pagi ini. Baiklah itu karena dia disuruh, dan aku pergi dengan Jesse atas kemauanku sendiri, tapi kan tetap saja.

“Masa? Kalian kelihatan mesra banget loh, sampai gandengan tangan seperti itu.” Dia semakin sisnis.

“James...” erangku putus asa, “kalau kau mau menghakimiku. Tolong cari waktu lain aku sudah cukup pusing sekarang.”

James terdiam. Awalnya aku mengira dia tak akan berhenti menyindirku, tapi kemudian dia berkata.

“Maaf aku tak bermaksud menghakimi. Kau tahu aku tak suka melihatmu dengan Jesse. Dia masih berharap balikan sama kamu. Dan biar kutebak dia yang mengajakmu ketemuan? Dia menelepon karena mendengar berita kita putus?”

“Tuh kau tahu sendiri, kenapa pakai menyindirku segala?”

“Lalu kau bilang apa? Kau bilang kita beneran putus? Dia pasti bersorak sambil koprol kegirangan.” Dia mendengus.

Aku tak bisa menahan tawa mendengar kata-kata James, “ya enggak lah. Aku bilang kita masih harmonis kayak pengantin baru, aku malah bawa Fox.”

“Kau bawa Fox? Dia mengigit Jesse gak?”

“Jaaaamesss.” Tegurku, “kenapa sih kau benci sekali sama Jesse. Setahuku dulu kalian berteman.”

“Ya ya...maaf. Aku cuma kesal. Seharusnya kan aku yang ngajak kamu makan siang, aku yang gandeng kamu kayak gitu.”

“Sekarang kamu tahu gimana perasaan aku waktu liat fotomu sama Halston tadi pagi.”

Dia terdiam lagi.

“Jam berapa kau pulang?” tanyaku membebaskan James dari rasa bersalahnya.

“Aku gak pulang malam ini.”

“Kenapa?” aku langsung kecewa.

“Yah.. masih banyak yang harus dikerjakan. Aku janji besok pai-pagi sekali aku sudah ada dirumah.”

“Baiklah..” aku menghela nafas kecewa.

“Goodbye kiss?”

Aku mengecup layar handphone ku mesra.

“Aku cinta kamu.” Kataku.

“Aku lebih mencintaimu. Bilang pada Fox aku juga mencintainya.”

“Oke. Dia sudah tidur sekarang. Take care baby.”

“You too.”

Aku bersandar di sofa. Merenung, sudah berapa banyak hidupku berubah sejak seminggu yang lalu. Aku melirik piano di sebelah ruangan. Benarkah baru seminggu yang lalu saat aku dan James bermain-main di atasnya. Rasanya hal itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Aku menyalahkan Mark atas semua kepusingan ini. Dia merubah hidupku yang tadinya seperti dongeng—walaupun tak sesempurna dongeng tapi lebih mending dari sekarang, menjadi neraka buatku. Sekarang aku harus benar-benar mencurahkan konsentrasi ke albumku, dan menyelesaikannya cepat-cepat. Sebelum aku meledak karena stress.

***


TBC



No comments:

Post a Comment