“Morning sunshine.” Sebuah suara berbisik di telingaku.
Aku tersenyum, bahkan sebelum membuka matapun aku tahu siapa
pemilik suara itu.
“Hai..” kataku serak, membuka mata perlahan.
James balas tersenyum kepadaku, sebelah tangan menopang
kepalanya. Dia hanya memakai singlet putih, memperlihatkan otot-otot lengannya,
seksi.
“Jam berapa sekarang?” tanyaku sambil menguap.
“Setengan tujuh.” James melirik jam beker di samping
tempat tidur.
“Jam berapa kau pulang semalam?”
“Sekitar jam dua.”
“Kenapa tak membangunkanku?”
“Aku tak tega, kau tidur nyenak sekali sih. Bahkan Fox
saja tak tega membangunkanmu.”
Dan seolah-olah sudah diberi ijin, Fox melompat ke
arahku, dijilatnya leherku penuh sayang, sebelum mendengkur damai di dadaku.
“Ah.. dan sekarang dia mencuri ciuman selamat pagiku.”
James mendesah kemudian menempelkan bibirnya di bibirku.
Aku terkikik geli. Menariknya sekali lagi, menciumnya
lebih dalam.
“Itu ciuman selamat pagi dariku.”
Dia nyengir, menyingkirkan helaian rambut yang menutupi
wajahku.
“Hari berat kemarin?” tanyanya pelan.
Senyum diwajahku langsung hilang. Sekarang saat aku
berada disini, bergelung nyaman di pelukannya, kejadian kemarin serasa seperti
mimpi buruk. Tapi tentu saja itu bukan mimpi. Dan akan berlanjut entah sampai
kapan.
James agaknya menyadari perubahan wajahku. Dia
mendekatkan posisinya, memeluk ku dan Fox—yang masih santai di dadaku, dengan
sebelah tangan. Sementara tangan yang satunya disusupkan ke bawah kepalaku
sebagai bantal.
“Kau sudah baca beritanya?” kataku, melarikan jemariku di
dada bidangnya.
James mengecup puncak kepalaku sebelum menjawab, “yah tak
perlu repot-repot membaca situs-situs gosip itu, twitter sudah dengan baik hati
menceritakan semua padaku. Dan rupanya saat ini aku sedang jadi cowok brengsek
nomor satu di dunia.” Dia terkekeh pelan.
“Kau bukan.” Kataku tegas, menatap matanya. “Kau cowok
termanis, terlembut, teromantis yang pernah aku kenal.”
James menciumku lagi. “Aku tahu, dan aku tak peduli apa
yang mereka pikirkan tentangku. Aku hanya peduli apa yang kau pikirkan
tentangku. Itu cukup.”
Hatiku hangat mendengar kata-katanya, rasa sayangku
padanya semakin bertambah.
“Aku cinta kamu.” Bisikku mesra.
“Seperti aku mencintaimu.” Dia membalas, dan bibir kami
kembali bertemu. Rasanya tak akan pernah puas aku meggulum bibir tipisnya.
Setiap ciuman selalu membawa sensasi berbeda. Selalu membuat perutku bergejolak
seperti ada ribuan kupu-kupu yang terperangkap. Langit bisa saja runtuh saat
ini dan aku tak peduli. Karena aku sedang bersamanya.
“Kau tak sedang buru-buru?” tanyaku saat bibir kami sudah
menjauh.
Dia menggeleng, “kau?”
“Sepertinya tidak. Mau kubuatkan sarapan?”
“Hanya orang bodoh yang menolak.”
Aku tertawa,
“okay, aku mandi dulu.” Lalu bangkit dan menyerahkan Fox pada James
“Mau berhemat air dan mandi bersama?” tanya James penuh
harap.
Aku menggeleng, “mungkin lain kali.” Mengedipkan sebelah
mata padanya, lalu beranjak ke kamar mandi.
***
“Hey sarapan sudah siap.” Setengah jam kemudian aku
melongokkan kepala ke dalam kamar mandi yang sekarang sedang digunakan James.
“Sebentar lagi.” Sahutnya. Dia sedang berdiri di depan
wastafle, hanya mengenakan handuk yang dililitkan di bawah pinggangnya, dagunya
diselimuti krim cukur. Melihat ini timbul niat isengku.
“Sini biar aku saja.” Aku merebut pisau cukur dari
tangannya.
Dia mengangkat sebelah alis, heran. “Kau bisa?”
“Tentu.” Aku mengangguk mengiyakan.
Dia terlihat ragu sebentar, tapi kemudian menunduk,
mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku mulai menggerakkan pisau cukur otomatis itu
di rahangnya, perlahan dan lembut. Tak ingin menyakitinya.
Pekerjaanku sudah hampir selesai, saat tiba-tiba James
meringis kesakitan. Aku menarik tanganku darinya dan melihat cairah merah
mengalir keluar.
“Oh astaga..” kataku panik. “Oh Tuhan.... Oh Tuhan.”
James membasuh sisa krim cukur dari wajahnya. Dan darah
itupun menghilang, tapi ada luka kecil—tak lebih dari setengah senti—di rahang
kirinya, luka itu sudah tak mengeluarkan darah lagi. Tapi aku masih tetap
panik.
“Oh astaga James maafkan aku. Aku tidak sengaja. Oh
bodohnya aku.” Cerocosku panik
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” Kata James menenangkan,
dia mengambil handuk dan mengeringkan wajahnya.
“Tapi kau terluka, ini salahku. Seharusnya aku tadi tidak
sok-sokan seperti itu.”
“Tidak apa-apa sayang, hal seperti ini sering terjadi
kok.” Dia tersenyum, mengecup keningku lembut.
“Tapi wajahmu..” kataku masih khawatir.
“Tenang saja. Dengan sedikit polesan make up ini bahkan
tak akan terlihat di kamera.”
Hatiku sedikit tenang. Well setidaknya luka itu tak
separah yang dulu tak sengaja dia lakukan pada dirinya sendiri.
“Tapi bagaimanapun.” Lanjutnya setelah terdiam sebentar,
“kau harus membayar untuk ini.”
Aku memandangnya bingung, “Apa yang—“
Tiba-tiba dia sudah mengangkatku, menggendongku keluar,
kemudian merebahkanku di ranjang.
“James...” erangku melihat sorot nafsu di matanya,
“sarapannya.”
“Itu bisa menunggu. Sekarang aku ingin menikmati makanan
pembuka dulu.” Lalu dia menerkamku.
***
“Okay.. baiklah, yeah aku mengerti. Tenang saja aku tahu
apa yang harus dilakukan. Tidak tidak perlu ikut. Ya. Okay. Sampai jumpa
disana.”
James mematikan teleponnya, terlihat kesal. Aku memperhatikan
gerak-geriknya dari dekat bak cuci piring, kami baru selesai sarapan saat dia
menerima telepon itu.
“Siapa?” tanyaku.
“Manajerku.” Dia berusaha terlihat biasa saja, tapi aku
tahu dia salah tingkah. “Mereka memintaku untuk, uhm, menjemput Halston
sekarang, sebelum ke studio.”
Hatiku mencelos.
“Oh.” Hanya itu yang bisa aku katakan.
“Kau tak marah kan?” dia menatapku seksama, menyelidiki
ekspresiku.
“Tidak, tentu saja tidak. Aku mengerti kok.” Aku
memaksakan senyum. Bukan James yang salah. Dia DISURUH menjemput cewek itu,
untuk memperkuat skenario mereka. Lagian dia hanya menjemput. Tak akan terjadi
apa-apa, benar kan?
James tiba-tiba memelukku, aku bahkan tak menyadari
kehadirannya.
“Aku tak akan macam-macam. Aku hanya disuruh
menjemputnya, mereka sudah memastikan papparazi akan menguntitku mulai
sekarang. Kau tak perlu khawatir.” Katanya seolah-olah membaca pikiranku.
Aku membalas pelukannya tapi tak mengatakan apapun.
“Kau harus ada di rumah saat aku pulang nanti okay.”
Perintahnya, seolah-olah rumahnya sudah menjadi milik kami bersama. Padahal aku
masih punya apartemen; yang jarang aku tempati sih, karena sejak James membeli
rumah ini aku selalu menghabiskan malam disini bersamanya.
Aku mengangguk, mengantarkannya sampai depan pintu.
Fox mengonggong bersemangat mengikuti kami.
“Tidak Fox.” James meraih anjing mungil itu, “hari ini
kau dirumah, temani mommy. Jadi anak baik.” Katanya seakan-akan Fox itu anak
kecil bukannya anjing.
Dia menyerahkan Fox padaku, memberikan ciuman perpisahan
pada kami berdua lalu masuk ke mobilnya.
“Nah Fox sekarang hanya ada kau dan aku.”
***
Tak mengherankan beberapa jam kemudian, saat aku mengecek
twitterku. Foto James dan Halston sudah berhamburan. Dari foto mereka saat baru
keluar dari mobil James sampai saat mereka bergandengan tangan memasuki studio.
Dan bagian ini benar-benar menyulut amarahku.
Okelah mereka cuma bergandengan tangan. James sering
bergendengan tangan dengan teman-teman ceweknya dan aku tak pernah
mempermasalahkan hal itu. Aku tak pernah cemburu. Tapi sekarang, aku
benar-benar tak suka melihatnya. Tangan mereka menyatu erat ketika berjalan,
kepala menunduk seolah-olah menghindari papparazi. Padahal justru papparazi
yang mereka harapkan.
Seharusnya itu aku, seharusnya itu tanganku yang
digandeng James. Dan headline berita kali ini benar-benar memuakkan.
“Rose Dicampakkan
Demi Gadis Lain.”
“Say Bye To Rames
Because We Have Jalston Now”
“Halston Sage Cewek
Idaman Lain James Maslow?”
Aku mengumpat sekeras-kerasnya. Untung Mark tidak sedang
di dekatku saat ini kalau iya dia pasti sudah terpanggang amarahku. Rencananya
sukses besar. Kutebak dia sedang berpesta gila-gilaan saat ini.
Teleponku berdering. Saking kesalnya aku meraihnya dengan
kasar, seakan benda itu punya kesalahan pribadi padaku, dan tanpa repot-repot
melihat layarnya aku langsung menekan tombol jawab.
“Halo.” Kataku ketus, kalau ini Mark aku tak mau
repot-repot berlaku sopan.
“Rose?”
Suara diseberang mengejutkanku. Bukan Mark, juga bukan
James, atau Kendall atau Logan atau Carlos. Aku melihat layarnya untuk
memastikan, dan setelah meyakinkan diri aku tidak sedang bermimpi aku memekik
girang.
“JESSE!”
Orang diseberang sana tertawa, “hey Rose apa kabar?”
“Aku baik. Kau kemana saja. Sudah berbulan-bulan aku tak
bertemu denganmu.” Jesse adalah sahabatku, abangku, dan sekaligus mantan
pacarku. Dia pacar pertamaku sejak aku terjun ke dunia Hollywood, kami sudah
berpacaran hampir dua tahun, tapi putus tanpa alasan yang jelas. Well.. kami
bosan, itulah yang sebenarnya terjadi. Hubungan kami berjalan terlalu mulus,
tanpa ada masalah yang berarti dan kami tak puas dengan itu. Jadi kami
memutuskan untuk putus secara baik-baik. Bahkan setelahnya kami masih sering
menghabiskan waktu bersama. Sampai orang-orang mengira kami rujuk kembali, tapi
tidak. Aku tak pernah punya perasaan yang sama seperti dulu ke Jesse. Aku
sayang dia, tapi hanya sebagai sahabat. Tidak lebih.
Tapi Jesse bagaimanapun, tak benar-benar bisa
melepaskanku. Setidaknya begitu yang aku dengar dari orang-orang terdekatnya,
juga dari dirinya sendiri. Dia masih sering mengajakku balikan. Tapi aku
menjelaskan padanya, sejujur-jujurnya karena aku tak mau dia salah paham. Bahwa
aku sudah tak menyukainya seperti dulu, tidak melihatnya sebagai pacar lagi.
Dia mengerti dan menghormati keputusanku, walaupun bisa aku lihat dia tak
pernah menyerah.
“Yah.. kukira kau sibuk kan. Aku tak mau menganggumu.”
Aku memutar mata, walaupun tentu dia tak bisa melihatku.
“Yang benar saja kau tidak pernah mengganguku, Jesse.”
Dia tertawa lagi.
“Jadi apa yang membuatmu menelepon sekarang? Kau
baik-baik saja kan?” tanyaku sedikit cemas.
“Aku baik-baik saja, Rose. Sehat seperti baru.”
“Syukurlah. Terus ada apa?”
“Uhm.. aku tak tau bagaimana cara mengetakan ini agar kau
tak tersinggung—“
Aku mengernyit mendengar kata-katanya.
“Aku menonton Live With Kelly kemarin.” Lanjutnya
hati-hati.
Dan ini membangkitkan kejengkelanku yang tadi sempat
hilang.
“Astaga masa kau juga sih!”
“Well maaf Rose, hanya saja beritanya dimana-mana, dan
aku ingin memastikan kau baik-baik saja.” Jesse menjelaskan.
“Berita itu bohong tau. Aku dan James baik-baik saja.”
“Benarkah?” dia kedengaran kecewa tapi buru-buru
menutupinya, “yah kurasa juga begitu. Tapi kenapa kau melakukannya?”
“Mark, tim prmosiku dan James.” Jelasku kesal. “Kau pasti
sudah mendengar tentang James dan cewek itu kan, si Halston, beritanya masih
hangat, baru keluar dari panggangan.’
“Yeah aku tahu.” Jesse mengabaikan sarkastisme dalam
kata-kataku, “promosi untuknya?” tebaknya.
“Yeah, aku tak tahulah apa yang ada dipikiran Mark cs.
Kami dipaksa melakukan ini.”
“Oh Rose. Aku turut prihatin. Memangnya siapa si Halston
ini?”
“Bintang Nickelodeon baru. Mereka pikir dia akan lebih
cepat terkenal dengan cara ini. Dunia hiburan sekarang benar-benar bikin
miris.” Aku meringis.
“Kau benar, tak ada lagi yang peduli tentang bakat. Yang
ada mereka pedulikan cuma wajah cantik dan nyali untuk melakukan apapun.”
Aku mengamini kata-katanya, “bener banget!”
“Kau mau makan siang bareng gak? Kebetulan aku lagi di LA
nih.”
“Tentu.” Seruku bersemangat, “di tempat biasa?”
“Yap, perlu ku jemput?”
“Uhm tak usah.” Aku tak mau memberitahu Jesse bahwa aku
sedang di rumah James, aku punya firasat dia tak akan menyukai itu. “Kutemui
kau disana jam 12.”
“Baiklah. Jam 12. Sampai ketemu, Rose.”
“Sampai ketemu disana.”
Dia pun mengakhiri teleponnya.
***
Jesse sudah menungguku dimeja kami yang biasa, ketika
aku—berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat terlalu mencolok, karena Fox
tak henti-hentinya mendesah-desah girang dibawa ke tempat baru. Aku terpaksa
membawanya kan, tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah, James bisa
ngamuk besar—tiba, lima belas menit terlambat karena aku harus berkali-kali
memastikan tidak dibuntuti papparazi.
Jesse tersenyum begitu melihatku. Aku menyusupkan diri di
kursi di depannya. Meletakkan Fox di pangkuanku, agar dia berhenti
melompat-lompat bersemangat.
“Hey.. maaf telat.” Aku nyengir minta maaf.
“Tidak apa-apa kok.” Jesse menaikkan alis melihatku, “kau
tak mau melepas itu?” dia menunjuk kacamata hitam, syal dan topi lebar yang aku
kenakan.
“Uhm..” aku mengigit bibirku ragu.
“Tenang saja, restoran ini steril. Aku kan kenal
pemiliknya, dia tak akan membiarkan siapapun mengambil fotomu.” Jesse
memperhatikan kekhawatiranku.
“Yeah kau benar.” Satu alasan kenapa sejak dulu restoran
ini menjadi favorit kami. Jendela-jendelanya gelap, mustahil orang di luar bisa
melonggok ke dalam. Meja-mejanya juga dikelilingi sekat-sekat, tak terlalu tinggi
tapi cukup untuk mencegah orang mencuri dengar, dan yang lebih penting
pengunjung lain tak bisa mengintipmu dari balik piring mereka. Jadi aku aman.
Aku membuka kacamata, syal dan topiku. Fox mengongong bersahabat ke arah Jesse.
“Anjing baru?” katanya membelai-belai kepala Fox.
“Anjingnya James.” Jelasku.
“Oh.. well karena sekarang kau membawa anjingnya, jadi
kurasa berita-berita itu memang tidak benar.”
Aku mengangguk, “kan sudah ku bilang. Itu cuma
akal-akalan, konspirasi. Membuatku muak setengah mati.” Aku mendengus kesal.
“Sabar, semuanya akan berlalu.”
“Kuharap secepatnya.”
“Aku memesankan makanan kesukaanmu, omong-omong. Kuharap
kau tak keberatan.” Jesse mengalihkan pembicaraan.
“Tentu, aku kangen masakan disini. Sudah lama aku gak
main-main lagi.”
Jesse tersenyum, “aku juga.”
Makanan kami datang tak lama kemudian. Aku meminta
mangkuk khusus untuk anjing buat Fox—untung restoran ini tidak melarang membawa
hewan peliharaan, menuangkan makanannya yang kubawakan di mangkuknya, Fox makan
dalam damai. Memberi ku dan Jesse kesempatan untuk mengobrol.
***
Jesse menggandengku keluar setelah kami selesai makan.
Kebiasaan lama sebenarnya, dan aku tak protes. Fox tersembunyi aman dalam
jaketku, hanya kepalanya yang menyembul keluar mengendus penuh harap—aku tak
mau dia melompat-lompat lagi kalau dibiarkan berjalan sendiri—. Kami keluar
bersisian menuju mobil, masih mengobrol tentang masa lalu, kesibukan saat ini
dan hal-hal lain yang tak begitu penting.
“Jadi kau sudah putus dengan Lady mu?” tanya ku pada
Jesse tentang mantan pacarnya, kupanggil Lady karena usiannya jauh lebih tua
dari Jesse. Jujur saja aku tak begitu suka dengannya. Kami pernah bertemu
sekali, dan aku langsung mendapat kesan dia tak benar-benar tulus mencintai
Jesse.
“Yeah.. dia balikan dengan mantan suaminya.”
“Oh aku ikut prihatin.”
“Tidak, kau bohong. Kau senang kan aku putus dengannya.”
Dia menyeringai.
Aku membalas seringainya, “well.. kau tahu aku tak terlalu
menyukainya.” Aku mengedikkan bahu. “Kau tidak sedih kan?”
“Tidak sesedih saat kau memutuskanku.”
Dia mengucapkannya dengan gaya bercanda, tapi tak urung
itu membangkitkan geliat tak bersalah di dasar perutku. Lalu aku memilih diam.
Kami sudah hampir mencapai mobilku ketika aku melihatnya.
Sebuah kilatan cahaya seperti ketika petir akan menyambar. Aku yang sudah
sangat terbiasa dengan hal semacam itu langsung menoleh panik. Disana di
seberang jalan, dalam mobil sedan hitam seseorang sedang menyorongkan kamera ke
arahku. Papparazi tentu saja, sejak kapan dia membuntuti kami. Seberapa banyak
yang dilihatnya. Oh tidak ini buruk.
“Jesse papparazi disana.”
Aku mencengkram tangan Jesse kuat.
Jesse mengikuti arah pandangku, begitu melihat apa yang
aku maksud dia mengumpat.
“Sial. Rose cepat.” Dia menarik tanganku, setengah
berlari kami menuju mobilku. Blitz kamera terlihat lagi tapi aku tak
menggubrisnya. Jesse mendorongku masuk. Terengah dia mengucapkan salam
perpisahan singkat, kemudian menutup pintu mobilku. Berlari ke mobilnya
sendiri. Aku tak perlu menunggunya langsung kabur dari sana.
***
Mark menahanku di kantornya. Dia meneleponku dalam
perjalanan pulang. Mengatakan aku harus ke kantornya saat itu juga, dan dia
juga menyebut-nyebut Jesse. Aku heran darimana dia mendapat berita secepat itu.
Aku bahkan belum sepuluh menit meninggalkan lokasi “kejadian” saat dia
menelepon.
Aku meringkuk gelisah di sofa kulitnya. Fox sedang
bermain-main dengan bola karetnya di dekat kakiku. Mark sementara itu sibuk
menelepon. Jujur aku sedikit takut dia akan marah, karena aku mengacaukan
skenarionya. Tapi aku akan menikmati saat-saat membuatnya kesal. Satu sama,
biar tahu rasa dia.
“Kuhubungi kau lagi nanti, dasar idiot!” dia membentak,
sebelum menutup teleponnya. Dia berbalik ke arahku, aku mempersiapkan diri dengan
apapun yang akan dia lemparkan ke mukaku.
“Rose.. Rose Rose...” dia decak-decak, lalu betapa
herannya aku dia tersenyum lebar. “Kau jenius!”
“Aku apa?” tanyaku bingung dengan tingkahnya yang
berkebalikan dengan apa yang aku bayangkan.
“Yeah jenius!” dia mencubit pipiku gemas, “berkencan
dengan Jesse. Itu benar-benar ide cemerlang.”
“Aku tidak berkencan dengannya!” bantahku sengit,
sekarang setelah tahu apa yang ada di pikiran piciknya, kekesalanku mulai
muncul lagi.
“Oh tentu kau tidak, tapi mereka semua berpikir begitu
kan. Jadi apa yang kau katakan tak begitu penting.” Dia melambai-lambaikan
tangannya seperti mengusir lalat. “Kau perlu lebih sering kencan—maaf, maksudku
bertemu dengannya.” Dia cepat-cepat merubah kata-katanya begitu melihat kilat
marah di mataku. “Yah maksudku, dengan begitu kita akan semakin mendapat
popularitas.”matanya kembali dipenuhi sorot itu. Sorot liar penuh ambisi.
“MARK!” bentakku, “tidak, oke. Aku tidak akan
memanfaatkan Jesse seperti itu!” seolah mendukung kata-kataku, Fox mengongong
ke arah Mark.
Mark menatapnya dengan pandangan tak suka yang kentara,
“kenapa sih kau membawa-bawa anjing itu.” Katanya alih-alih menanggapi
kata-kataku.
“Oh Tuhan kau dengar aku gak sih? Pokoknya aku tidak akan
mengikuti rencana gilamu lagi. Masalah yang kau berikan padaku sudah cukup. Kau
tidak perlu menambah-nambahi lagi, jadi hapus semua ide gila di kepalamu itu
karena aku tidak akan melakukannya. NO WAY!” tegasku.
Mark mengalihkan tatapannya dari Fox kepadaku. Melihatku
dengan sorot sayang kebapak-bapakan yang membuatku muak, pantas dia tak punya
pacar sampai sekarang. Usianya sudah 34 dan dia masih sendiri. Sempat mendengar
desas-desus kalau dia gay, tapi aku tak pernah terlalu memikirkannya.
“Tentu sayang.
Tentu, aku tak akan menyuruhmu melakukan hal-hal yang tidak kau sukai. Kau
klienku yang paling manis.” Pastinya yang dia maksudkan adalah kebalikan dari
kata manis; rewel, menyebalkan, tukang bantah, dan entah siapa yang tahu apa
yang ada di pikirannya.
“Cuma bilang, kau seharusnya bisa mempertahankan karirmu
atau kau akan berakhir di tong sampah.”
“Aku mempertahankan karirku, tapi tidak dengan cara kotor
seperti caramu.”
“Oh masa.” Dia tertawa geli, seolah-olah aku baru saja
mengucapkan lelucon, “albummu saja belum rilis sampai sekarang.”
“Kau mau album? Akan kuberi kau album tapi berhenti menjajah hubunganku dan James. Tinggalkan kami sendiri.”
“Kau mau album? Akan kuberi kau album tapi berhenti menjajah hubunganku dan James. Tinggalkan kami sendiri.”
Dia terdiam sejenak, berpikir. “Oke begini saja. Kau
rampungkan albummu, kuberi deadline satu bulan. Beri aku satu single, dan kalau
singlemu laris, terjual mengalahkan single Justin Bieber kemarin. Kau bebas
dariku, tak ada lagi Halston, dan kebohongan. Bagaimana?”
Aku mengagguk, apa saja asalkan bisa terlepas dari
belitan skenario licik Mark. “Deal. Sekarang kalau boleh aku mau pulang.”
Langit diluar sudah berubah gelap.
“Tentu sayang, hati-hati dijalan dan, ingat satu bulan.”
Dia melambai, masih dengan senyum memuakkan.
Aku hanya mendelik, mengangkat Fox dari lantai. Dengan
dagu terangkat keluar dari sana, Mark bahkan tak repot-repot mengantarku.
***
Jesse menelepon begitu aku tiba di rumah. Sebenarnya dia
sudah menelepon beberapa kali tapi aku mematikkan handphone ku.
“Kau baik-baik saja kan?” tanyanya cemas.
“Yeah aku baik-baik saja.” Aku lebih santai sekarang,
setelah mandi dan menyantap makan malamku.
“Sukurlah. Kukira kau dapat masalah. Papparazi itu tidak
membuntutimu?”
“Untungnya tidak. Tapi yah aku mendapat hal yang lebih
buruk dari masalah.” Kataku lesu.
“James marah padamu?”
Sial aku lupa sama sekali pada James. Berdoa semoga dia
belum membuka twitter atau internet. James tak begitu suka aku bertemu Jesse.
Dia cemburu, begitu katanya.
“Rose?” tanya Jesse lagi karena aku sibuk melamun.
“Oh tidak, James tidak marah.” Kataku, “Mark, kau tak
akan percaya apa yang dia katakan.”
“Dia meminta aku berpura-pura berkencan denganmu?”
“Dari mana kau tahu?” tanyaku terkejut.
“Well dia menelepon manajerku. Tapi tenang saja aku
menolaknya mentah-mentah.”
Oh jadi kepada dialah Mark menelepon tadi.
“Maaf ya Jesse, kau jadi terseret begini.”
“Tidak apa-apa, Rose.” Dia tertawa menenangkan, “aku
sudah biasa kok.”
“Mark benar-benar brengsek.”
“Aku setuju denganmu!”
Kami terdiam.
“Kau mau keluar lagi kapan-kapan?” lanjut Jesse kemudian.
“Tentu, tapi tidak sekarang-sekarang ini. Aku bahkan
belum berani melihat internet sejak sampai.”
Jesse terkekeh, “beritanya tak separah itu kok.”
“Aku tahu, tapi tetap saja.”
“Well baiklah. Aku tak mau menggangu waktu istirahatmu.
Selamat malam, Rose.”
“Malam Jesse.”
Belum sempat aku menaruhnya, handphoneku berdering lagi.
James. Oh tidak.., sudah kah dia tahu tentang Jesse. Takut-takut aku mengangkat
teleponnya.
“Hey..” sapaku.
“Kau tadi menelepon siapa?” katanya tanpa membalas
sapaanku.
“Uhm Jesse.” Jawabku pelan.
“Oh..” singkat.
“Kau masih di lokasi?” tanyaku mencoba mengalihkan
percakapan.
“Yeah.. bagaimana kencanmu tadi?” setiap katanya penuh sindiran.
“Aku tidak kencan.” Kataku sakit hati, kenapa sih dia tak
bisa percaya padaku. Padahal dia sendiri bergandengan tangan dengan cewek lain
pagi ini. Baiklah itu karena dia disuruh, dan aku pergi dengan Jesse atas
kemauanku sendiri, tapi kan tetap saja.
“Masa? Kalian kelihatan mesra banget loh, sampai
gandengan tangan seperti itu.” Dia semakin sisnis.
“James...” erangku putus asa, “kalau kau mau
menghakimiku. Tolong cari waktu lain aku sudah cukup pusing sekarang.”
James terdiam. Awalnya aku mengira dia tak akan berhenti
menyindirku, tapi kemudian dia berkata.
“Maaf aku tak bermaksud menghakimi. Kau tahu aku tak suka
melihatmu dengan Jesse. Dia masih berharap balikan sama kamu. Dan biar kutebak
dia yang mengajakmu ketemuan? Dia menelepon karena mendengar berita kita
putus?”
“Tuh kau tahu sendiri, kenapa pakai menyindirku segala?”
“Lalu kau bilang apa? Kau bilang kita beneran putus? Dia
pasti bersorak sambil koprol kegirangan.” Dia mendengus.
Aku tak bisa menahan tawa mendengar kata-kata James, “ya
enggak lah. Aku bilang kita masih harmonis kayak pengantin baru, aku malah bawa
Fox.”
“Kau bawa Fox? Dia mengigit Jesse gak?”
“Jaaaamesss.” Tegurku, “kenapa sih kau benci sekali sama
Jesse. Setahuku dulu kalian berteman.”
“Ya ya...maaf. Aku cuma kesal. Seharusnya kan aku yang
ngajak kamu makan siang, aku yang gandeng kamu kayak gitu.”
“Sekarang kamu tahu gimana perasaan aku waktu liat fotomu
sama Halston tadi pagi.”
Dia terdiam lagi.
“Jam berapa kau pulang?” tanyaku membebaskan James dari
rasa bersalahnya.
“Aku gak pulang malam ini.”
“Kenapa?” aku langsung kecewa.
“Yah.. masih banyak yang harus dikerjakan. Aku janji besok
pai-pagi sekali aku sudah ada dirumah.”
“Baiklah..” aku menghela nafas kecewa.
“Goodbye kiss?”
Aku mengecup layar handphone ku mesra.
“Aku cinta kamu.” Kataku.
“Aku lebih mencintaimu. Bilang pada Fox aku juga
mencintainya.”
“Oke. Dia sudah tidur sekarang. Take care baby.”
“You too.”
Aku bersandar di sofa. Merenung, sudah berapa banyak
hidupku berubah sejak seminggu yang lalu. Aku melirik piano di sebelah ruangan.
Benarkah baru seminggu yang lalu saat aku dan James bermain-main di atasnya. Rasanya
hal itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Aku menyalahkan Mark atas semua
kepusingan ini. Dia merubah hidupku yang tadinya seperti dongeng—walaupun tak
sesempurna dongeng tapi lebih mending dari sekarang, menjadi neraka buatku.
Sekarang aku harus benar-benar mencurahkan konsentrasi ke albumku, dan
menyelesaikannya cepat-cepat. Sebelum aku meledak karena stress.
***
TBC
No comments:
Post a Comment