Kendall meneleponku keesokan harinya. Aku sedang di
studio, berusaha merampungkan penggarapan album keempatku, sekaligus sebagai
pelarian agar aku tidak terus-terusan memikirkan James. Aku belum berbicara
dengannya sejak aku meninggalkan rumahnya kemarin malam. Dia juga tak
meneleponku. Dia sengaja memberikanku waktu untuk berpikir, dan aku menghargainya.
“Hey Kindle.” Jawabku lemas begitu mengangkat teleponnya.
“Hey kau lagi boker ya, lama sekali jawabnya.” Gerutu
Kendall di seberang sana.
“Aku lagi di studio.” Jelasku. Normalnya aku akan
membalas sindirannya, namun saat ini aku sedang malas bicara.
“Oh.” Hanya itu yang dikatakannya.
Kami berdua terdiam.
“Kau oke, Rose?” Kendall bertanya hati-hati.
“Yeah, aku baik-baik saja.”
“James sudah cerita.” Sambungnya, “dia khawatir padamu.”
“Aku tahu.”
“Dia takut kalau dia menelepon kau tidak mau menjawab.”
“Jadi alih-alih dia menyuruhmu untuk memata-mataiku? Apa
dia ada dekatmu sekarang?”
“Ya, tidak, dan tidak.” Kendall menghela nafas, “dia
memang menyuruhku untuk meneleponmu tapi bukan untuk memata-matai. Dia hanya
khawatir, dia tahu aku orang yang tepat untuk diajak bicara. Dan tidak, dia
tidak ada di dekatku sekarang. Dia sedang, entahlah. Mungkin di set bersama
Logan.”
“Set? Kalian di lokasi syuting?”
“Yep.. first table read, ingat?”
“Oh.. baiklah.”
“Jadi ada yang ingin kau ceritakan?”
“James sudah cerita semua kan.”
“Hanya dari sudut pandangnya, tidak dari sudut
pandangmu.”
Aku menghela nafas dalam. Kendall selalu tahu caranya membujukku
bicara. Seperti saat itu, dia mampir ke apartemenku dan aku memaksanya tinggal
untuk makan malam—James sedang mengunjungi orang tuanya di New York—awalnya
kami hanya membicarakan video game favorit tapi hal berikut yang aku tahu, aku
menceritakan semua rahasiaku padanya, mengeluarkan semua keluh kesahku. Dan dia
selalu punya saran untuk semua masalahku. James benar dia orang yang tepat
untuk diajak bicara.
“Aku tak tahu Kendall. Aku marah pada James. Tapi aku juga
takut James jadi kesal padaku dan menggunakan kejadian ini sebagai alasan untuk
putus. Aku gak mau kehilangan dia.” Suaraku pecah menahan isakan.
“Husssh..” Kendall menenangkanku, “dia sama sekali tidak
berpikiran seperti itu. Dia mencintaimu, sebesar cintamu padanya. Dia juga
takut kehilanganmu, dia pikir kau akan ngambek selamanya.” Kendall terkekeh
pelan.
“Aku gak mungkin ngambek selamanya.” Aku mengusap air
mataku, bodoh sekali rasanya menangis hanya karena masalah seperti ini.
“Kau harus bicara padanya. Kalian harus bicara. Kalau kau
justru lari seperti ini, kau akan kehilangan dia.”
“Yeah kau benar.”
“Aku memang selalu benar. Dan cuma bilang, tim promosi
kita memang brengsek.”
Mau tak mau aku tertawa mendengarnya. “Terimakasih Ken..
kau selalu tahu apa yang harus dikatakan.”
“Aku selalu disini untukmu Rose.”
Aku tahu dia tersenyum ketika mengatakan itu.
“Jadi kau mampir sore ini?”
“Tentu, tapi jangan bilang James ya. Aku mau memberikan
kejutan untuknya.”
“Pasti. Sampai ketemu nanti kalau begitu.”
“Pasti. Sampai ketemu nanti kalau begitu.”
“Bye Kendall.”
***
Aku melangkah ke ruang ganti James, Kendall, Logan dan
Carlos. Sebagian besar set kosong. Aku hanya bertemu beberapa kru dalam
perjalanan ke sini. Dan mereka semua menyuruhku menunggu di sini, seperti
hari-hari biasa. Karena sejak aku menjadi bintang tamu di serial ini, dan sejak
aku mulai dekat dengan James. Aku sering berkunjung kemari.
Asumsiku semua orang sedang berada di ruang pertemuan,
membicarakan adegan-adegan yang akan mulai mereka ambil besok. Dan aku mengira
James juga ada disana, jadi aku masuk tanpa mengetuk lebih dulu.
Tapi ternyata James sedang duduk di kursi berlengan empuk
di pinggir ruangan, memainkan iPhonenya. Dia menoleh begitu aku membuka pintu.
Terkesiap begitu melihatku, tapi sebentar kemudian ekspresinya berubah lega.
Aku mematung di depan pintu, tak tahu harus berbuat apa.
Aku ingin lari ke pelukannya, karena walaupun tidak bertemu dengannya hanya
selama beberapa jam aku sudah kangen berat.
“Hay..” James bangkit, mengantongi iPhonenya, mendekat ke
arahku.
“Hay.” Balasku canggung.
Dia terseyum, senyum bahagia sambil menatapku dengan
tatapan itu. Tatapan menyayang yang bahkan bisa melelehkan batu. Aku mendadak
lemas.
“Apa kabar?”
Aku berdehem, “baik. Kau?”
“Lebih baik karena kau ada disini.”
Tuh kan dia melakukannya lagi. Bagaimana mungkin aku bisa
marah padanya. Laki-laki manis ini, yang kelihatannya sangat mencintaiku.
“Aku kangen.” Lanjutnya lagi, karena aku hanya terdiam.
Aku tak tahan lagi. Aku menumbruknya, memeluknya erat,
menghirup aroma parfumnya dalam-dalam.
“Aku juga kangen.” Bisikku pelan.
James mengeratkan pelukannya. Aku bisa merasakan nafasnya
menggelitik leherku.
“Aku senang kau datang. Apa Kendall yang menyuruhmu?”
“Uhm iya..”
“Aku tahu dia selalu bisa diandalkan.” Dia tertawa kecil.
“Aku tahu.” Aku ikut tertawa.
Dia melepaskan pelukannya, menangkupkan wajahku dengan
kedua tangannya. “Please maafin aku, aku gak tahan kalau kamu marah sama aku.”
Aku menggeleng, “akulah yang harusnya minta maaf.
Seharusnya aku gak marah sama kamu. Kamu gak ngelakuin apa-apa, setidaknya
belum.”
“Aku gak akan macam-macam. Aku cinta kamu. Aku pengen
kamu percaya sama aku.”
“Aku percaya, James. Aku percaya.” Aku tersenyum tulus.
Dan dia menciumku. Awalnya pelan dan lembut, namun
semakin lama ciumannya menjadi semakin cepat, mulutku membuka menyambut serbuan
lidahnya, nafas kami semakin berat. James mengangkatku ke dalam gendongannya,
masih dengan bibir yang saling terpaut dia mendudukkan di kursi yang tadi
didudukinya. Melepas sweaterku dalam sekali tarikan, untung saja belum sempat
membuka kaus yang ku pakai karena tiba-tiba pintu menjeblak terbuka.
“Woaah guys guys.. tahan!” Logan berteriak dari depan
pintu kedua tangan menutup wajahnya.
James otomatis melompat menjauh dariku.
“Dude kau tidak pernah dengar istilah mengetuk pintu ya.”
Logan menurunkan tangannya, “mana ku tahu kalau kalian
sedang berbuat asusila disini.”
James mendengus, memungut sweaterku yang tadi
dilemparnya, kemudian mengembalikannya padaku. Saat itu Carlos dan Kendall
menyusul di belakang Logan.
“Uh, ada apa ya?” Carlos menatap bingung ke arah Logan
yang berdiri di depan pintu, aku yang terduduk di kursi berusaha merapikan
rambutku yang berantakan dan James yang membetulkan celananya yang tadi hampir
saja kulorotkan.
“Oh cuma pasangan mesum yang gak tahu tempat.” Kata Logan
sarkastis lengkap dengan cengirannya.
Carlos mengangguk geli, dan Kendall tak repot-repot
menyembunyikan tawanya.
“Gak ada yang lucu.” Semburku pada mereka. Pipi James
memerah.
“Memang gak ada kok, Rose.” Kata Kendall setelah tawanya
reda. “Tapi senang melihatmu disini. James jadi gak galau lagi. Aku bosan
mendengarnya memanggil namamu terus.”
James cuma memutar bola matanya.
“Ya sudah, mari pulang, aku ditunggu Alexa.” Carlos
menerobos masuk, mengambil ranselnya di balik pintu. “Sampai ketemu besok,
amigo. Syuting pertama season 4 woohoo!” serunya penuh semangat.
“Carlos jangan lupa upload foto-foto tadi, okay.” Kendall
mengingatkan.
Carlos mengangkat jempolnya sebagai jawaban, lalu keluar
dan lenyap dari pandangan.
Kendall dan Logan menyusul setelahnya. Logan menepuk
kepalaku sebelum keluar, membuatku meninju bahunya. Yang dia balas dengan tawa
mengejek.
“Bye kiddo, have fun. Jangan lupa pakai pengaman.”
“Whore.” Aku menjulurkan lidah padanya.
“Senang melihat kalian baikan lagi.” Kata Kendall tulus.
Memang dia yang paling normal di antara mereka semua, setelah James tentu saja.
“Thanks Kendall.” balas James, aku tahu dia tak hanya
berterimakasih karena ucapan Kendall barusan, tapi juga karena dia berhasil
membujukku kembali.
Kendal mengangguk, kemudian diapun berlalu.
“Well sebaiknya kita pulang juga. Banyak hal yang harus
kita selesaikan.” James mengedip nakal ke arahku.
Aku tertawa, dan bergandengan kami berjalan keluar.
***
Permainan dimulai.
Mereka tak pernah memberitahuku—sampai tadi malam—bahwa mereka
telah menjadwalkanku di acara talk show Live
With Kelly and Michael pagi ini. Dan sekarang disinilah aku, wajah ditekuk
habis-habisan. Karena bayangkan saja aku harus bangun pagi-pagi sekali,
dijemput paksa oleh Mark yang tak henti-hentinya mengoceh tentang apa yang
harus aku katakan, bagaimana aku harus bersikap, dan mereka sama sekali tak
memberikanku kopi, menakjubkan.
Sementara itu penata riasku melemparkan pandangan jengkel
kepadaku, yang tak bisa menahan dengusan setiap kali Mark berbicara, membuatnya
harus mengulang dua kali apapun yang dia poleskan di wajahku.
“Lima belas menit lagi, Rose.” Kata Mark mengecek
alrojinya. “Kau tahu apa yang harus kau—“
“Iya Mark aku tahu okay!” Tak bisa menahan bentakan,
“kenapa sih kau tidak memberikanku kopi saja. Kepalaku mau meledak mendengar
ocehanmu dari tadi.”
Mark sama sekali tak terlihat tersinggung, dia tersenyum
manis ke arahku kemudian memerintahkan asistennya mengambilkanku kopi.
“Oh ini akan seru sekali.” Mark bertepuk tangan kecil,
terlihat sangat bersemangat. Beberapa menit kemudian asistennya kembali
membawakan kopiku. Aku memilih diam dan menyeruput kopi hangat itu. Tak mau
meladeni Mark.
“Dua menit.” Seorang pria bertubuh besar melongokkan
kepala dari depan pintu, dia mengalungkan kartu staf di lehernya.
Dengan enggan aku berdiri, menaruh kopi yang baru
setengah kuminum itu di meja. Penata riasku mundur mengagumi hasil kerjanya.
Sebelum aku keluar, Mark menepuk lenganku pelan.
“It’s show time.” Cengirnya lebar.
Aku hanya tersenyum kecut.
***
“Rose Stinlay hadirin sekalian.”
Aku mendengar Michael memanggil. Aku melangkah keluar
dari balik layar. Melambai dengan senyum lebar ke arah kamera dan beberapa
penonton yang ada disana.
Sedikit bangga pada diri sendiri, karena bisa menyembunyikan
perasaanku yang sebenarnya. Aku dongkol setengah mati, tapi masih bisa
tersenyum bahagia seperti ini, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Wah, piala
Oscarku tidak sia-sia ternyata.
“Selamat pagi, Rose.” Kelly memelukku. “Senang sekali kau
bisa hadir kembali disini.”
“Pagi Kelly, dan yah senang bisa berada disini.” Aku bergantian memeluknya dan Michael.
“Jadi ceritakan pada kami apa hal-hal menarik apa yang
telah kami lewatkan.” Kelly bertanya dengan antusiasme yang sedikit berlebihan.
Aku terkikik pelan sebelum menjawab pertanyaannya. Album,
tur, film baru, semua jawaban yang sudah derecoki Mark padaku.
“Bagaimana dengan percintaan. Kurasa kau semakin lengket
dengan pacarmu, ya kan.”
Dan inilah dia, pertanyaan puncak. Kebohongan dimulai.
“Oh.. sebenarnya..” Aku mendesah dramatis. “Saat ini aku
jomblo.”
Aku mendengar beberapa seruan “Awwwh..” dari penonton.
“Jomblo? Benarkah? Bagaimana dengan James?” Michael
mengerjapkan matanya jenaka.
“Yeah.. kami sudah putus. Sudah seminggu sebenarnya.” Aku
mengangkat bahu pura-pura tak peduli.
‘Bohong tentu
saja.’ Aku berkata dalam hati.
“Oh.. sedih sekali.” Kelly memasang mimik sedih
dibuat-buat, memangnya peduli apa dia soal hubunganku. Yang dia pedulikan hanya
bagaimana mendapat rating yang bagus. “Apa yang terjadi?”
Aku tertawa lagi, “biasalah. Kurasa kami sudah tidak
cocok lagi.”
‘Seks semalam
benar-benar hebat kalau kau tanya aku.’
“Jadi kau tak pernah bertemu lagi dengannya?” kata
Michael.
“Tidak sejak putus. Kami butuh waktu untuk menenangkan diri,
tahulah.”
‘aku menginap di
rumahnya lagi malam ini.’
“Oh Rose, kau tahu kata mereka. Mati satu tumbuh seribu.
Kau akan menemukan pria yang lebih baik darinya.” Kelly menatapku dengan
pandangan prihatin yang lagi-lagi dibuat-buat.
Aku mengangguk, tersenyum. “Tentu saja.”
Mereka menanyakan beberapa pertanyaan lain padaku.
Sebelum akhirnya produser membuat tanda time out, dan berakhirlah interview
singkat kami.
***
Tak perlu waktu lama. Berita itu langsung tersebar.
Memalukan bagaimana masalah kecil seperti itu bisa berubah menjadi skandal
besar di tangan para penggosip.
Mulai dari Perez Hilton, TMZ, sampai US Weekly, memasang
artikel tentangku di website mereka.
“Rose menjomblo
lagi. Apa yang terjadi?”
“James Maslow
selingkuh, Rose patah hati.”
“Bintang pop star
Rose Stinlay, dicampakkan mantan pacar.”
Aku menutup laptop dipangkuanku kesal. Tak salah lagi
Mark telah mengangin-anginkan berita ini. Menyebarkan skenarionya bahwa James
selingkuh dariku.
“Hebat kan apa yang bisa dilakukan internet. Kau hanya
perlu memberikan sedikit kalimat profokatif dan bam sekarang semua orang
membicarakanmu.” Mark mendesah puas dari kursinya.
Seandainya pandangan bisa membunuh, Mark pasti sudah
terbujur kaku sekarang. Yang lebih menjengkelkan lagi aku harus semobil dengan
dia. Aku memilih duduk di ujung, jauh-jauh darinya. Merasa beruntung hanya ada
kami di bangku belakan Limousine luas ini—Rachel sedang menangani kliennya yang
lain, dan bodyguard-bodyguard ku berada di mobil lain, mengekor di belakang—jadi
aku tak harus berdekatan denganya.
“Ayolah Rose, nikmati popularitasmu. Sebentar lagi akan
ada banyak paparazzi yang membuntutimu. Dan perlu aku ingatkan, kau tidak bisa
keluar semaumu dengan James sekarang. Atau skenario kita akan berantakan.”
Aku membalasnya dengan gerutuan.
Mark tak peduli, dia mengambil Sampanye dari kulkas kecil
di bawah tempat duduknya. Menuangkan ke gelasnya, mengabaikanku dia bersulang
untuk dirinya sendiri.
***
Twitterku banjir. Mentionku membludak dari fans-fans yang
khawatir bahkan senang dengan berita ini.
‘@Rose please
katakan kau tak putus dengan @jamesmaslow. Kalian pasangan paling serasi di
jagat raya.’
‘@Rose @jamesmaslow
aku tak rela kalian putus. TIIIDAAAAAAK!!’
‘@Rose aku tahu dia
bukan cowok yang baik untukmu, sekarang tak ada lagi yang menghalangi cinta
kita.’
@Rose aku percaya
kalian akan bersatu lagi. HARUS!!! KAU DENGAR AKU?!’
‘apapun yang
terjadi kami ada disini untukmu. Kami mendukungmu sampai titk darah penghabisan
@Rose #RosariansLoveYou’
Aku terharu membacanya. Kalau saja mereka tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Tapi aku tak bisa memberitahu mereka kan. Kalau tidak mau
dipecat dan di blackout dari Hollywood. Aku tak membalas komentar mereka. Aku
tak bisa berbohong lebih jauh ke pada fans-fansku yang sudah mendukungku dengan
segenap jiwa mereka. Jadi aku hanya menulis.
“Aku baik-baik
saja. Tak ada yang perlu dicemaskan. Rosarian aku cinta kalian.”
Jarum jam sudah berada di angka 11, tetapi James belum
pulang. Dia sudah meneleponku tadi dan bilang mungkin dia akan pulang sedikit
terlambat. Hari ini hari pertama mereka syuting season lanjutan serial mereka.
Padahal saat ini aku sangat butuh pelukan darinya, dan dia membawa Fox jadi aku
benar-benar sendiri sekarang, kesepian. Aku memutuskan untuk tidur, toh nanti
kalau James pulang dia pasti akan membangunkanku.
***
TBC
TBC
No comments:
Post a Comment