Saturday, May 11, 2013

White Rose (Part 3)



Kendall meneleponku keesokan harinya. Aku sedang di studio, berusaha merampungkan penggarapan album keempatku, sekaligus sebagai pelarian agar aku tidak terus-terusan memikirkan James. Aku belum berbicara dengannya sejak aku meninggalkan rumahnya kemarin malam. Dia juga tak meneleponku. Dia sengaja memberikanku waktu untuk berpikir, dan aku menghargainya.

“Hey Kindle.” Jawabku lemas begitu mengangkat teleponnya.

“Hey kau lagi boker ya, lama sekali jawabnya.” Gerutu Kendall di seberang sana.

“Aku lagi di studio.” Jelasku. Normalnya aku akan membalas sindirannya, namun saat ini aku sedang malas bicara.

“Oh.” Hanya itu yang dikatakannya.

Kami berdua terdiam.

“Kau oke, Rose?” Kendall bertanya hati-hati.

“Yeah, aku baik-baik saja.”

“James sudah cerita.” Sambungnya, “dia khawatir padamu.”

“Aku tahu.”

“Dia takut kalau dia menelepon kau tidak mau menjawab.”

“Jadi alih-alih dia menyuruhmu untuk memata-mataiku? Apa dia ada dekatmu  sekarang?”

“Ya, tidak, dan tidak.” Kendall menghela nafas, “dia memang menyuruhku untuk meneleponmu tapi bukan untuk memata-matai. Dia hanya khawatir, dia tahu aku orang yang tepat untuk diajak bicara. Dan tidak, dia tidak ada di dekatku sekarang. Dia sedang, entahlah. Mungkin di set bersama Logan.”

“Set? Kalian di lokasi syuting?”

“Yep.. first table read, ingat?”

“Oh.. baiklah.”

“Jadi ada yang ingin kau ceritakan?”

“James sudah cerita semua kan.”

“Hanya dari sudut pandangnya, tidak dari sudut pandangmu.”

Aku menghela nafas dalam. Kendall selalu tahu caranya membujukku bicara. Seperti saat itu, dia mampir ke apartemenku dan aku memaksanya tinggal untuk makan malam—James sedang mengunjungi orang tuanya di New York—awalnya kami hanya membicarakan video game favorit tapi hal berikut yang aku tahu, aku menceritakan semua rahasiaku padanya, mengeluarkan semua keluh kesahku. Dan dia selalu punya saran untuk semua masalahku. James benar dia orang yang tepat untuk diajak bicara.

“Aku tak tahu Kendall. Aku marah pada James. Tapi aku juga takut James jadi kesal padaku dan menggunakan kejadian ini sebagai alasan untuk putus. Aku gak mau kehilangan dia.” Suaraku pecah menahan isakan.

“Husssh..” Kendall menenangkanku, “dia sama sekali tidak berpikiran seperti itu. Dia mencintaimu, sebesar cintamu padanya. Dia juga takut kehilanganmu, dia pikir kau akan ngambek selamanya.” Kendall terkekeh pelan.

“Aku gak mungkin ngambek selamanya.” Aku mengusap air mataku, bodoh sekali rasanya menangis hanya karena masalah seperti ini.

“Kau harus bicara padanya. Kalian harus bicara. Kalau kau justru lari seperti ini, kau akan kehilangan dia.”

“Yeah kau benar.”

“Aku memang selalu benar. Dan cuma bilang, tim promosi kita memang brengsek.”

Mau tak mau aku tertawa mendengarnya. “Terimakasih Ken.. kau selalu tahu apa yang harus dikatakan.”

“Aku selalu disini untukmu Rose.”

Aku tahu dia tersenyum ketika mengatakan itu.

“Jadi kau mampir sore ini?”

“Tentu, tapi jangan bilang James ya. Aku mau memberikan kejutan untuknya.”

“Pasti. Sampai ketemu nanti kalau begitu.”

“Bye Kendall.”

***

Aku melangkah ke ruang ganti James, Kendall, Logan dan Carlos. Sebagian besar set kosong. Aku hanya bertemu beberapa kru dalam perjalanan ke sini. Dan mereka semua menyuruhku menunggu di sini, seperti hari-hari biasa. Karena sejak aku menjadi bintang tamu di serial ini, dan sejak aku mulai dekat dengan James. Aku sering berkunjung kemari.

Asumsiku semua orang sedang berada di ruang pertemuan, membicarakan adegan-adegan yang akan mulai mereka ambil besok. Dan aku mengira James juga ada disana, jadi aku masuk tanpa mengetuk lebih dulu.

Tapi ternyata James sedang duduk di kursi berlengan empuk di pinggir ruangan, memainkan iPhonenya. Dia menoleh begitu aku membuka pintu. Terkesiap begitu melihatku, tapi sebentar kemudian ekspresinya berubah lega.

Aku mematung di depan pintu, tak tahu harus berbuat apa. Aku ingin lari ke pelukannya, karena walaupun tidak bertemu dengannya hanya selama beberapa jam aku sudah kangen berat.

“Hay..” James bangkit, mengantongi iPhonenya, mendekat ke arahku.

“Hay.” Balasku canggung.

Dia terseyum, senyum bahagia sambil menatapku dengan tatapan itu. Tatapan menyayang yang bahkan bisa melelehkan batu. Aku mendadak lemas.

“Apa kabar?”

Aku berdehem, “baik. Kau?”

“Lebih baik karena kau ada disini.”

Tuh kan dia melakukannya lagi. Bagaimana mungkin aku bisa marah padanya. Laki-laki manis ini, yang kelihatannya sangat mencintaiku.

“Aku kangen.” Lanjutnya lagi, karena aku hanya terdiam.

Aku tak tahan lagi. Aku menumbruknya, memeluknya erat, menghirup aroma parfumnya dalam-dalam.

“Aku juga kangen.” Bisikku pelan.

James mengeratkan pelukannya. Aku bisa merasakan nafasnya menggelitik leherku.

“Aku senang kau datang. Apa Kendall yang menyuruhmu?”

“Uhm iya..”

“Aku tahu dia selalu bisa diandalkan.” Dia tertawa kecil.

“Aku tahu.” Aku ikut tertawa.

Dia melepaskan pelukannya, menangkupkan wajahku dengan kedua tangannya. “Please maafin aku, aku gak tahan kalau kamu marah sama aku.”

Aku menggeleng, “akulah yang harusnya minta maaf. Seharusnya aku gak marah sama kamu. Kamu gak ngelakuin apa-apa, setidaknya belum.”

“Aku gak akan macam-macam. Aku cinta kamu. Aku pengen kamu percaya sama aku.”

“Aku percaya, James. Aku percaya.” Aku tersenyum tulus.

Dan dia menciumku. Awalnya pelan dan lembut, namun semakin lama ciumannya menjadi semakin cepat, mulutku membuka menyambut serbuan lidahnya, nafas kami semakin berat. James mengangkatku ke dalam gendongannya, masih dengan bibir yang saling terpaut dia mendudukkan di kursi yang tadi didudukinya. Melepas sweaterku dalam sekali tarikan, untung saja belum sempat membuka kaus yang ku pakai karena tiba-tiba pintu menjeblak terbuka.

“Woaah guys guys.. tahan!” Logan berteriak dari depan pintu kedua tangan menutup wajahnya.

James otomatis melompat menjauh dariku.

“Dude kau tidak pernah dengar istilah mengetuk pintu ya.”

Logan menurunkan tangannya, “mana ku tahu kalau kalian sedang berbuat asusila disini.”

James mendengus, memungut sweaterku yang tadi dilemparnya, kemudian mengembalikannya padaku. Saat itu Carlos dan Kendall menyusul di belakang Logan.

“Uh, ada apa ya?” Carlos menatap bingung ke arah Logan yang berdiri di depan pintu, aku yang terduduk di kursi berusaha merapikan rambutku yang berantakan dan James yang membetulkan celananya yang tadi hampir saja kulorotkan.

“Oh cuma pasangan mesum yang gak tahu tempat.” Kata Logan sarkastis lengkap dengan cengirannya.

Carlos mengangguk geli, dan Kendall tak repot-repot menyembunyikan tawanya.

“Gak ada yang lucu.” Semburku pada mereka. Pipi James memerah.

“Memang gak ada kok, Rose.” Kata Kendall setelah tawanya reda. “Tapi senang melihatmu disini. James jadi gak galau lagi. Aku bosan mendengarnya memanggil namamu terus.”

James cuma memutar bola matanya.

“Ya sudah, mari pulang, aku ditunggu Alexa.” Carlos menerobos masuk, mengambil ranselnya di balik pintu. “Sampai ketemu besok, amigo. Syuting pertama season 4 woohoo!” serunya penuh semangat.

“Carlos jangan lupa upload foto-foto tadi, okay.” Kendall mengingatkan.

Carlos mengangkat jempolnya sebagai jawaban, lalu keluar dan lenyap dari pandangan.

Kendall dan Logan menyusul setelahnya. Logan menepuk kepalaku sebelum keluar, membuatku meninju bahunya. Yang dia balas dengan tawa mengejek.

“Bye kiddo, have fun. Jangan lupa pakai pengaman.”

“Whore.” Aku menjulurkan lidah padanya.

“Senang melihat kalian baikan lagi.” Kata Kendall tulus. Memang dia yang paling normal di antara mereka semua, setelah James tentu saja.

“Thanks Kendall.” balas James, aku tahu dia tak hanya berterimakasih karena ucapan Kendall barusan, tapi juga karena dia berhasil membujukku kembali.

Kendal mengangguk, kemudian diapun berlalu.

“Well sebaiknya kita pulang juga. Banyak hal yang harus kita selesaikan.” James mengedip nakal ke arahku.

Aku tertawa, dan bergandengan kami berjalan keluar.

***

Permainan dimulai.

Mereka tak pernah memberitahuku—sampai tadi malam—bahwa mereka telah menjadwalkanku di acara talk show Live With Kelly and Michael pagi ini. Dan sekarang disinilah aku, wajah ditekuk habis-habisan. Karena bayangkan saja aku harus bangun pagi-pagi sekali, dijemput paksa oleh Mark yang tak henti-hentinya mengoceh tentang apa yang harus aku katakan, bagaimana aku harus bersikap, dan mereka sama sekali tak memberikanku kopi, menakjubkan.

Sementara itu penata riasku melemparkan pandangan jengkel kepadaku, yang tak bisa menahan dengusan setiap kali Mark berbicara, membuatnya harus mengulang dua kali apapun yang dia poleskan di wajahku.

“Lima belas menit lagi, Rose.” Kata Mark mengecek alrojinya. “Kau tahu apa yang harus kau—“

“Iya Mark aku tahu okay!” Tak bisa menahan bentakan, “kenapa sih kau tidak memberikanku kopi saja. Kepalaku mau meledak mendengar ocehanmu dari tadi.”

Mark sama sekali tak terlihat tersinggung, dia tersenyum manis ke arahku kemudian memerintahkan asistennya mengambilkanku kopi.

“Oh ini akan seru sekali.” Mark bertepuk tangan kecil, terlihat sangat bersemangat. Beberapa menit kemudian asistennya kembali membawakan kopiku. Aku memilih diam dan menyeruput kopi hangat itu. Tak mau meladeni Mark.

“Dua menit.” Seorang pria bertubuh besar melongokkan kepala dari depan pintu, dia mengalungkan kartu staf di lehernya.

Dengan enggan aku berdiri, menaruh kopi yang baru setengah kuminum itu di meja. Penata riasku mundur mengagumi hasil kerjanya. Sebelum aku keluar, Mark menepuk lenganku pelan.

“It’s show time.” Cengirnya lebar.

Aku hanya tersenyum kecut.


***

“Rose Stinlay hadirin sekalian.”

Aku mendengar Michael memanggil. Aku melangkah keluar dari balik layar. Melambai dengan senyum lebar ke arah kamera dan beberapa penonton yang ada disana.

Sedikit bangga pada diri sendiri, karena bisa menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Aku dongkol setengah mati, tapi masih bisa tersenyum bahagia seperti ini, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Wah, piala Oscarku tidak sia-sia ternyata.

“Selamat pagi, Rose.” Kelly memelukku. “Senang sekali kau bisa hadir kembali disini.”

“Pagi Kelly, dan yah senang bisa berada disini.” Aku bergantian memeluknya dan Michael.

“Jadi ceritakan pada kami apa hal-hal menarik apa yang telah kami lewatkan.” Kelly bertanya dengan antusiasme yang sedikit berlebihan.

Aku terkikik pelan sebelum menjawab pertanyaannya. Album, tur, film baru, semua jawaban yang sudah derecoki Mark padaku.

“Bagaimana dengan percintaan. Kurasa kau semakin lengket dengan pacarmu, ya kan.”

Dan inilah dia, pertanyaan puncak. Kebohongan dimulai.

“Oh.. sebenarnya..” Aku mendesah dramatis. “Saat ini aku jomblo.”

Aku mendengar beberapa seruan “Awwwh..” dari penonton.

“Jomblo? Benarkah? Bagaimana dengan James?” Michael mengerjapkan matanya jenaka.

“Yeah.. kami sudah putus. Sudah seminggu sebenarnya.” Aku mengangkat bahu pura-pura tak peduli.

‘Bohong tentu saja.’ Aku berkata dalam hati.

“Oh.. sedih sekali.” Kelly memasang mimik sedih dibuat-buat, memangnya peduli apa dia soal hubunganku. Yang dia pedulikan hanya bagaimana mendapat rating yang bagus. “Apa yang terjadi?”

Aku tertawa lagi, “biasalah. Kurasa kami sudah tidak cocok lagi.”

‘Seks semalam benar-benar hebat kalau kau tanya aku.’

“Jadi kau tak pernah bertemu lagi dengannya?” kata Michael.

“Tidak sejak putus. Kami butuh waktu untuk menenangkan diri, tahulah.”

‘aku menginap di rumahnya lagi malam ini.’

“Oh Rose, kau tahu kata mereka. Mati satu tumbuh seribu. Kau akan menemukan pria yang lebih baik darinya.” Kelly menatapku dengan pandangan prihatin yang lagi-lagi dibuat-buat.

Aku mengangguk, tersenyum. “Tentu saja.”

Mereka menanyakan beberapa pertanyaan lain padaku. Sebelum akhirnya produser membuat tanda time out, dan berakhirlah interview singkat kami.

***

Tak perlu waktu lama. Berita itu langsung tersebar. Memalukan bagaimana masalah kecil seperti itu bisa berubah menjadi skandal besar di tangan para penggosip.

Mulai dari Perez Hilton, TMZ, sampai US Weekly, memasang artikel tentangku di website mereka.

“Rose menjomblo lagi. Apa yang terjadi?”

“James Maslow selingkuh, Rose patah hati.”

“Bintang pop star Rose Stinlay, dicampakkan mantan pacar.”

Aku menutup laptop dipangkuanku kesal. Tak salah lagi Mark telah mengangin-anginkan berita ini. Menyebarkan skenarionya bahwa James selingkuh dariku.

“Hebat kan apa yang bisa dilakukan internet. Kau hanya perlu memberikan sedikit kalimat profokatif dan bam sekarang semua orang membicarakanmu.” Mark mendesah puas dari kursinya.

Seandainya pandangan bisa membunuh, Mark pasti sudah terbujur kaku sekarang. Yang lebih menjengkelkan lagi aku harus semobil dengan dia. Aku memilih duduk di ujung, jauh-jauh darinya. Merasa beruntung hanya ada kami di bangku belakan Limousine luas ini—Rachel sedang menangani kliennya yang lain, dan bodyguard-bodyguard ku berada di mobil lain, mengekor di belakang—jadi aku tak harus berdekatan denganya.

“Ayolah Rose, nikmati popularitasmu. Sebentar lagi akan ada banyak paparazzi yang membuntutimu. Dan perlu aku ingatkan, kau tidak bisa keluar semaumu dengan James sekarang. Atau skenario kita akan berantakan.”

Aku membalasnya dengan gerutuan.

Mark tak peduli, dia mengambil Sampanye dari kulkas kecil di bawah tempat duduknya. Menuangkan ke gelasnya, mengabaikanku dia bersulang untuk dirinya sendiri.

***

Twitterku banjir. Mentionku membludak dari fans-fans yang khawatir bahkan senang dengan berita ini.

‘@Rose please katakan kau tak putus dengan @jamesmaslow. Kalian pasangan paling serasi di jagat raya.’

‘@Rose @jamesmaslow aku tak rela kalian putus. TIIIDAAAAAAK!!’

‘@Rose aku tahu dia bukan cowok yang baik untukmu, sekarang tak ada lagi yang menghalangi cinta kita.’

@Rose aku percaya kalian akan bersatu lagi. HARUS!!! KAU DENGAR AKU?!’

‘apapun yang terjadi kami ada disini untukmu. Kami mendukungmu sampai titk darah penghabisan @Rose #RosariansLoveYou’

Aku terharu membacanya. Kalau saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tak bisa memberitahu mereka kan. Kalau tidak mau dipecat dan di blackout dari Hollywood. Aku tak membalas komentar mereka. Aku tak bisa berbohong lebih jauh ke pada fans-fansku yang sudah mendukungku dengan segenap jiwa mereka. Jadi aku hanya menulis.

“Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu dicemaskan. Rosarian aku cinta kalian.”

Jarum jam sudah berada di angka 11, tetapi James belum pulang. Dia sudah meneleponku tadi dan bilang mungkin dia akan pulang sedikit terlambat. Hari ini hari pertama mereka syuting season lanjutan serial mereka. Padahal saat ini aku sangat butuh pelukan darinya, dan dia membawa Fox jadi aku benar-benar sendiri sekarang, kesepian. Aku memutuskan untuk tidur, toh nanti kalau James pulang dia pasti akan membangunkanku.

***





TBC

No comments:

Post a Comment