“Rose.. demi Tuhan, kau ini pengiring pengantin, apa yang kau lakukan??”
Nanny menerobos masuk ke kamarku, berkacak pinggang dan menggerutu.
“Sabar nanny.. gaun ini ribet banget..” kataku sambil berusaha mengaitkan
gaunku.
Nanny menggeleng, dia mendekat dan kemudian membantuku. Aku melihat pantulan
diriku di cermin sekali lagi. Nanny tersenyum.
“kau cantik sayang..” katanya sambil merapikan tatanan rambutku, “Nanny
tidak sabar melihatmu berdiri di altar itu.”
Aku memutar bola mata. “giliranku masih lama Nanny..”
“Kau bisa mempercepatnya..”
“Ah Nanny.. sudahlah, nanti kita terlambat.”
Aku bergegas keluar kamar, tak ingin mendengar ocehan Nanny lebih lama lagi,
Nanny menyusulku, dan dengan seluruh sisa angota keluarga yang lain, kami
berangkat menuju tempat pernikahan sepupuku.
***
Aku betepuk tangan haru begitu janji setia sehidup semati itu di ikrarkan,
sepupuku—Suze, menagis dalam pelukan suaminya, mereka melambai kepada tamu undangan
dibawah kanopi bunga indah sebagai singasana mereka. Aku menyelipkan diri di
antara berisan para tamu, berusaha menjadi yang pertama yang mengucapkan
selamat. Pipi Suze basah oleh air mata kebahagiaan begitu pula aku. Pernikahan
ini sangat indah, membuatku berpikir tentang pernikahanku sendiri. Aku dengan
balutan gaun pengantin putih cantik, berdampingan dengan belahan jiwaku,
mengucapkan janji setia kami. Bayangan yang memabukkan.
Pernikahan beralih ke resepsi. Suasana rileks dan bahagia. Sebagian tamu
menari di lantai dansa, berebut ingin berdansa dengan kedua pengantin. Aku
sendiri sudah tiga kali berputar-putar dengan pasangan berbeda. Kaki ku kebas,
dan gaun ini rasanya melilit tubuhku terlalu kencang. Aku duduk di pinggir
bayang-bayang tenda, menyesapi rasa khidmat yang memenuhi udara.
“Pesta yang indah.” Seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku, aku menoleh.
“Kendall..???” seruku terkejut “apa yang kau lakukan disini??”
“Uh.. aku petugas Catering maam..” Kendall terkekeh.
Aku memutar bola mata “kau tahu maksudku..”
“Well… Brad—suami Suze, dia temannya Kevin, tapi Kevin tidak bisa
datang, jadi dia memintaku untuk hadir disini, kami dulu sering bermain Hockey
bersama, kau tahu..”
“Oh,, aku tidak tahu soal itu.”
Ia terkekeh lagi “Tidak heran, kau kan selalu ketinggalan berita.”
Aku meninju bahunya pelan, tersenyum malu.
“Jadi.. apa kabar Rose.. sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Terakhir
saat kau menemani James ke prom itu kan.”
James.. tiba-tiba jantungku berhenti berdetak, kehampaan menguasai diriku.
Rasa sakit itu menghantam telak, aku tak bisa menghindar. Tanpa sadar aku
mencengkram dadaku—kebiasaan, berharap itu bisa mengurangi sakitnya. Aku
menghitung mundur dari 10, menunggu rasa sakit itu mereda.
Kendall pasti melihat perubahan di wajahku, karena kemudian dia menampakkan
rasa menyesal.
“Maaf.. jadi itu benar?” tanyanya hati-hati.
Aku menghembuskan nafas panjang, menenangkan diri.
“Ya..” kataku pelan.
“Maaf Rose.. aku tidak tahu.” Dia kelihatan benar-benar menyesal.
Aku mencoba tersenyum "It’s ok.. tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku
hanya….. belum terbiasa.”
“Diapun sama sepertimu..”
Aku menatapnya bingung.
“James.. dia tidak menceritakannya pada kami tentu saja. Tapi setiap kami
bertanya, reaksinya sama sepertimu tadi. Sekarang dia jadi kurang….fokus. Dia
berusaha professional, tidak membawa urusan pribadi ke dalam band, tapi aku
sudah mengenalnya terlalu lama untuk dibohongi. Dia menderita Rose.”
“Oh…” hanya itu yang bisa aku katakan. Tidak tahu harus merasa lega atau
sedih mengetahui James merasakan hal yang sama sepertiku. Selama ini kupikir
dia sudah melupakanku dan menjalin cinta dengan Miranda itu.
“Tapi dia kan sudah punya pacar baru..” kataku menahan getir.
“Siapa?? Miranda??”
Aku mengangkat bahu, pura-pura tak peduli.
Kendall menggeleng. “Mereka sudah jarang berkomunikasi sekarang, bahkan dari
yang kudengar Miranda sedang terlibat cinta lokasi.”
Aku mengigit bibir bawahku. Kendall membawa harapan itu lagi. Harapan yang
susah payah ku tekan jauh kebawah alam sadarku. Harapan menemukan oase ditengah
padang pasir panas yang membakarku.
“Rose…” Ia meletakkan kedua tangannya di pundakku, memaksaku menatap kedua
matanya. “Kalian berdua sahabatku, tidak seharusnya kalian seperti ini. Kalian
bisa kok balikan lagi.”
Aku menggeleng lemah “tidak Ken.. masalahnya tidak semudah itu, ini….rumit
aku sendiri tidak mengerti.”
“kenapa tidak coba kau bicarakan?”
“Aku tidak sanggup bertemu dengannya.”
“Lalu bagaimana kau bisa mengerti kalau begitu? Kalau kau membiarkan
benangnya kusut, tanpa berusaha menguraikannya, merapikannya.”
Aku terdiam, kata-kata Kendall menyesap ke sanubariku.
“Begini saja..” Katanya sejurus kemudian, “akhir pekan ini kami mengadakan
pesta. Kau harus ikut.oke.. tidak.. dengarkan dulu..” dia memotongku dari
menginterupsi. “Aku tidak memintamu datang untuk berbicara dengan James, aku
memintamu datang sebagai pasanganku. Kau tidak harus bertemu James, kau bisa
menghindarinya kalau kau mau.”
Aku terdiam lagi, berpikir..
“Ayolah.. tidakkah kau mau membantu kawan lama ini? Tidakkah kau rindu pada
Logan dan Carlos??” Kendall memainkan pancingannya dengan sempurna.
Aku masih berpikir, menimbang untung dan ruginya. Akibat yang akan aku
hadapi setelahnya. Well.. tidak ada salahnya sih mencoba. Lagipula seperti kata
Kendall tadi, aku tidak harus bertemu James.. tapi pertanyaan yang juga
mengusikku, bisakah aku menghindarinya?.
***
“Kau siap??” Kendall menggandeng tanganku begitu kami keluar dari mobil. Aku
menghela napas dalam.
“Aku masih tak percaya kau membuatku melakukan ini.”
Kendall tertawa pelan “Well.. Rose aku hanya ingin membantu.”
“Aku tidak perlu dibantu. Ayolah Ken.. aku tidak siap bertemu dia.”
“Tidak bisa Lady. Kita sudah sampai di sini, kau tidak bisa mundur sekarang.
It’s show time.” Katanya mengedipkan sebelah mata.
Aku menghela nafas lagi “Whatever Ken.. make it faster.”
Kendall tertawa, “Aku suka semangat itu. Mari masuk.”
Dan kami berjalan menembus kerumunan. Blitz kamera menyambut, Kendall
tersenyum kearah wartawan-wartawan itu dan memintaku melakukan hal yang sama.
Rasanya rahangku mau patah saking seringnya tersenyum.
“Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tahan dengan semua itu.” Kataku pada
Kendall begitu kami sudah berada di dalam gedung, tanpa wartawan.
“Kalau kau seorang public figure, kau akan terbiasa. Pertama kali akupun
risih, tapi sekarang itu semua sudah menjadi bagian hidupku.”
“Alasan lain kenapa aku tidak ingin menjadi artis.”
“yah.. sebaiknya tidak usah, karena persaingan di dunia ini sudah cukup
ketat, tanpa kau harus ikut masuk ke dalamnya.” Dia tertawa.
Aku mengerucutkan bibir gemas “Anyway.. apa mereka nanti tidak akan membuat
gosip yang tidak-tidak tentangmu?” tanyaku sidikit cemas.
“Kenapa?? Kau takut diserang fans-fanku ya??” Kata Kendall sambil lalu.
Membimbingku masuk ke ruangan besar berpelitur mengkilap. Musik dansa memenuhi
ruangan itu. Aroma makanan yang menggiurkan bercampur dengan aroma anggur
paling mahal. Orang-orang berpakain formal dan semi-formal berseliweran,
sebagian menyapa Kendall dan menjabat tangannya. Jadi seperti ini pesta para
selebriti, kukira selama ini pesta mereka dipenuhi para penari telanjang dan
mariyuana.
“Itu..berada dalam daftar pertamaku, selain itu aku tidak mau merepotkanmu.”
Ia tertawa lagi. “Santai sajalah Rosie.. nah tapi kalau masalah fans, itu
kau tanggung sendiri.”
“Rasanya aku harus mulai menyewa bodyguard mulai sekarang.” Dan kami tertawa
bersama.
“Ups.. tunggu sebentar disini ya.. aku harus menemui manager kami. Tadinya
dia menyuruh Big Time Rush datang bersama, hanya saja kami memiliki halangan
masing-masing, jadi kami pergi sendiri-sendiri. Dan jangan kemana-mana, aku
akan kembali membawakanmu minuman, Ma Lady.” Katanya membungkuk ala pelayan
kerajaan.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar bola mataku. “ya..
terserahlah, memangnya aku mau kabur kemana.. jangan lama-lama!”
Membungkuk sekali lagi kemudian dia pergi, menghilang di tengah kerumunan
orang-orang. Aku duduk di kursi mewah bewarna merah ranum dipinggir ruangan,
mengedarkan pandanganku, mencari apa yang tidak ingin aku cari. Beberapa orang
memandang ingin tahu kepadaku, mungkin bertanya-tanya pernah muncul di sampul
majalah mana aku ini. Yah.. serius, wajah-wajah disini setidaknya pernah lebih
dari sekali terpampang di sampul-sampul majalah gosip dan fashion yang dibaca
Jenny. Majalah yang tidak akan pernah aku baca. Bahkan aku bersumpah, aku melihat
Rihanna, walaupun tidak begitu yakin, karena kerumunan orang disekitarnya.
Duh.. seandainya tadi aku membawa kamera, pulpen dan kertas.
Tak sengaja aku menoleh kearah pintu masuk, tepat saat orang yang aku
tunggu-tunggu muncul. Kehampaan kembali menguasaiku, udara meninggalkan
paru-paruku, membuatku megap-megap mencari oksigen. Rasa sakit itu menghantam
dua kali lipat
James melangkah mantap, berhenti sesekali untuk menyapa teman-temannya.
Bibirnya selalu merekah karena senyum, aku jadi mempertanyakan pernyataan
Kendall kemarin, kelihatannya James bahagia-bahagia saja.
James.. dia tidak berubah sedikitpun dari yang terakhir aku lihat, kecuali
mungkin sedikit lebih kurus, wajahnya lebih tirus dan pucat. Tapi selain itu,
dia masih sama menawannya seperti sejak aku pertama mengenalnya, badanya yang
atletis, otot-ototnya yang tersembunyi di balik balutan jas itu. Bahkan dari
jarak sejauh ini aku bisa menghirup aroma tubuhnya yang memabukkan.
Aku mencengkram dadaku lagi. Semakin aku memikirkannya semakin keras pukulan
itu menerpaku, mataku mulai memanas, sebisa mungkin aku menahan diri untuk
tidak menangis, menyadari makhluk sempurna itu sudah bukan milikku lagi.
Mungkin ini yang dinamakan takdir, atau mungkin aku yang terlalu intens
menatapnya, sehingga James menyadari kehadiranku. Dia melihat tepat ke arahku,
kekagetan jelas-jelas terpancar dari wajahnya. Aku buru-buru membuang muka,
berpura-pura tidak melihatnya.
Tapi dia tidak membiarkanku. Dia berpamitan kepada temannya, kemudian
menghampiriku.
“Rose..” katanya shock “Apa yang kau lakukan disini..?”
“menemani Kendall..” jawabku singkat, suaraku serak menahan tangis, aku
berdeham untuk mengembalikan suaraku.
“Kendall???” katanya bingung.
Aku memberanikan diri menatapnya. Dia terlihat kaget dan gembira, matanya
menatap liar ke arahku, memancarkan ketidak percayaan yang kuat. Aku jadi
khawatir James berubah sinting.
“Apa yang….. Apa kau dengan Kendall sekarang??” dia menyipit curiga.
Manyadari tunduhannya aku bangkit berdiri, sedikit marah.
“Kalau yang kau maksud aku dengan Kendall itu seperti bayanganmu, tidak!.
Aku bertemu dengannya di pesta pernikahan Suze, dan dia mengundangku kesini.”
“Pernikahan Suze?? Oh maaf.. aku lupa, aku menerima undanganmu, tapi.. aku
tidak bisa hadir.” Dia menunduk, semburat merah muncul di pipinya, membuatnya
tambah menggemaskan.
“Tidak heran..” kataku sarkastis, jantungku melompat-lompat tak karuan,
namun aku berusaha tenang.
Dia menatapku lagi. Kali ini matanya dipenuhi sorot kerinduan, membuatku tidak
tahan untuk tidak memeluknya. “Kau…….cantik.” pujinya tulus.
Hampir saja pertahanku luluh, hampir saja aku menerjangnya dan menagis
dipelukannya, tidak peduli orang-orang disekitar kami.
“terima kasih..” kataku menahan diri.
“Aku…. Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu disini.. aku rindu sekali
padamu, Rose.” Cara dia mengucapkan namaku, seperti memuja. Membuatku harus
mengepalkan tangan, menahan gejolak rindu yang membuncah tinggi di dadaku.
Tuhan.. bibir itu, ingin sekali aku meraupnya. Merasakan lembutnya di
bibirku, menggulum, menghisap, membuatnya menjadi milikku lagi. Aku ingin
berada di pelukannya, bergelayut manja di lengannya, seperti yang dulu selalu
aku lakukan. Aku tidak peduli dengan masalah kami, tidak peduli bahwa kami sudah
putus. Yang aku inginkan hanya berada di pelukannya, dengan dia merengkuhku,
memperlakukanku seperti ratunya. Membuatku melayang-layang kelangit ketujuh.
“Hey.. guys…”
Kedatangan Kendall menyelamatkanku dari fantasi-fantasi liar tentang James,
aku mengerjapkan mata, meraih kesadaranku.
“Kendall.. bisa bicara sebentar?” kata James mendesak.
“Sure brother.. mari bicara.” Kendall memandangku dengan binar kegembiraan
yang menjengkelkan. Dia meletakkan dua gelas wine di meja, dan merangkul James
menjauh.
Bisa ku lihat, James langsung membobardirnya dengan
pertanyaan-pertanyaan.Kendall menjawab dengan santai, masih dengan binar
kebahagiaan yang tak wajar.
Aku menghembuskan nafas lega. Menenangkan diriku. Hampir saja aku kehilangan
kendali. Tapi sulit menahan diri dari James, gairah itu menerjangku setiap aku
ada di dekatnya. Membuatku semakin tak bisa lepas darinya, menyiksaku.
“Rose..???” gumaman heran lagi-lagi memecah lamunanku. Aku menoleh.
“Logan, Carlos..” aku tersenyum, kemudian merangkul mereka berdua.
“What a surprise melihatmu disini.” Kata Carlos begitu melepas pelukanku.
“Biasanya kan kau tidak mau ikut acara-acara seperti ini?”
“yah.. hujatlah Kendall, dia yang memaksaku.”
“Kendall???? Kukira kau dengan James.” Sahut Logan lagi-lagi dengan nada
heran..
“Yeah.. about that…….” Kata-kataku terpotong karena kedatangan Kendall dan
James.
“Men.. kalian sudah bertemu dengan tamu special kita eh..”
Aku menyikutnya kesal. Dia pura-pura meringis kesakitan.
“well.. teman-teman, mari kita meninggalkan pasangan ini berdua,mereka butuh
sedikit privacy.” Kata Kendall lagi. Aku siap menyikutnya lagi tapi dia
menghindar. Mengedipkan matanya ke arahku.
Logan dan Carlos tersenyum kepadaku, mereka mengerti. Entah ikatan batin apa
yang dimiliki cowok-cowok ini, pikiran mereka seperti terhubung satu sama lain.
Memelukku sekali lagi dan menepuk sekilas bahu James, mereka berlalu ke tengah
lantai dansa.
Tinggal aku berdua dengan James. Suasana berubah kembali menjadi kikuk.
Heran.. kenapa aku membiarkan Kendall pergi.
“Kau keberatan untuk berbicara denganku?” kata James, dia terlihat lebih
tenang.
Aku menggeleng “Tentu tidak..” aku memandang kemana saja, selain matanya.
“kalau begitu, kau tidak keberatan kita pergi dari sini?”
***
James membawaku ke taman. Taman yang sepertinya menjadi saksi kisah cinta
kami. Aku ingat saat dia memberikan kejutan romantis disini, dengan kembang api
indah mewarnai udara, merangkai kata permintaan maafnya. Mungkinkah taman ini
memiliki kekuatan magis yang mampu membuatku memaafkan semua kesalahan James?
“Jadi… kenapa kau membawaku kesini??” tanya ku memecah kesunyian.
James menatapku. Aku balas menatapnya, memperhatikan kedua alis mata
lentiknya, membayangkan bagaimana rasanya berada di sana, menaungi dua mata
indah James.
Dia menatapku lama sekali sebelum menjawab. “Bisakah kita mencoba sekali
lagi? Bisakah kita kembali, menjadi apa yang seharusnya ditakdirkan pada kita?”
Aku mendengus, walaupun perasaanku hangat mendengar kata-katanya. James mau
mencoba lagi, dia membutuhkanku sama seperti aku membutuhkannya. “Takdir apa
maksudmu? Tidak ada takdir yang mengikat kita.”
“Rose… aku mencintaimu, kau hidupku. Begitupula aku untukmu. Kita tidak bisa
hidup tanpa satu sama lain.”
Sikap sarkastisku muncul lagi. Aku duduk di bangku taman, menatapnya.
Wajahku dingin, menjaga emosi. Dikhianati satu kali, cukup untuk membuatku tak
percaya lagi.
“Benarkah begitu? Selama ini yang aku lihat kau baik-baik saja.”
James menggeram frustasi, dia berlutut di depanku. “itu semua topeng. Aku
tidak bisa mengorbankan bandku hanya karena masalah kita. Aku berpura-pura tak
terjadi apa-apa di depan mereka.
Tapi tahukah kau, saat aku sendirian, saat aku terlalu lelah bahkan untuk
berpura-pura. Kau ada disana, wajahmu, senyummu, sentuhanmu. Semua hal
mengingatkan ku padamu. Saat aku bernyanyi di atas panggung, semua gadis-gadis
itu berubah menjadi sosokmu, saat seseorang memanggil namaku, aku membayangkan
itu kau. Dan saat aku sadar semua itu hanya ilusi, kau tidak bisa membayangkan
sakitnya Rose. Aku hampir yakin aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi.” Dia
menatapku dalam, ekspresinya putus asa, kesedihan tergambar jelas di kedua bola
matanya.
‘Kau tidak tahu James, yang aku rasakan bahkan lebih buruk. Rasanya seperti
zombie, aku hidup, jantungku berdetak, tapi aku tidak punya pikiran, yang ada
hanya kehampaan, seperti matahari sudah direnggut dari ku, pusat duniaku.’
Kataku dalam hati, aku tak sanggup mengucapkannya tanpa menumpahkan air mata.
James menungguku menjawab, tapi aku mengunci mulutku rapat-rapat.
“kau tidak tahu, sudah berapa banyak tiket pesawat yang terbuang sia-sia.
Aku ingin menemuimu. Tapi aku tidak sanggup, aku tidak sanggup menerima
penolakanmu. Itu menyiksaku, lebih parah dari saat kau memutuskanku dulu.
Aku senang Kendall memaksamu ikut malam ini. Kendall tahu seberapa parahnya
hatiku. Dia ingin melihatku gembira lagi, sudah berkali-kali dia membujukku
untuk mencari penggantimu. Tapi aku tidak bisa. Karena aku melihatmu, disetiap
gadis yang aku jumpai. Kau Rose.. Cuma kau..” ia melanjutkan monolognya.
“Kau ingat saat kita di rumah pohon? Saat kita berdua bercanda tentang
pernikahan? Saat kau bilang bahwa kau akan menjadi pengantin paling cantik di
dunia. Sejak saat itu aku berjanji, bahwa akulah yang akan mendampingimu di
depan altar, tidak akan aku biarkan orang lain yang mendampingi pengantin
cantik itu. Hanya aku. Aku sudah mencintaimu bahkan sejak aku belum mengerti
apa itu cinta. Saat Jooey melempar bola salju itu ke arahmu. Sejak itu kau menjadi
hidupku.” dia meletakkan tanganku di dadanya. “Kau selalu tahu jika aku bohong
Rose.. please jangan siksa aku lagi.”
Cukup sudah, aku tidak bisa mendengar lebih banyak, aku menarik wajah James
dan mencium bibirnya dengan gairah meluap-luap. Dia membalasnya,
mendekapku lebih erat, dan kami berciuman lama sekali. Membalas segala perasaan
yang selama ini tertahan, bahkan aku tak rela melepaskan bibirnya hanya untuk
menarik nafas.
Dia menyandarkan keningnya ke keningku. Nafas kami memburu. Tubuh masih
menempel satu sama lain.
“Jadi kita kembali?” James meminta kepastian walaupun dia sudah tahu
jawabannya.
“selamanya, tak terpisahkan.” Kataku tersenyum. Dia membalas senyumku, dan
kita berciuman lagi.
James memang ditakdirkan untukku. Aku tidak bisa lepas darinya. Dan aku tahu
bahwa aku selalu bisa mempercayainya. Selamanya.
THE END
*********************************
No comments:
Post a Comment