*^______^*
Aku benci hujan. Aku benci lembabnya, basahnya, dinginnya.
Aku bahkan tak suka suara gemericiknya yang beradu
dengan dedaunan.
Hujan telah merenggut orang yang aku sayang dari
hidupku.
Kenangan-kanangan itu datang lagi.
Membuat dadaku sesak. Hatiku sakit.
Hujan . . .
Kenapa Tuhan menurunkan hujan malam ini?
Membuatku tak bisa tidur.
Terjaga oleh kilasan masa laluku.
“Apa yang kau lakukan diluar selarut ini?” sepasang
lengan kokoh memelukku dari belakang. Aku tersentak oleh hangatnya lengan itu.
Aku merapatkan diri. Menyandarkan punggungku di dada bidangnya.
Membaca gerak tubuhku, dia semakin mendekat.
Dieratkan pelukannya, nafasnya menggelitik telingaku ketika dia berbisik.
“Nanti kau masuk angin.”
Aku tak menjawab.
Kupejamkan mataku, menikmati perhatian yang dia berikan.
Dia menciumi leherku. Aku melengguh pelan. Masih
terasa asing ciuman itu di kulitku. Walaupun ini bukan pertama kalinya dia
menciumku. Tapi sel-sel dalam tubuhku menolak. Ini bukan ciuman yang mereka
inginkan.
Aku membalikkan badan. Berharap akan bertatapan
dengan sepasang mata hijau yang kurindukan. Tapi aku harus menelan kecewa.
Warna biru lah yang menatapku dari balik kelopak mata itu.
“Kau sendiri kenapa tak tidur?” tanyaku lembut,
sambil membelai pipinya.
“Aku menunggumu.” Katanya, menggengam tanganku,
lalu menciumnya.
Lagi-lagi hatiku memberontak. Ingin ku tarik
tanganku menjauhi bibir lembutnya. Tapi aku tak bisa. Aku tak ingin menyakiti
perasaan pria yang sudah berkorban terlalu banyak untukku ini.
Aku tersenyum. Kugandeng tangannya, lalu
membimbingnya masuk. Cukup untuk malam ini. Seseorang telah menungguku.
***
“Kau tak cemburu pada Jesse kan?” Aku menyandarkan diri di bahu James, dia
membelai rambutku lembut.
“Kenapa harus cemburu?” Tanyanya ringan.
“Karena aku lebih banyak menghabiskan waktu
bersamanya. Terlebih karena aku bertunangan dengannya, bukan dengan dirimu.”
James terkikik pelan.
“James . . . Aku serius.” Aku merajuk, kutegakkan
badanku, menatap wajahnya dalam-dalam.
Dia balas menatapku. Mata itu, hijaunya
menenggelamkanku. Alis lentiknya menggodaku. Aku tak pernah bisa tahan menatap
kedua matanya terlalu lama. Ada kekuatan disana, yang membuat pipiku
memerah setiap kali bertemu pandang dengannya.
“Aku tak cemburu pada siapapun. Kau tetap milikku.”
Aku menunduk. Sebulir air mata mengalir menuruni pipiku.
James menghela nafas, diangkatnya wajahku, menyeka
air mata itu dengan ujung jarinya. “Kenapa menangis?” tanyanya pelan.
“Seharusnya
aku tak menerimanya. Seharusnya aku tak membiarkannya menciumku. Maafkan
aku.” Aku terisak.
“Shhhhh . . . ”
James menenangkanku yang sesegukkan. “Kau tak perlu minta maaf. Ini bukan
salahmu kalau dia datang disaat yang tepat. Aku justru lega, karena kau
memiliki seseorang yang bisa menghiburmu, yang selalu ada untukmu. Kaukira aku
akan berdiam diri saja seperti ini kalau tahu dia tidak benar-benar
mencintaimu?”
Aku terdiam.
“Apa kau mencintainya?”
Aku tak tahu harus menjawab apa. Jujur, buatku
Jesse adalah dewa penyelamat. Dia selalu ada untukku. Dia membantuku berdiri
ketika aku terjatuh. Menerangi duniaku ketika semuanya gelap gulita. Menghapus
sakit hatiku karena kehilangan James. Jauh dalam lubuk hatiku aku tahu aku juga
mencintai Jesse, tidak sebesar cintaku pada James tentu saja. Tapi aku juga tak
sanggup kalau harus kehilangan dia.
James tersenyum. Tanpa aku ungkapkan dia pasti
sudah tahu isi hatiku. Dia selalu tahu, aku memang tak bisa membohonginya.
“Tak ada yang salah dalam cinta.” Gumamnya. “Aku
mengerti kalau kau juga mencintainya, dia pria yang baik. Rasa cintanya padamu
mungkin tak sebesar rasa cintaku, tapi aku yakin dia bisa membahagiakanmu. Dia
bisa memberikanmu apa yang tak bisa kuberikan.”
Suaranya berubah pilu.
Aku memelukknya erat. “Kau sudah memberikan lebih
dari yang aku pinta James.”
“Tapi aku tak bisa selalu ada untukmu. Aku tak bisa
memasangkan cincin berlian itu di jari manismu, mengucapkan sumpah setia
sehidup semati--”
Aku membungkam
mulutnya dengan ciuman. Dia membalas ciumanku lebih ekspresif dari yang
biasanya. Tapi aku tak protes, aku mencengkram kepala James, membawa tubuhku
lebih dekat padanya.
Dia merebahkanku di sofa. Tubuh kami menempel bagai
satu kesatuan, decakan lidah dan bibir yang beradu memenuhi ruangan. Nafas
memburu, otak meledak oleh gempuran nafsu yang menyerang.
Aku menarik diri sebentar, mengisi paru-paruku
dengan oksigen, sebelum kemudian menciumnya lagi, melampiaskan
khayalan-khayalan liar ku tentangnya yang tertunda. Pembicaraan kami terhenti
sampai disitu.
***
“Mau sarapan pakai apa?” Jesse berteriak dari
dapur. Aku yang baru bangun, terseok-seok menghampirinya.
“Terserah kau saja.” Kataku sambil menguap. Dia
sedang sibuk memanaskan wajan di penggorengan. Selama ini memang Jesse yang
selalu masak untuk kami. Aku bukannya tak bisa masak. Tapi dia melarangku
dekat-dekat kompor, menjaga agar wajahku tetap fresh untuk pesta pernikahan
kami yang akan dilaksanakan sebulan lagi, katanya. Hah.. alasan yang konyol.
Aku meminum segelas susu yang dituangkannya.
“Mandi sana.” Perintahnya.
“Iya, bawel.”
Jesse tertawa, kemudian mencium keningku penuh
sayang. Gumpalan rasa bersalah bergejolak di perutku, teringat akan apa yang
telah aku lakukan dengan James semalam.
Aku memeluk Jesse , berharap dia tak menangkap rasa
bersalahku. Tapi Jesse malah balas memelukku. Membuat rasa bersalahku menjadi
berlipat-lipat. Aku tahu dia tahu aku masih mencintai James, aku masih
menyebut-nyebut nama James dalam tidurku. Tapi dia tak pernah mengeluh. Dia
memperlakukanku layaknya seorang putri. Dia tak pernah mempertanyakan rasa
cintaku padanya.
“Thanks.” bisikku pelan, sambil melepas
pelukannya.
Dia mencubit hidungku gemas. “Mandi.” katanya
lagi.
Aku mengangguk kemudian meninggalkannya dengan
kesibukkannya.
***
Gaun pengantin ini indah sekali. Berbahan satin
dengan warna putih bersih. Bagian bawahnya panjang dan mengembang, membuatku
tidak kesulitan berjalan. Aku menatap pantulan diriku dicermin sekali lagi,
meyakinkan diri bahwa wanita yang balas menatap itu benar-benar aku.
“Kau cantik sekali.” Puji Jesse tulus, aku bisa
melihat matanya membelalak terpesona.
“Benarkah?” tanyaku tak percaya.
Jesse, melingkarkan tangannya di pinggangku
hati-hati, tak ingin membuat gaunnya kusut. “Kau akan terlihat menawan di altar
nanti.”
Aku tersenyum, kalau Jesse menyukainya, James pasti
akan menyukainya juga.
***
“Besok aku akan menikah.”
James mendorong ayunan
yang aku duduki perlahan. Wajahnya tak lepas menatapku.
“Aku akan datang”
“Kau yakin?”
“Tentu.”
“Kau tak harus datang
kalau kau tak mau.”
“Kenapa tidak? Itu
hari bahagiamu. Aku pasti akan ada disana.” Dia tersenyum manis.
Oh Tuhan . . . Senyuman
itu, mungkinkah aku akan melihatnya lagi?
“Baiklah... aku akan
menunggumu.” Aku membalas senyumannya.
Dia mengecup puncak
kepalaku. Dan kami menghabisakan sisa sore itu dalam diam.
***
Tanah perkuburan itu
basah. Semalam hujan lagi rupanya.
Aku menaburkan bunga
disalah satu makam. Mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh disekitarnya.
Membelai nisannya penuh sayang.
“James . . . ” aku memulai
monologku. “Sudah sebulan sejak aku menikahi Jesse. Sebulan yang berlalu penuh
kebahagiaan. Sebelumnya maaf aku baru bisa mengunjungimu. Kami baru pulang dari
bulan madu. Dia membawaku ke Paris, percaya kah kau?! Kau tahu sudah sangat lama aku ingin mengunjungi Paris, kan? Dan jangan pikir aku melupakanmu. Aku membawakanmu oleh-oleh." Aku mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketku; sebuah locket, dan melingkarkannya di batu nisan James.
"Lihat, kau bisa menaruh foto di dalamnya, jadi aku menaruh foto kita, saat kita di Hawaii, ingat? Musim panas tahun 2006." Aku bisa merasakan air mata yang bersiap tumpah, "dan di luarnya ada sebuah kata indah yang terukir, Je pense à Vous, yang artinya memikirkan mu. Karena bagaimanapun, dalam keadaan apapun, aku akan selalu memikirkanmu." Suaraku hilang ditelan isakan.
"Lihat, kau bisa menaruh foto di dalamnya, jadi aku menaruh foto kita, saat kita di Hawaii, ingat? Musim panas tahun 2006." Aku bisa merasakan air mata yang bersiap tumpah, "dan di luarnya ada sebuah kata indah yang terukir, Je pense à Vous, yang artinya memikirkan mu. Karena bagaimanapun, dalam keadaan apapun, aku akan selalu memikirkanmu." Suaraku hilang ditelan isakan.
“Tapi kau jahat. Sejak
pernikahan itu kau tak pernah lagi menemuiku. Kenapa? Kau tak mungkin marah
kan?? Aku ingat betul. Saat itu kau yang bertepuk tangan paling kencang. Kau
yang tersenyum paling lebar. Kau kelihatan bahagia sekali. Kau bahagia untukku
kan James??” Air mata mengaburkan pandanganku, tubuhku berguncang menahan
isakan.
“Bodoh, tentu saja
aku bahagia.” Bisikkan itu terdengar jelas ditelingaku.
Mau tak mau aku
tertawa mendengarnya, walau harus tersedak oleh air mataku sendiri. “Lalu
kenapa kau tak pernah menemuiku lagi? “
“Kau sudah bahagia
sekarang, aku tak mau mengganggumu.”
Aku menggeleng
kuat-kuat. “Kau tak pernah menggangguku.”
“Kau mungkin tidak,
tapi bagaimana dengan Jesse? Aku tak mau menyakiti hatinya.”
“Aku juga.”
Kami terdiam.
“Janji kau tak akan
melupakanku, walaupun aku tak menemuimu lagi?” Bisik James lembut.
“Aku tak akan pernah
melupakanmu James. Kau kisah termanis yang akan selalu kukenang.”
Walaupun tak
melihatnya, aku bisa merasakan dia tersenyum mendengar itu.
“Aku akan selalu
mengawasimu dari sini. Selama kau mengingatku, maka aku akan tetap hidup di
hatimu.”
Aku terisak makin
kencang. James sudah melepaskanku. Dia tak akan datang lagi ke mimpi-mimpiku.
Kami tak akan bisa bersama seperti dulu. Hatiku sakit. Tapi anehnya, rasanya
tak semenyayat dulu. Luka itu perlahan menutup. Rasa sakit akan kehilangan
James, perlahan terobati. Mungkin benar kata orang. Waktu bia menyembuhkan
luka. Terlebih aku tahu James akan selalu mengawasiku dari atas sana.
“Dia tak akan bahagia
kalau melihatmu menangis seperti ini.” Tiba-tiba Jesse sudah berdiri di
sampingku.
Aku tersenyum,
menghapus sisa air mataku. Kemudian bangkit, kakiku kesemutan karena kelamaan berjongkok.
“Dia bahagia kalau
melihat kita bahagia.”
Jesse tak mengatakan
apa-apa. Dia hanya tersenyum tulus. Membuat hatiku mengembang karena rasa
bahagia. Beruntungnya aku, Tuhan sudah mengirimkan Jesse sebagai malaikat
pelindungku. Walaupun Dia harus mengambil James sebagai gantinya, karena bagaimanapun manusia tak bisa memiliki
terlalu banyak keberuntungan dalam hidupnya.
“Ayo pulang.” Aku
menggengam tangan Jesse. Matahari bersiap terbenam di ufuk barat. Saat itu aku
merasakan satu tangan lagi menggengam tanganku yang lainnya, James mengantarkan
kepergianku. Bersama-sama kami melangkah menuju gerbang kehidupan yang baru.
***
*^________^*
Notes:
1. Sengaja gak ngasih tau James meninggalnya kenapa.. biar anda tebak sendiri. :)
2. Saya tidak mendoakan hal buruk apa-pun terjadi kepada modelnya. it's just a fiction :))
3. Warna mata Jesse McCartney sebenarnya bukan biru.. tapi hijau. but i put it blue in this story ;)
*^________^*
Notes:
1. Sengaja gak ngasih tau James meninggalnya kenapa.. biar anda tebak sendiri. :)
2. Saya tidak mendoakan hal buruk apa-pun terjadi kepada modelnya. it's just a fiction :))
3. Warna mata Jesse McCartney sebenarnya bukan biru.. tapi hijau. but i put it blue in this story ;)
hampir nangis bacanya tau ga? udah berkaca" nih mata ;'''''
ReplyDeletehehehe.. cup cup jgn nangis, ntr james sedih.. :3
Delete