Sunday, July 15, 2012

Thinking Of You (Revised).






 *^______^*
 
Hujan . . . 
Aku benci hujan. Aku benci lembabnya, basahnya, dinginnya.
Aku bahkan tak suka suara gemericiknya yang beradu dengan dedaunan.

Hujan telah merenggut orang yang aku sayang dari hidupku.
Kenangan-kanangan itu datang lagi.
Membuat dadaku sesak. Hatiku sakit.

Hujan . . .
Kenapa Tuhan menurunkan hujan malam ini?
Membuatku tak bisa tidur.
Terjaga oleh kilasan masa laluku.

“Apa yang kau lakukan diluar selarut ini?” sepasang lengan kokoh memelukku dari belakang. Aku tersentak oleh hangatnya lengan itu. Aku merapatkan diri. Menyandarkan punggungku di dada bidangnya.

Membaca gerak tubuhku, dia semakin mendekat. Dieratkan pelukannya, nafasnya menggelitik telingaku ketika dia berbisik.

“Nanti kau masuk angin.”

Aku tak menjawab.  Kupejamkan mataku, menikmati perhatian yang dia berikan.

Dia menciumi leherku. Aku melengguh pelan. Masih terasa asing ciuman itu di kulitku. Walaupun ini bukan pertama kalinya dia menciumku. Tapi sel-sel dalam tubuhku menolak. Ini bukan ciuman yang mereka inginkan.

Aku membalikkan badan. Berharap akan bertatapan dengan sepasang mata hijau yang kurindukan. Tapi aku harus menelan kecewa. Warna biru lah yang menatapku dari balik kelopak mata itu.

“Kau sendiri kenapa tak tidur?” tanyaku lembut, sambil membelai pipinya.

“Aku menunggumu.” Katanya, menggengam tanganku, lalu menciumnya.

Lagi-lagi hatiku memberontak. Ingin ku tarik tanganku menjauhi bibir lembutnya. Tapi aku tak bisa. Aku tak ingin menyakiti perasaan pria yang sudah berkorban terlalu banyak untukku ini.

Aku tersenyum. Kugandeng tangannya, lalu membimbingnya masuk. Cukup untuk malam ini. Seseorang telah menungguku.

***

“Kau tak cemburu pada Jesse kan?” Aku menyandarkan diri di bahu James, dia membelai rambutku lembut.

“Kenapa harus cemburu?” Tanyanya ringan.

“Karena aku lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Terlebih karena aku bertunangan dengannya, bukan dengan dirimu.”

James terkikik pelan.

“James . . . Aku serius.” Aku merajuk, kutegakkan badanku, menatap wajahnya dalam-dalam.

Dia balas menatapku. Mata itu, hijaunya menenggelamkanku. Alis lentiknya menggodaku. Aku tak pernah bisa tahan menatap kedua matanya terlalu lama. Ada kekuatan disana, yang membuat pipiku memerah setiap kali bertemu pandang dengannya.

“Aku tak cemburu pada siapapun. Kau tetap milikku.”

Aku menunduk. Sebulir air mata mengalir menuruni pipiku.

James menghela nafas, diangkatnya wajahku, menyeka air mata itu dengan ujung jarinya. “Kenapa menangis?” tanyanya pelan.

“Seharusnya  aku tak menerimanya. Seharusnya aku tak membiarkannya menciumku. Maafkan aku.” Aku terisak.

“Shhhhh . . . ”  James menenangkanku yang sesegukkan. “Kau tak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu kalau dia datang disaat yang tepat. Aku justru lega, karena kau memiliki seseorang yang bisa menghiburmu, yang selalu ada untukmu. Kaukira aku akan berdiam diri saja seperti ini kalau tahu dia tidak benar-benar mencintaimu?”

Aku terdiam.

“Apa kau mencintainya?”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Jujur, buatku Jesse adalah dewa penyelamat. Dia selalu ada untukku. Dia membantuku berdiri ketika aku terjatuh. Menerangi duniaku ketika semuanya gelap gulita. Menghapus sakit hatiku karena kehilangan James. Jauh dalam lubuk hatiku aku tahu aku juga mencintai Jesse, tidak sebesar cintaku pada James tentu saja. Tapi aku juga tak sanggup kalau harus kehilangan dia.

James tersenyum. Tanpa aku ungkapkan dia pasti sudah tahu isi hatiku. Dia selalu tahu, aku memang tak bisa membohonginya.

“Tak ada yang salah dalam cinta.” Gumamnya. “Aku mengerti kalau kau juga mencintainya, dia pria yang baik. Rasa cintanya padamu mungkin tak sebesar rasa cintaku, tapi aku yakin dia bisa membahagiakanmu. Dia bisa memberikanmu apa yang tak bisa kuberikan.”  Suaranya berubah pilu.

Aku memelukknya erat. “Kau sudah memberikan lebih dari yang aku pinta James.”

“Tapi aku tak bisa selalu ada untukmu. Aku tak bisa memasangkan cincin berlian itu di jari manismu, mengucapkan sumpah setia sehidup semati--”

Aku membungkam  mulutnya dengan ciuman. Dia membalas ciumanku lebih ekspresif dari yang biasanya. Tapi aku tak protes, aku mencengkram kepala James, membawa tubuhku lebih dekat padanya.

Dia merebahkanku di sofa. Tubuh kami menempel bagai satu kesatuan, decakan lidah dan bibir yang beradu memenuhi ruangan. Nafas memburu, otak meledak oleh gempuran nafsu yang menyerang.

Aku menarik diri sebentar, mengisi paru-paruku dengan oksigen, sebelum kemudian menciumnya lagi, melampiaskan khayalan-khayalan liar ku tentangnya yang tertunda. Pembicaraan kami terhenti sampai disitu.

***

“Mau sarapan pakai apa?” Jesse berteriak dari dapur. Aku yang baru bangun, terseok-seok menghampirinya.

“Terserah kau saja.” Kataku sambil menguap. Dia sedang sibuk memanaskan wajan di penggorengan. Selama ini memang Jesse yang selalu masak untuk kami. Aku bukannya tak bisa masak. Tapi dia melarangku dekat-dekat kompor, menjaga agar wajahku tetap fresh untuk pesta pernikahan kami yang akan dilaksanakan sebulan lagi, katanya. Hah.. alasan yang konyol.

Aku meminum segelas susu yang dituangkannya.

“Mandi sana.” Perintahnya.

“Iya, bawel.”

Jesse tertawa, kemudian mencium keningku penuh sayang. Gumpalan rasa bersalah bergejolak di perutku, teringat akan apa yang telah aku lakukan dengan James semalam.

Aku memeluk Jesse , berharap dia tak menangkap rasa bersalahku. Tapi Jesse malah balas memelukku. Membuat rasa bersalahku menjadi berlipat-lipat. Aku tahu dia tahu aku masih mencintai James, aku masih menyebut-nyebut nama James dalam tidurku. Tapi dia tak pernah mengeluh. Dia memperlakukanku layaknya seorang putri. Dia tak pernah mempertanyakan rasa cintaku padanya.

“Thanks.” bisikku pelan, sambil melepas pelukannya.

Dia mencubit hidungku gemas. “Mandi.” katanya lagi.

Aku mengangguk kemudian meninggalkannya dengan kesibukkannya.

***

Gaun pengantin ini indah sekali. Berbahan satin dengan warna putih bersih. Bagian bawahnya panjang dan mengembang, membuatku tidak kesulitan berjalan. Aku menatap pantulan diriku dicermin sekali lagi, meyakinkan diri bahwa wanita yang balas menatap itu benar-benar aku.

“Kau cantik sekali.” Puji Jesse tulus, aku bisa melihat matanya membelalak terpesona.

“Benarkah?” tanyaku tak percaya.

Jesse, melingkarkan tangannya di pinggangku hati-hati, tak ingin membuat gaunnya kusut. “Kau akan terlihat menawan di altar nanti.”

Aku tersenyum, kalau Jesse menyukainya, James pasti akan menyukainya juga.

***

“Besok aku akan menikah.”

James mendorong ayunan yang aku duduki perlahan. Wajahnya tak lepas menatapku.

“Aku akan datang”

“Kau yakin?”

“Tentu.”

“Kau tak harus datang kalau kau tak mau.”

“Kenapa tidak? Itu hari bahagiamu. Aku pasti akan ada disana.” Dia tersenyum manis.

Oh Tuhan . . . Senyuman itu, mungkinkah aku akan melihatnya lagi?

“Baiklah... aku akan menunggumu.” Aku membalas senyumannya.

Dia mengecup puncak kepalaku. Dan kami menghabisakan sisa sore itu dalam diam.

***

Tanah perkuburan itu basah. Semalam hujan lagi rupanya.

Aku menaburkan bunga disalah satu makam. Mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh disekitarnya. Membelai nisannya penuh sayang.

“James . . . ” aku memulai monologku. “Sudah sebulan sejak aku menikahi Jesse. Sebulan yang berlalu penuh kebahagiaan. Sebelumnya maaf aku baru bisa mengunjungimu. Kami baru pulang dari bulan madu. Dia membawaku ke Paris, percaya kah kau?! Kau tahu sudah sangat lama aku ingin mengunjungi Paris, kan? Dan jangan pikir aku melupakanmu. Aku membawakanmu oleh-oleh." Aku mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketku; sebuah locket, dan melingkarkannya di batu nisan James.

"Lihat, kau bisa menaruh foto di dalamnya, jadi aku menaruh foto kita, saat kita di Hawaii, ingat? Musim panas tahun 2006." Aku bisa merasakan air mata yang bersiap tumpah, "dan di luarnya ada sebuah kata indah yang terukir, Je pense à Vous, yang artinya memikirkan mu. Karena bagaimanapun, dalam keadaan apapun, aku akan selalu memikirkanmu." Suaraku hilang ditelan isakan.

“Tapi kau jahat. Sejak pernikahan itu kau tak pernah lagi menemuiku. Kenapa? Kau tak mungkin marah kan?? Aku ingat betul. Saat itu kau yang bertepuk tangan paling kencang. Kau yang tersenyum paling lebar. Kau kelihatan bahagia sekali. Kau bahagia untukku kan James??” Air mata mengaburkan pandanganku, tubuhku berguncang menahan isakan.

“Bodoh, tentu saja aku bahagia.” Bisikkan itu terdengar jelas ditelingaku.

Mau tak mau aku tertawa mendengarnya, walau harus tersedak oleh air mataku sendiri. “Lalu kenapa kau tak pernah menemuiku lagi?  “

“Kau sudah bahagia sekarang, aku tak mau mengganggumu.”

Aku menggeleng kuat-kuat. “Kau tak pernah menggangguku.”

“Kau mungkin tidak, tapi bagaimana dengan Jesse? Aku tak mau menyakiti hatinya.”

“Aku juga.”

Kami terdiam.

“Janji kau tak akan melupakanku, walaupun aku tak menemuimu lagi?” Bisik James lembut.

“Aku tak akan pernah melupakanmu James. Kau kisah termanis yang akan selalu kukenang.”

Walaupun tak melihatnya, aku bisa merasakan dia tersenyum mendengar itu.

“Aku akan selalu mengawasimu dari sini. Selama kau mengingatku, maka aku akan tetap hidup di hatimu.”

Aku terisak makin kencang. James sudah melepaskanku. Dia tak akan datang lagi ke mimpi-mimpiku. Kami tak akan bisa bersama seperti dulu. Hatiku sakit. Tapi anehnya, rasanya tak semenyayat dulu. Luka itu perlahan menutup. Rasa sakit akan kehilangan James, perlahan terobati. Mungkin benar kata orang. Waktu bia menyembuhkan luka. Terlebih aku tahu James akan selalu mengawasiku dari atas sana.

“Dia tak akan bahagia kalau melihatmu menangis seperti ini.” Tiba-tiba Jesse sudah berdiri di sampingku.

Aku tersenyum, menghapus sisa air mataku. Kemudian bangkit, kakiku kesemutan karena kelamaan berjongkok.

“Dia bahagia kalau melihat kita bahagia.”

Jesse tak mengatakan apa-apa. Dia hanya tersenyum tulus. Membuat hatiku mengembang karena rasa bahagia. Beruntungnya aku, Tuhan sudah mengirimkan Jesse sebagai malaikat pelindungku. Walaupun Dia harus mengambil James sebagai gantinya, karena  bagaimanapun manusia tak bisa memiliki terlalu banyak keberuntungan dalam hidupnya.

“Ayo pulang.” Aku menggengam tangan Jesse. Matahari bersiap terbenam di ufuk barat. Saat itu aku merasakan satu tangan lagi menggengam tanganku yang lainnya, James mengantarkan kepergianku. Bersama-sama kami melangkah menuju gerbang kehidupan yang baru.

***

*^________^*


Notes:
1. Sengaja gak ngasih tau James meninggalnya kenapa.. biar anda tebak sendiri. :)
2. Saya tidak mendoakan hal buruk apa-pun terjadi kepada modelnya. it's just a fiction :))
3. Warna mata Jesse McCartney sebenarnya bukan biru.. tapi hijau. but i put it blue in this story ;)

2 comments:

  1. hampir nangis bacanya tau ga? udah berkaca" nih mata ;'''''

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe.. cup cup jgn nangis, ntr james sedih.. :3

      Delete